Sendratari “Loroblonyo”: Mitologi “Watu Manten” dalam Festival Sendratari “Bedhayan”

oleh -2678 Dilihat
oleh
Kontingen Sendratari "Loroblonyo" Kabupaten Gunungkidul, 2019

Petang hari itu semakin menggelap. Permukaan hujan awal musim tak kuasa menahan diri tak akan segera jatuh. Udara sudah terasa anyeb di kulit. Artinya, hujan tak sabar untuk lekas-lekas membanjiri bumi. Agar terbebas dari jebakan hujan di dasar kali, Ozzy (penata tari) dan kawan-kawan menyegerakan mengangkat kaki dari hadapan Pohon Ingas, yang jelang surup itu tubuhnya tampak meraksesi dan seakan dahan-rantingnya menyimpan bisa-racun seperti perwujudan Sang Kali atau Sang Durga. Tangannya nyengkerem, matanya tajam mencorong. Hitam-kelam latar belakang di langit. Mereka membalikkan badan dan menjejak batu-batu kali cepat-cepat, bergegas rapat-rapat depan-belakang menuju tempat mereka memarkir kendaraan di sisi timur kali.

Kali, Kali Jirak, sebagaimana kesejajarannya dengan makna kata kepundhung, tak lain tak bukan adalah mbok-kandhung (tempat-kelahiran) pernikahan semu Pantarwati dan Suteja. Dulu arca-batu Pantarwati-Suteja masih ada di Kali Jirak, di sisi selatan jembatan, sekarang keli (terhanyut) entah kemana. Arak-arakan hujan telah mempersembahkan pesta wiwaha (upacara suci) paling meriah untuk percintaan dan persatuan mereka; mendudukkan keagungan dan kemegahan mereka di dhampar bebatuan dalam busana pengantin loroblonyo; mengujungkan denyut ‘darah muda’ mereka (nadhi) ke samudera raya (jalanadhi).

Barangkali demikian, manjalma menjadi manusia atau tumbuhan bagi jim-lelembut, atau mranyang menjadi lelembut bagi manusia, lebih jauh persatuan-kesatuan keduanya (seperti Puntadewa dengan penunggu Wanamarta: Jin Yudistira atau Bima dengan Jin Dhandhunwacana), hanya ada dalam ‘angan-angan’ kolektif manusia pramodern, hanya hidup dalam cerita mitologis wewayangan golongan manusia. Mitologi watu-manten adalah dualisme kasar (jisim) dan halus (lembat), yaitu dua hal saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Kehidupan manusia di wilayah duniawi beriringan berjalan bersama dengan kehidupan di wilayah adiduniawi. Natur dan supranatur, duniawi dan adiduniawi, selalu berdialog mengisi dinamika kehidupan manusia. Seringkali ada loncatan dan pergerakan di antara keduanya. Loncatan-loncatan peristiwa yang terjadi di dalam dan berhubungan dengan keduanya adalah drama. Tata-cara dan tata-kerja merekonstruksi dan menghadirkan kembali sebuah drama adalah seni drama. Kita, manusia (pos)modern, enggan untuk mengakui bahwa laku ‘membudaya’ manusia justru sering melahirkan kali (keraksasaan) dan ingas (racun) yang mematikan, namun tetap saja kita ingin mengawini dan menyetubuhi alam yang berulang-ulang kita sebut ‘beringas’. Manusia melakukan perkawinan dengan ‘jin-jin global’ tak kasat mata (golongan kajiman). Manusia tak hentinya menari-nari bahagia, menciptakan drama dalam panggung yang ia kuasai sendiri; ia, atau mereka, manusia, termasuk saya, berusaha memenangkan diri sendiri di panggung sendiri; menepuk-dada atas kemenangan semu-hakiki.

Keduanya bercinta di atas gelaran dan di dalam gulungan drama-tari abadi. Keduanya saling membayangi.

[WG]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar