Bapak Pendidikan Nasional yang Menanggalkan Gelar Keningratannya

oleh -1614 Dilihat
oleh
Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. KH/Konnfrontasi.com

KH, — Raden Mas Suwardi Surjaningrat, seorang putra bangsawan dari Pura Paku Alam Yogyakarta, dalam perjalanan hidupnya kemudian menanggalkan gelar keningratannya. Ia berganti nama yang egaliter, tiada sekat dengan rakyat kebanyakan, dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara (KHD). KHD lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Hardjo Surjaningrat, putra Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Hardjo Surjosasraningrat. GPH Hardjo Surjosasraningrat  kemudian diangkat menjadi Sri Paku Alam III, sehingga dalam urutan silsilah, Suwardi Surjaningrat adalah cucu dari PA III.

Ki Hadjar Dewantara lebih dikenal sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Ia pernah dibuang ke negeri Belanda oleh Pemerintah Hindia Belanda dari tanggal 6 September 1913 sampai dengan 5 September 1919, karena kritik pedasnya pada pemerintah Hindia Belanda saat itu.

Karena pengabdian dan prestasinya yang besar dalam bidang pendidikan, KHD menjadi menteri pendidikan Indonesia yang pertama pada tahun 1956 di era pemerintahan Soekarno. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan dengan pemakaman negara secara militer serta diangkat menjadi Perwira Tinggi oleh pemerintah. KHD kini dikenang sebagai Bapak Pendidikan bangsa Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya, tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Memulai Perjuangan Lewat Menulis

Ki Hadjar Dewantara memulai karier perjuangan di lapangan jurnalistik yang dipergunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat melalui tulisan-tulisannya yang berisi cita-cita perjuangnya. Melalui harian Sedyo Utomo di Jakarta ia memulai karir sebagai pembantu, harian bahasa Belanda “Middenjava” di Semarang. Kemudian pindah ke Bandung menjadi Koresponden “De Express” pimpinan Douwes Dekker. Harian De Express dan majalah Het Tijdschrif di Bandung pimpinan Douwes Dekker menjadi pelopor lahirnya partai politik “Indsche Partij” yang merupakan partai politik pertama yang tujuannya adalah Indonesia merdeka yang berdaulat, demokrasi serta kewarganegaraannya yang tidak membedakan asal kebangsaannya, asal mengakui Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya.

Pada tahun 1913 partai ini dilarang oleh Pemerintah Hindia Belanda karena memberikan kritikan tajam terhadap kebijaksanaan pemerintah Kolonial Belanda pada peristiwa “Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda dari Penjajahan Perancis Napoleon” pada tanggal 13 November 1913 dengan mewajibkan semua rakyat Indonesia turut merayakannya dan membiayainya dengan sokongan dari rakyat. Hal itu dirasa tidak sangat pantas.

Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantara bersama dokter Tjipto Mangunkusumo pada permulaan Juli 1913, membentuk “Commitee tot Herdenking van Nederland Honderjarige Vrijheid” (Panitia Peringatan 100 tahun Kemerdekaan Nederland yang disingkat “Komisi Bumiputera”), yang bermaksud menyatakan isi hati memprotes adanya perayaan kemerdekaan tersebut.

Brosur protes yang dikeluarkan oleh Ki Hadjar Dewantara berjudul “als ik eens Nederlander was” atau seandainya aku seorang Belanda, yang pada intinya memprotes terhadap turut sertanya rakyat bumiputera yang dijajah merayakan kemerdekaan Negeri Belanda yang menjajahnya. Karena sangat tidak pantas.

Akibat perbuatannya tersebut, Ki Hadjar Dewantara dengan keluarga diganjar hidup di pengasingan di Negeri Belanda. Hidupnya disana sangatlah susah karena tidak mendapat bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda dengan alasan tidak menuruti putusan pembuangan ke Bangka. Beliau menjadi redaktur majalah “Hindia Putera”, Yaitu majalah resmi “Indische Vereeniging”. Dan majalah De Indier dari Indische Partij. Serta terus membantu surat kabar di Indonesia.

