Thiwul Jarang Dikonsumsi Warga Gunungkidul

oleh -396 Dilihat
oleh

WONOSARI, kabarhandayani, –Sebagai makanan khas Gunungkidul,  ternyata tiwul mulai jarang dikonsumsi oleh warga Gunungkidul,  termasuk para petani sebagai penghasil ketela. Sebagian besar warga telah terbiasa mengkonsumsi nasi putih sebagai bahan makanan pokok sehari-hari.
Dari beberapa desa di Kecamatan Tepus, Tanjungsari, dan Kecamatan Wonosari yang menjadi daerah pantauan KH, sebagian besar jawaban warga, menyatakan tidak mengkonsumsi thiwul. Ada beberapa warga yang mengaku masih menjadikan thiwul sebagai makanan pengganti nasi putih, namun hal itu tidak dilakukan setiap hari.
“Memang, masih ada yang makan thiwul, tetapi biasanya dicampur dengan nasi putih. Itu juga tidak setiap hari masak thiwul. Kalau saya sendiri, sudah jarang. Ya, cuma sesekali saja kalau lagi kepingin,” ungkap Tuirah, seorang petani di Padukuhan Karangasem, Mulo, Kecamatan Wonosari, Senin (25/8/2014).
Ia juga menjelaskan sebagian besar hasil panen ketela warga dijual ke pengepul atau ke warung-warung untuk ditukar aneka bahan kebutuhan dapur. Ketela yang disimpan jumlahnya hanya sedikit, untuk sesekali dimasak jadi thiwul.
“Setiap ke warung ngurup (barter) bawa ketela, nanti dihargai berapa,kemudian dimintai (ditukar) dengan keperluan bumbu-bumbu dapur,” imbuhnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ratiyem Warga Padukuhan Kemiri, Kemiri, Kecamatan Tanjungsari dan Sukinah Warga Desa Tepus, Kecamatan Tepus. Kedua perempuan yang kesehariannya sebagai petani ini juga mengaku jarang menkonsumsi thiwul.
“Kalau tidak benar-benar miskin, thiwul sudah tidak lagi dijadikan makanan pokok oleh warga. Sepengetahuan saya di sini sudah jarang yang tiap hari makan thiwul,” ujar Ratiyem, Minggu (24/8/2014).
Sementara, Sukinah mengungkapkan, di Desa Kemiri ketela telah dirintis untuk diolah menjadi bahan yang bernilai jual lebih. Hal ini dapat mengurangi kerugian petani akan permainan harga yang sering dilakukan para pengepul.
“Di desa kami ketela telah dirintis untuk pengolahan ketela menjadi tepung mocaf. Kalau berhasil memang bernilai jual tinggi. Cuma kendalanya pemasaran belum bisa dilakukan dengan baik,” kata Sukinah.
Bila ditelusur lebih jauh, mungkin masih ada warga di Gunungkidul yang mengkonsumsi thiwul setiap hari. Berdasarkan pantauan KH di beberapa kecamatan menunjukkan hal yang sama, yaitu thiwul sudah mulai jarang dijadikan makanan pokok setiap hari. Bila memasak thiwul hanya dilakukan beberapa hari sekali ketika berkeinginan untuk menyantap makanan khas ini.(Maryanto/Tty)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar