Seharian di Stasiun Flora dan Fauna Bunder membuat saya berandai-andai tentang keadaan alam Gunungkidul ratusan tahun yang lalu; alam Gunungkidul yang asri.
Ratusan pohon perindang dari berbagai jenis merubah siang yang panas menjadi teduh. Cuitan suara burung Bidho (Elang Jawa) di tengah hari terdengar sangat khas. Burung Bidho sedang ngalang (terbang tinggi) di atas Hutan Lindung Bunder. Ada 6 ekor Bidho tampak memutari kawasan Hutan Lindung Bunder. Teriakan-teriakan para rusa yang berkejaran di dalam kandang luas dan terbuka serta dikelilingi pagar besi tinggi sungguh menjadi suara simponi alam yang asli dan asri.
Stasiun Flora dan Fauna Bunder didirikan tahun 2000. Stasiun ini diinisiasi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Stasiun Flora dan Fauna Bunder berada di wilayah petak 24 Hutan Lindung Bunder. Di dalamnya sekarang ini terdapat 44 ekor rusa jantan dan betina beserta anak-anaknya. Terdapat juga berbagai jenis burung langka (terutama elang), kucing hutan, dan buaya. “Hewan-hewan itu diperoleh dari sitaan petugas karena statusnya dilindungi oleh undang-undang. Ada juga yang diserahkan secara langsung, berkat kesadaran warga yang memelihara,” ujar Dwi Sutrisno, seorang pemuda pemelihara satwa, waktu itu sedang bersama dengan 2 temannya yang masih muda-muda berstatus sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) BKSDA Yogyakarta.
Awalnya Stasiun Flora dan Fauna Bunder didirikan untuk program penangkaran rusa. Adalah bapak Supiyarso (61 tahun) namanya, ketua kelompok masyarakat yang diserahi tugas untuk merawat rusa. “Dulu ada 21 anggota kelompok masyarakat penangkar rusa, sekarang tinggal 11 orang. Ada yang sudah meninggal, ada juga yang keluar karena lebih memilih pekerjaan lain,” begini ia bercerita sejarah para penangkar rusa di Hutan Lindung Bunder.
Stasiun Flora dan Fauna Bunder sering digunakan oleh para Mahasiswa Kedokteran Hewan UGM untuk belajar praktek lapangan. Pak Supiyarso dan Mbah Sutinah lah yang mendampingi mereka. Tiap pagi Pak Supiyarso dan Mbah Sutinah mengambilkan srinthil (kotoran rusa) dan urin rusa untuk mereka teliti. “Saya pribadi sudah merasa ikut senang sekali ketika mahasiswa yang dulu pernah praktek di sini memberi kabar sudah menjadi pegawai, dokter hewan, dan lain-lain,” ujar Pak Supiyarso bernostalgia.
Hari bergerak semakin siang. Seiring obrolan yang semakin asik, ditemani teh dan ketela rebus bekal yang dibawa Mbah Sutinah dan teman temannya, teriakan Bidho semakin tinggi dan mendayu, ditimpa meong kucing hutan dan cerecak bajing di pohon beringin rindang. “Pohon-pohon beringin ini 20 tahun yang lalu kami tanam, berbarengan dengan pembuatan kandang. Cepat sekali besarnya. Fungsinya sebagai perindang kandang,” terang Pak Supiyarso. Saya kemudian naik ke lokasi kandang yang lebih tinggi. Di sana ada kandang elang hitam dan berbagai jenis elang lain, burung betet, dan kakatua.
Pria berjenggot yang akrab disapa Mas Gun ini adalah salah satu aktivis lingkungan dan pengamat burung. Dia prihatin terhadap banyaknya spesies burung endemik Gunungkidul yang sudah terancam punah karena perburuan liar. “Pendidikan mencintai lingkungan sangat ideal diterapkan sejak dini. Oleh karena itu kami membuka kesempatan bagi sekolah-sekolah yang mengagendakan wisata pendidikan untuk berkunjung ke sini, tetapi harus bersurat resmi terlebih dulu,” tambahnya.
Setelah hari agak sore saya berpamitan. Sepanjang perjalanan pulang melewati jalan aspal kecil yang di kanan-kirinya rimbun oleh pepohonan, bayangan Gunungkidul yang asri nan harmoni amat lekat dalam benak saya. Semoga!