Selama di Negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara memperdalam Ilmu pendidikan melalui kursus-kursus tertulis dan kursus-kursus malam, sehingga mendapat akte guru dalam bidang jurnalistik. Ia memperdalam pengetahuannya dari S. de Roode, pemimpin surat kabar “De Nieuwe Groene” dalam seni drama belajar dari ahli seni Herman Kloppers. Sesudah empat tahun kurang satu hari, pada tanggal 17 Agustus 1917, putusan hukuman pembuangan Ki Hadjar Dewantara dicabut, dan boleh kembali ke tanah air sebagai orang bebas. Setelah pulang dari pembuangan,

Ki Hadjar Dewantara kembali berjuang. Karena pidato dan tulisan-tulisannya yang tajam melancarkan kritikan terhadap pemerintahan Kolonial Belanda, maka Ki Hadjar Dewantara dihukum dua kali, di Semarang, pertama enam bulan dan kedua tiga bulan satu setengah tahun di Semarang, kemudia pada tahun 1921 pindah ke Yogyakarta.

Oleh pejuang politik dan ahli kebatinan yang bergabung dalam “Sarasehan Selasa Kliwon” di Jogjakarta, yang terdiri atas RM Sutatmo Suryokusumo dan Ki Hadjar Dewantara, dibahas cara-cara memperjuangkan kemerdekaan perjuangan-perjuangan harus didasari oleh jiwa merdeka dan jiwa rasional dari bangsa, dan untuk itu harus dimulai sejak dari anak-anak.

Syaratnya adalah pendidikan nasional dan pendidikan merdeka, yang akan dapat memberi bekal kuat untuk perjuangan kemerdekaan nasional. maka diputuskanlah bahwa Ki Hadjar Dewantara, Sutatmo Suryokusumo, Pronodigdo, Suryoputro bertugas di lapangan pendidikan anak-anak, Ki Ageng Suryomataram dan kawan-kawannya bertugas di lapangan pendidikan orangtua dengan melalui gerakan kebatinan yang disebut “Ngelmu Begjo”, yang bercita-citakan kebahagiaan manusia dan perdamaian dunia.

Langkah awal dimulai oleh Douwes Dekker yang pada tahun 1920 mendirikan “Ksatriaan Institut” di Bandung, sebuah sekolah ekonomi, atas dasar pertimbangan bahwa lapangan pendidikan ekonomi merupakan salah satu bidang yang sangat penting dalam perjuangan nasional Indonesia yang masih kurang mendapat perhatian. Setelah mempunyai pengalaman di perguruan “Adhidarmo” milik RM Suryopranoto, kakaknya yang terkenal sebagai raja pemogokan, Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922, mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa di Jogyakarta.

Sejak saat itu sampai akhir hayatnya 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara memelihara dan mengasuh Taman Siswa. Selama itu, Ki Hadjar Dewantara antara lain harus melawan “Wilde Scholen Ordonantie” (Ordonansi Sekolah Luar) yang sedianya akan diberlakukan mulai 10 Oktober 1932. Dengan keberanian dan penuh tanggung jawab, Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 1 Oktober 1932 mengirim telegram penolakan kepada Gubenur Jenderal, yang menyatakan apabila ordonanssi tersebut jadi dilaksanakan, Taman Siswa akan mengadakan perlawanan terus dengan cara tenaga dalam yang pada waktu itu terkenal dengan Lijdelijk Verzet, membangkang tidak mengakui sahnya undang-undang Kolonial yang akan dipaksakan tersebut. Akhirnya ordonansi tersebut dicabut.

Perjalanan Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Sejak kecil Ki Hadjar Dewantara sudah dididik dalam suasana religius dan dilatih untuk mendalami soal-soal kesasteraan dan kesenian Jawa. Sejak kecil pula dia dilatih untuk hidup sederhana. Keterbatasan materil yang dialami keluarganya, tidak menyurutkan semangat belajarnya. Meskipun ia hanya masuk ke Sekolah Dasar Belanda III (ELS), ia tetap bersemangat menuntut ilmu.

Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kehidupan Ki Hadjar Dewantara tidak berbeda jauh dari kehidupan anak-anak lainnya. Dia juga sering berkelahi dengan anak-anak sekolah dari keturunan Ambon dan Indo Belanda. Ia terpaksa berkelahi dengan rekan-rekan seperjuangannya itu karena mereka menghina dirinya.

Setelah Tamat Sekolah Dasar III Belanda pada tahun 1904, Ki Hadjar mengalami kebingungan untuk meneruskan sekolahnya. Ia tidak hanya bingung karena masalah siapa yang membiayai sekolahnya, tapi juga kemana ia harus meneruskan sekolahnya. Maklum, keluarganya tidak cukup berada dibandingkan kerabat Pakualaman yang lain. Selain itu, ayah Ki Hadjar yang cacat netra sejak lahir juga merupakan suatu alasan tersendiri bagi masalah pendidikannya. Ki Hadjar memang sempat masuk sekolah guru di Yogyakarta, tapi tidak sampai tamat.

Semasanya menempuh sekolah guru, datanglah tawaran sekolah (beasiswa) untuk menjadi dokter Jawa dari dokter Wahidin Sudiro Husodo. Kala itu dokter Wahidin sengaja bertandang ke Pakualaman. Ia menanyakan siapa diantara putra-putra yang mau masuk sekolah dokter jawa. Kesempatan itu dengan segera diterima Ki Hadjar.

Ki Hadjar menempuh Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) selama kurang lebih lima tahun (1905-1910). Namun, ia tidak berhasil menamatkan sekolahnya lantaran sakit selama empat bulan. Selama sakit Ki Hadjar tentu tidak dapat belajar dengan baik sehingga ia tidak naik kelas. Akibatnya, beasiswanya dicabut. Ia meninggalkan sekolahnya dengan terpaksa lantaran tidak mampu membiayainya.

Awal Berdirinya Perguruan Taman Siswa

Kondisi sekolah yang ada di tanah air, MULO dan HIS, yang menguntungkan Pemerintah Kolonial juga menjadi alasan bagi Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan Perguruan Taman Siswa. Pada masa itu, putra-putri Indonesia yang sekolah di HIS dididik dengan sistem pendidikan Pemerintah Kolonial, yang jelas sesuai dengan harapan dan kepentingan mereka. Konten pelajaran-pelajaraan (bacaan) yang diberikan, misalnya bacaan, baik secara implisit maupun eksplisit merupakan upaya secara sistematis agar generasi Indonesia melupakan dan merendahkan diri dan martabat bangsanya sendiri.

Pemerintah Kolonial berupaya untuk mengalihkan perhatian generasi Indonesia agar tidak mengadakan pemberontakan dan mendirikan organisasi atau partai Politik yang menentang Pemerintah Kolonial. Semua generasi Indonesia yang belajar di HIS dibentuk sedemikian rupa agar sedapat mungkin tidak menjadi pemimpin bagi bangsanya, tapi menjadi pegawai (kuli, buruh) Pemerintah Kolonial. Itu berarti upaya sistematik untuk menjinakkan semangat juang generasi Indonesia,baik dalam bidang politik maupun jurnalistik.

Ki Hadjar Dewantara memahami betul ke mana arah pendidikan pemerintah Kolonial itu. Maka ia bercita-cita meningkatkan kesadaran generasi muda untuk menegaskan derajat dan martabat bangsanya. Ia yakin, jika generasi Indonesia pada masa itu cerdas maka mereka akan menjadi pembangun kesadaran bangsa untuk bangkit berjuang melawan segala bentuk penindasan dan merebut kemerdekaan.

Terdorong oleh cita-cita itu, Ki Hadjar Dewantara yang telah mengenal dunia pengajaran dan pendidikan selama satu tahun di sekolah Adi Dharma, memutuskan untuk mendirikan sebuah perguruan yang cocok untuk mendidik generasi Indonesia Maka pada tanggal 3 Juli 1922 didirikanlah sebuah perguruan di Yogyakarta dan dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Perguruan ini kemudian segera berkembang luas ke banyak tempat di pulau Jawa dan luar Jawa: Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Ambon.

