Stasiun Flora dan Fauna Bunder: Ruang Pembelajaran, Pengelolaan, dan Pelestarian Alam

oleh -5811 Dilihat
oleh
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta di Hutan Lindung Bunder
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta di Hutan Lindung Bunder

Seharian di Stasiun Flora dan Fauna Bunder membuat saya berandai-andai tentang keadaan alam Gunungkidul ratusan tahun yang lalu; alam Gunungkidul yang asri.

Ratusan pohon perindang dari berbagai jenis merubah siang yang panas menjadi teduh. Cuitan suara burung Bidho (Elang Jawa) di tengah hari terdengar sangat khas. Burung Bidho sedang ngalang (terbang tinggi) di atas Hutan Lindung Bunder. Ada 6 ekor Bidho tampak memutari kawasan Hutan Lindung Bunder. Teriakan-teriakan para rusa yang berkejaran di dalam kandang luas dan terbuka serta dikelilingi pagar besi tinggi sungguh menjadi suara simponi alam yang asli dan asri.

Stasiun Flora dan Fauna Bunder didirikan tahun 2000. Stasiun ini diinisiasi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Stasiun Flora dan Fauna Bunder berada di wilayah petak 24 Hutan Lindung Bunder. Di dalamnya sekarang ini terdapat 44 ekor rusa jantan dan betina beserta anak-anaknya. Terdapat juga berbagai jenis burung langka (terutama elang), kucing hutan, dan buaya. “Hewan-hewan itu diperoleh dari sitaan petugas karena statusnya dilindungi oleh undang-undang. Ada juga yang diserahkan secara langsung, berkat kesadaran warga yang memelihara,” ujar Dwi Sutrisno, seorang pemuda pemelihara satwa, waktu itu sedang bersama dengan 2 temannya yang masih muda-muda berstatus sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) BKSDA Yogyakarta.

Awalnya Stasiun Flora dan Fauna Bunder didirikan untuk program penangkaran rusa. Adalah bapak Supiyarso (61 tahun) namanya, ketua kelompok masyarakat yang diserahi tugas untuk merawat rusa. “Dulu ada 21 anggota kelompok masyarakat penangkar rusa, sekarang tinggal 11 orang. Ada yang sudah meninggal, ada juga yang keluar karena lebih memilih pekerjaan lain,” begini ia bercerita sejarah para penangkar rusa di Hutan Lindung Bunder.

Anggota kelompok tani yang bertanggung-jawab merawat rusa-rusa.[Foto:Padmo]
Anggota kelompok tani yang bertanggung-jawab merawat rusa-rusa.[Foto:Padmo]
Ketika saya menanyakan suka-duka sebagai petani penangkar rusa, Pak Supiyarso dan Mbah Sutinah (70 tahun) yang waktu itu juga sedang berada di sana, maka beliau berdua dengan antusias menceritakan pengalamannya. “Di tahun 2000, kami di sini diserahi oleh balai agar memelihara 37 ekor rusa. Sementara kandang belum memenuhi syarat. Akhirnya semua rusa terlepas,” ujar Pak Supiyarso memulai cerita. “Selama beberapa hari kami cuma bisa mengawasi dari kejauhan, karena rusa-rusa tidak mau didekati manusia. Untungnya para rusa itu masih tetap berkelompok dan dengan dipancing menggunakan pakan akhirnya mereka mau kembali ke kandang,” imbuh Mbah Sutinah. “Dari 37 ekor yang tidak kembali cuma 1 ekor, mungkin sudah dipurak (disembelih) oleh warga karena sudah keluar dari kawasan hutan lindung,” terangnya sambil terkekeh. Mbah Sutinah melanjutkan, “Rusa rusa ini berkembang biak dengan alami, masa kebuntingannya 9 bulan. Ada satu keunikan dari rusa: saat melahirkan anaknya, induk rusa tidak mau terlihat oleh manusia. Jika saat melahirkan terlihat manusia, maka anaknya akan dibunuh oleh induknya sendiri. Yaa, tahu-tahu, pagi-pagi, sudah ada anak rusa kecil yang ikut berlarian bersama kawanannya.”

Stasiun Flora dan Fauna Bunder sering digunakan oleh para Mahasiswa Kedokteran Hewan UGM untuk belajar praktek lapangan. Pak Supiyarso dan Mbah Sutinah lah yang mendampingi mereka. Tiap pagi Pak Supiyarso dan Mbah Sutinah mengambilkan srinthil (kotoran rusa) dan urin rusa untuk mereka teliti. “Saya pribadi sudah merasa ikut senang sekali ketika mahasiswa yang dulu pernah praktek di sini memberi kabar sudah menjadi pegawai, dokter hewan, dan lain-lain,” ujar Pak Supiyarso bernostalgia.

Rusa Timor (Cervus Timorensis) potensial untuk dijadikan hewan ternak. Selain dagingnya, ranggah atau tanduknya bisa dimanfaatkan.[Foto:Padmo]
Rusa Timor (Cervus Timorensis) potensial untuk dijadikan hewan ternak. Selain dagingnya, ranggah atau tanduknya bisa dimanfaatkan.[Foto:Padmo]
Tahapan pekerjaan para pengelola-penangkar rusa di Stasiun Flora dan Fauna Bunder dibagi tiga, yaitu: menjaga rusa, memberi pakan rusa, dan mengontrol perkembangan rusa. Jika memasuki musim kemarau seperti saat ini, kendala terbesar adalah tentang memenuhi kebutuhan pakan hijau. Beruntung para pengelola memeroleh subsidi pakan dari BKSDA, yang bisa mereka gunakan untuk membeli pakan hijau.

Hari bergerak semakin siang. Seiring obrolan yang semakin asik, ditemani teh dan ketela rebus bekal yang dibawa Mbah Sutinah dan teman temannya, teriakan Bidho semakin tinggi dan mendayu, ditimpa meong kucing hutan dan cerecak bajing di pohon beringin rindang. “Pohon-pohon beringin ini 20 tahun yang lalu kami tanam, berbarengan dengan pembuatan kandang. Cepat sekali besarnya. Fungsinya sebagai perindang kandang,” terang Pak Supiyarso. Saya kemudian naik ke lokasi kandang yang lebih tinggi. Di sana ada kandang elang hitam dan berbagai jenis elang lain, burung betet, dan kakatua.

Kucing Hutan atau dikenal sebagai “Bacaan”; merupakan salah satu carnivora dilindungi yang masih tersebar di Gunungkidul.[Foto:Padmo]
Kucing Hutan atau dikenal sebagai “Bacaan”; merupakan salah satu carnivora dilindungi yang masih tersebar di Gunungkidul.[Foto:Padmo]
Saya berbincang dengan Gunawan, pegawai Tenaga Harian Lepas (THL) BKSDA, khusus untuk perawatan burung. Dengan rinci dan kompeten di bidangnya, Gunawan menerangkan spesifikasi berbagai jenis burung yang ada di kandang. “Di sini kami merawat burung-burung ini dan melatih mereka untuk mandiri. Ketika Sang Burung dianggap sudah bisa mandiri di alam, maka akan kami lepaskan. Setiap burung yang kami lepaskan akan diberi chip pelacak untuk mengontrol keberadaannya. Jadi ketika burung lepasan ini ditangkap atau ditembak pemburu liar, kami bisa melacaknya. Dan hati hati, itu sebuah tindakan pelanggaran yang bisa dipidanakan!” tegas Gunawan dengan sedikit kesal. “Ada beberapa kasus seperti ini: bayangkan dengan sepenuh hati, kami merawat dan melatih burung sampai bisa mandiri! Setelah dilepas, eh ditembak oleh pemburu liar. Kami cuma ingin burung-burung ini bisa melengkapi kelestarian lingkungan,” imbuhnya.

Pria berjenggot yang akrab disapa Mas Gun ini adalah salah satu aktivis lingkungan dan pengamat burung. Dia prihatin terhadap banyaknya spesies burung endemik Gunungkidul yang sudah terancam punah karena perburuan liar. “Pendidikan mencintai lingkungan sangat ideal diterapkan sejak dini. Oleh karena itu kami membuka kesempatan bagi sekolah-sekolah yang mengagendakan wisata pendidikan untuk berkunjung ke sini, tetapi harus bersurat resmi terlebih dulu,” tambahnya.

Seekor Sikep Madu Asia; pengunjung musim dingin yang kurang beruntung karena menjadi korban perdagangan illegal.[Foto:Padmo]
Seekor Sikep Madu Asia; pengunjung musim dingin yang kurang beruntung karena menjadi korban perdagangan illegal.[Foto:Padmo]
Menurutnya, pendidikan kepedulian lingkungan memang harus segera diintensifkan di Gunungkidul. Pengrusakan dan eksploitasi alam Gunungkidul memang sudah cukup memprihatinkan. Semua pihak harus bergerak bersama-sama dalam agenda “penyadaran kolektif” ini. Apapun bentuk unsur alam, baik flora, fauna, ataupun unsur-unsur lain mempunyai peran dan fungsi sendiri-sendiri yang kemudian membentuk jaringan besar dan kokoh dalam rangka menciptakan keseimbangan alam.

Setelah hari agak sore saya berpamitan. Sepanjang perjalanan pulang melewati jalan aspal kecil yang di kanan-kirinya rimbun oleh pepohonan, bayangan Gunungkidul yang asri nan harmoni amat lekat dalam benak saya. Semoga!

Keasrian kawasan Hutan Lindung Bunder.[Foto:Padmo]
Keasrian kawasan Hutan Lindung Bunder.[Foto:Padmo]
[KH/Edi Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar