Taruna Tani Sampang Lakukan Ujicoba Budidaya Ulat Sutera Dengan Pakan Daun Singkong

oleh -8508 Dilihat
oleh
Budidaya Ulat Sutera dengan pakan daun Singkong. (KH/ Edi Padmo)

GEDANGSARI, (KH),– Budidaya ulat Sutera sebenarnya bukan wirausaha yang baru. Budidaya ini sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Hasil yang dibudidayakan yaitu memanfaatkan liur dari ulat yang dapat diolah menjadi benang kemidian dirajut atau dipintal menjadi kain Sutera. Sebagaimana diketahui kain yang dihasilkan mempunyai nilai jual yang tinggi.

Budidaya Ulat Sutera umumnya si Ulat harus diberi makan daun Murbey atau daun (Jawa: Besaran). Namun ada inovasi baru yang dilakukan oleh sekelompok pemuda yang tergabung dalam Kelompok Taruna Tani Kalurahan Sampang, Kapanewon Gedangsari, Gunungkidul. Inovasi yang dilakukan yakni budidaya pemeliharaan Ulat Sutera dengan pakan daun singkong karet.

Menurut Ketua Taruna Tani Sampang, Ghani Rahman Priambada (35), saat ini ada 20 anggota yang mulai mencoba jenis usaha yang masih tergolong baru ini.

“Ini baru tahap uji coba, satu orang anggota memelihara 50 ekor ulat,” terang Ghani disela acara Konservasi penanaman pohon di Daerah Aliran Sungai(DAS), Luweng Sampang bersama Komunitas Resan Gunungkidul, Minggu (7/2/2021) lalu.

“Kami bermitra  dengan CV. Sinar Sutera Sejahtera, Yogyakarta. Kemitraan atau kerjasama ini meliputi bentuk pelatihan budidaya dan penyediaan ulat. Jika program ini berhasil, kedepan hasilnya juga akan dibeli oleh CV. Sinar Sutera Sejahtera,” lanjut Ghani.

Menurut Ghani, ide awal dari usaha ini bertujuan untuk  meningkatkan SDM para pemuda khususnya Taruna Tani Sampang dengan mencoba memanfaatkan sumber alam yang ada di wialayah Kalurahan Sampang. Terutama tanaman jenis Singkong atau Ketela.

“Kami mencoba memanfaatkan daun singkong biasa, yang batangnya sudah disambung dengan Singkong Karet yang terkenal berbatang besar dan berdaun lebih lebar. Ada dua keuntungan dari proses penyambungan ini, pertama singkong biasa yang sudah disambung Singkong Karet, daunnya akan tambah besar dan lebar, dan yang kedua isi dari Singkong akan bertambah besar,” terang Ghani panjang lebar.

Sesuai penuturan Ghani, program dari kelompok Taruna Tani kedepan, disamping budidaya ulat Sutera, dengan proses sambung ini, diharapkan hasil produksi Singkong akan semakin meningkat. Sehingga kelak dapat dirintis olahan produk pangan berbahan dasar Singkong.

“Produk olahan Singkong ini bisa menjadi Keripik, Gatot, Tiwul, dan olahan yang lain. Ini bagus untuk Program Kelompok Wanita Tani (KWT). Diharapkan nanti bisa meningkatkan nilai ekonomi produk pertanian, jadi tidak hanya dijual mentah,” ujar Ghani berharap.

Budidaya Ulat Sutera dengan pakan daun Singkong Karet sendiri menurut Ghani juga akan menambah penghasilan masyarakat. Karena budidaya ini sifatnya hanya untuk sampingan, pengerjaannya tidak membutuhkan waktu yang lama, juga tidak menyita lahan atau tempat yang luas.

“Usaha ini hanya bersifat “samben”, tidak memerlukan modal awal yang besar, pemeliharaanya juga tidak sulit, dan tidak memakan banyak tempat. Sementara masa panennya juga termasuk cepat, yaitu 15 hari panen,” ujarnya.

Menurut keterangan Ghani, dalam kurun waktu 15 hari pemeliharaan, ulat-ulat ini sudah akan menjadi Kepompong, Ulat-Ulat ini menggunakan liurnya untuk membuat rumah Kepompongnya, dan rumah Kepompong ini yang akan dijual untuk bahan baku benang sebagai bahan dasar pembuatan kain Sutera.

Kepompong Ulat Sutera. (KH/ Edi Padmo)

Ghani menerangkan estimasi atau analisa usaha budidaya ulat Sutera. Modal awal untuk 1 ulat dari pembelian sampai pemeliharaan mencapai Rp 15. Satu rumah kepompong, rata-rata mempunyai berat 2  gram, lantas harga jual per kilogram kepompong mencapai Rp 28 ribu.

“Kelihatanya kecil memang, tapi perhitungan kami, besok kita mempunyai rencana untuk memelihara 30.000 ekor ulat. Dengan perkiraan kematian maksimal 25% atau 7500 ekor, maka ulat yang hidup dan menjadi kepompong, mencapai 22.500 ekor. Jika bobot minimal 1 kepompong sekitar 2 gram, maka 22.500 dikalikan 2 gram hasil produksinya bisa mencapai 45 Kilogram kepompong,” rinci Ghani.

Hitungan mereka, modal awal memelihara 30.000 ulat  adalah 30.000 x Rp 15 = Rp 450.000. Jika menurut hitungan tepat, maka setelah dipotong angka kematian ulat, akan dihasilkan 45 kg Kepompong, jika 45 kilogram dikalikan Rp 28.000 dapat dihasilkan Rp 1.260.000  dalam masa panen per 2minggu.

“Itu estimasi kami, dalam pelatihan yang kami dapatkan kemarin. Saat ini memang masih dalam masa uji coba, semoga semua bisa seperti rencana,” harap Ghani.

Dalam uji coba budidaya ini, terlihat bahwa perkembangan ulat sudah sesuai dengan yang diharapkan, bahkan sudah ada yang berhasil menjadi Kepompong.

“Untuk saat ini, bibit Ulat memang masih disuplay oleh CV, tapi kedepan, jika program ini berjalan baik, kita akan mendapat pelatihan untuk pengembangan membuat bibit ulat sendiri,” imbuh dia.

Walau masih dalam tahap uji coba, Ghani dan teman teman Taruna Tani Sampang tampak Bersemangat. Mereka berharap kelak dapat meningkatkan ekonomi masyarakat dengan inovasi budidaya Ulat Sutera dengan pakan daun Singkong Karet. [Edi Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar