WONOSARI, (KH)— Dalam forum brainstorming pengendalian angka kematian akibat bunuh diri di ruang rapat II Setda Pemkab Gunungkidul, Rabu, (8/2/2017) muncul gagasan awal yang dicetuskan Satgas Berani Hidup.
Setelah melalui beberapa kali penyusunan modul, diusulkan mengenai ‘langkah sederhana’ dalam upaya bersama berbagai unsur OPD dan elemen masyarakat dalam menekan fenomena bunuh diri. Wakil ketua Satgas, sekaligus praktisi dibidang kesehatan jiwa dr. Ida Rochmawati, MSc., Sp.KJ (K) memaparkan gagasan berdasar fakta empiris yang ditemui, bahwa Bunuh diri diakibatkan oleh multi faktor, namun apapun pemicunya disimpulkan 80 % disebabkan oleh depresi sehingga hal tersebut menjadi ranah kesehatan jiwa.
Apabila ada upaya yang telah dilakukan, selama ini mengalami banyak kekurangan, selain masih bergerak secara sendiri-sendiri tanpa adanya sinergi, tindakan yang diambil berawal dari pamahaman umum yang tidak sepenuhnya benar.
Misalnya, Ida contohkan, hadirnya nasihat terkait spiritual dari agamawan yang menganggap bahwa seseorang yang memiliki faktor resiko bunuh diri karena dangkalnya pemahaman agama. Apabila lektur diberikan dengan timing waktu yang tidak tepat akan membuat goncangan depresi semakin hebat.
“Pertama kenali terlebih dahulu orang-orang yang memiliki faktor resiko. Beberapa ciri sederhana dapat terlihat. Disini dibutuhkan kepedulian. Jangan sampai acuh tak acuh terhadap keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar,” terang Ida.
Dalam kegiatan program suicide prevention dilakukan deteksi dini kepada mereka yang memiliki faktor resiko depresi yang dikhawatirkan melakukan bunuh diri, cirinya antara lain; 1. Pelaku percobaan yang gagal. Seseorang yang pernah mencoba bunuh diri namun gagal, memiliki kerentanan mengulangi tindakannya lagi dengan mengupayakan sepenuhnya keberhasilan untuk mati.
Selanjutnya, 2. Riwayat gangguan jiwa atau depresi, 3. Orang dalam proses perawatan rumah sakit jiwa, 4. Orang tua yang berperasaan sendiri/ lonely, 5. Orang yang baru saja mengalami krisis kehidupan yang berat, dan 7. Orang sakit menahun, dan 8. Orang yang mengalami kepikunan.
Lebih jauh disampaikan, setelah mengetahui ciri-ciri tersebut diharapkan gerakan sederhana yang dapat dilakukan masyarakat luas, yakni; lihat, dengar, dan sambungkan. ‘Lihat’, berarti minimal mengamati lingkungan sekitar apakah ada orang yang memiliki faktor resiko seperti yang telah disebutkan.
Apabila dengan melihat ada timbul kecurigaan yang mengarah maka sebaiknya di ‘dengar’ atau berupaya memperoleh informasi sebanyak mungkin terhadap orang yang dicurigai tersebut, seberapa kuat faktor resiko yang dimiliki. Baik dari orang terdekat atau secara langsung, diharapkan komunikasi secara langsung dapat meredakan depresi yang dialami.
“Lantas kemudian ‘sambungkan’, sampaikan informasi tersebut kepada pihak yang berkompeten, seperti rumah sakit, pusat kesehatan, atau dokter serta pihak lain yang biasa menangani masalah kesehatan jiwa. Sebelumnya, ada baiknya diajak komunikasi secara dekat. Sebab, dapat menolongnya dari fikiran yang sedang kacau,” urai Ida.
Jika langkah sederhana nanti diputuskan sebagai gerakan dan seruan serentak dari Pemkab untuk bersama-sama dilaksanakan hingga masyarakat ditingkat bawah Ida yakin akan membawa dampak nyata.
“Harus dipahami pula pemahaman paragidma keberhasilan pencegahan bunuh diri tidak bisa diwujudkan dalam target angka, tetapi gerakan yang berjalan menjadi sebuah kebiasaan perilaku keseharian menurut saya merupakan sebuah keberhasilan besar,” Jelas Ida. (Kandar).