Perguruan Taman Siswa, Ki Hadjar, dan Nasionalisme Indonesia

Kelahiran Perguruan Taman Siswa jelas menjadi tandingan bagi sekolah-sekolah milik Pemerintah Kolonial. Perguruan Taman Siswa ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Kondisi ini tentu menjadi ancaman bagi Pemerintah Kolonial. Semakin banyak orang yang belajar ke dan tamat dari Perguruan Taman Siswa, semakin banyak generasi Indonesia yang berani membangkang dan melawan kebijakan politik Pemerintah Kolonial. Artinya pula, semakin banyak generasi yang siap menjadi pemimpin, paling kurang untuk dirinya sendiri, kelompok-kelompok sosial seperti “Paguyuban Selasa Kliwon” itu, bahkan bisa jadi dalam bentuk Partai Politik sekaliber PNI yang berdiri pada tahun 1927 itu.

Eksistensi Perguruan Taman Siswa dirasakan Pemerintah Kolonial mulai menjadi ancaman bagi mereka. Oleh karena itu, mereka mulai mencari-cari alasan untuk menutup perguruan ini. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Salah satu pasal dalam undang-undang tersebut dipandang Ki Hadjar Dewantara mengancam eksistensi sekolah-sekolah swasta sebab berbunyi bahwa Pemerintah Kolonial mempunyai kekuasaan penuh untuk mengurus ujud dan isi sekolah swasta. Itu berarti seluruh aktivitas sekolah swasta dan instrumen-instrumennya diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ki Hadjar Dewantara tentu merasa keberatan terhadap kebijakan ini sebab membatasi secara sepihak setiap aktivitas sekolah swasta. Kebijakan tersebut bahkan dapat secara sepihak pula menghentikan seluruh aktivitas sekolah swasta atau memutuskan kelangsungannya. Artinya, sekolah swasta selain menderita karena tidak mendapatkan subsidi dari Pemerintah Kolonial, juga dapat gulung tikar. Menanggapi keresahan keluarga besar Taman Siswa terhadap Undang Undang Sekolah Liar tersebut, Ki Hadjar Dewantara pada intinya menandaskan perlunya perlawanan dengan kekuatan tenaga secara aktif dan pasif.

Gagasan Ki Hadjar ini didukung oleh tokoh-tokoh lain seperti dr. Soekiman, Drs. Moh. Hatta (yang pada waktu itu menjabat sebagai Pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia), dan para pengurus besar organisasi pada masa itu (Budi Utomo, Muhammadiyah, Istri Sedar, Partai Indonesia, PSII, PPKIT dan seluruh rakyat Indonesia.

Kecuali itu, Ki Hadjar Dewantara juga mendapat dukungan dari insan Pers, yang memberitakan isi pikiran Ki Hadjar tentang inti perlawanannya. Sebagai buah awal perjuangannya itu, pada tanggal 19-21 Oktober 1932 Kuasa Pemerintah untuk Urusan Umum di dalam Dewan Rakyat, Mr. Kiewiet de Jong datang berunding di Pondok Dewantara.

Pertemuan keduanya tidak mengatasnamakan pihak lain, tapi mengatasnamakan diri sendiri untuk menemukan solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Pembicaraan keduanya diceritakan berlangsung tenang dan saling menghargai hak dan kepentingan masing-masing pihak. Hasil pembicaraan keduanya dapat diringkaskan bahwa Undang-Undang Sekolah Liar dipandang belum dapat diterapkan dan karena itu harus ditunda.

Sebagai penggantinya adalah menghidupkan lagi ordonansi lama dari tahun 1923/1925. Ketetapan penundaan Undang-Undang Sekolah Liar 1932 itu telah disahkan Staatsblad 21 Februari 1933, no. 66. Berkat kegigihan Ki Hadjar dalam memperjuangkan hak-haknya dan dengan dukungan segenap pihak (masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dan pers) ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Di zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansyur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki Hadjar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi  juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.

__

Ditulis ulang oleh: Andriyani, dari berbagai sumber.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar