Sendratari “Loroblonyo”: Mitologi “Watu Manten” dalam Festival Sendratari “Bedhayan”

oleh -13383 Dilihat
oleh
Kontingen Sendratari "Loroblonyo" Kabupaten Gunungkidul, 2019

Ozzy Azzura, yang pertama kali mengikuti festival sendratari, dan berperan sebagai penata tari, berharap bahwa ke depan ia akan diberi kesempatan untuk menggarap komposisi tari lagi. Ia bersyukur bahwa produksi sendratari kontingen Gunungkidul dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan dan apa yang dikomunikasikan dengan empunya cerita. Ia mengapresiasi para anggota tim produksi yang bisa mengatur waktunya sendiri untuk mensukseskan produksi.

Penata Tari Sendratari
Penata Tari Sendratari “Loroblonyo”, Ozzy Azzura. Foto: Nara

Mitologi menyediakan warna cerita kerakyatan yang di dalamnya unsur-unsur drama kehidupan berada. Ozzy menyukai segala hal yang berhubungan dengan ide-ide “kerakyatan”. Mitologi atau cerita rakyat yang ada dan hidup di wilayah Gunungkidul merupakan sumber ide baginya dalam garapan tari. Mitologi atau cerita rakyat lain lebih mudah dan bebas untuk ‘digarap’ dibanding cerita Mahabarata dan Ramayana misalnya. Ia berpandangan bahwa cerita Mahabarata dan Ramayana telah memiliki ‘kebakuan-kebakuan’ (pakem) tertentu yang cenderung susah untuk diinterpretasikan secara lebih bebas dibanding mitos atau cerita rakyat. Terlebih lagi ia juga mendaku dan mengakui bahwa kemampuan para penari dan penata tari yang berasal dari Gunungkidul memang serba terbatas dibanding teman-teman penari dan penata tari dari kabupaten-kota yang lain. “Cerita rakyat itu lebih bebas, dan lebih mudah, saya kurang menguasai ragam gerak klasik”, Ozzy berapologi, “Anak muda sekarang memang seperti saya, kemampuannya sangat terbatas.” Namun demikian, untuk garapan sendratari bertema bedhayan kali ini, ia tetap banyak bertanya ke sana-sini: ragam bedhayan dan ragam tari klasik itu yang bagaimana. Selaras dengan masukan narasumber dan pengamat, ragam in (masuk panggung) dan out (keluar panggung) yang biasa diterapkan dalam garapan Loroblonyo dihilangkan. Artinya, para penari full on stage (tak keluar masuk panggung). Hal ini menyesuaikan dengan spirit bedhayan yang memang tak memiliki gerak in dan out tersebut.

Proses kreatif yang dilakoni Ozzy dan teman-teman seperti ini: semua gerak tari diciptakan dari awal hingga akhir. Karya tari yang mengambil cerita Watu Manten diselesaikan geraknya. Setelah proses ini, teman-teman yang lebih berpengalaman dimintai masukan. “Zy, sebaiknya seperti ini seperti ini,” kata teman-teman. “Oh, iya ya, kok benar ya,” Ozzy mengiyakan, merasa masih banyak kekurangan. Maka ada gerakan-gerakan yang ia hilangkan sekaligus banyak gerakan-gerakan baru yang ia-tambahkan. Ke depan, ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan.

Secara umum, seperti yang dialami oleh kontingen lain, dalam proses produksi sendratari memang mengalami kendala seperti banyaknya penari dan penabuh yang memiliki job atau peye di luar produksi sendratari. Bagaimana pun para seniman tari dan seniman karawitan harus golek upa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Di sela-sela dan di waktu yang kadang bersamaan, mereka harus mengalahkan kelelahan dan peye untuk berlatih bersama. Hal ini selaras dengan tuturan Prof. Dr. AM. Hermein Kusmayati, SST., SU., mantan Rektor ISI Yogyakarta dan Pengageng di Pura Pakualaman selaku salah satu Tim Pengamat, semua ide yang diwujudkan dalam seni drama tari pada festival sendratari antar kabupaten-kota pada tahun ini orisinal. Namun tinggal bagaimana menempatkan casting yang pas dengan kebutuhan. Banyak para penari yang kurang melakukan latihan. Hal ini ia maklumi karena memang para penari harus mencukupi kebutuhan hidupnya. Para penari dan penabuh telah bekerja di PT Jayasaguh: telah bersedia melaksanakan sebuah tanggapan (peye).

Salah satu Tim Pengamat lain, Drs. Y. Subowo, M.Sn., di akhir pergelaran festival, memberikan catatan bahwa ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan oleh masing-masing kontingen sendratari, yaitu bagaimana menghubungkan harmonisasi antara tari dengan iringan musik. Harmonisasi tidak harus selalu pararel, bisa jadi justru bisa diperoleh dengan kontrasisasi, seperti kontras suasana, kontras irama, dan sebagainya. Melalui adanya festival sendratari semua tim produksi berusaha meningkatkan kemampuannya berproduksi.

Penata Iringan Kontingen Sendratari Kabupaten Gunungkidul, Bayu Waskita, S.Sn., mengatakan bahwa untuk mencapai harmonisasi musik-tari sendratari Loroblonyo, garap gendhing yang ia-ciptakan mengacu pada konsep cerita yang diberikan oleh penata tari (Ozzy) dan sutradara (Fitra). Dengan iringan yang ia-ciptakan, ia berusaha untuk menyampaikan alur cerita melalui melodi gamelan dan (terutama) vokal. Khusus untuk cerita Loroblonyo ia menonjolkan vokal. Alasannya, lirik dalam vokal menjelaskan secara gamblang fragmen-fragmen cerita sehingga mudah sampai kepada audiens. Masing-masing gerakan yang menyimpan maksud tertentu bisa tersampaikan. Konsep bedhayan yang ngemba (meniru) bedhaya yang ada di kraton dicirikan dengan koor vokal yang banyak. Dengan demikian, ia berharap dapat memunculkan suasana bedhayan di pendengaran penonton. Bayu juga memunculkan suasana iringan yang selaras dengan maksud fragmen. Misal untuk suasana sedih Bayu menggunakan gendhing ladrang dan ketawang. Lirik-lirik vulgar bukan metaforik semacam, “Beda donya…….,” ia-gunakan untuk menguatkan maksud fragmen cerita.  Bayu menerangkan bahwa pada dasarnya sifat iringan adalah nyuguhi (memberikan sajian iringan) kepada tata tari oleh penata tari dan sutradara.

Sesungguhnya Nyi Ingas, menurut interpretasi Bayu sang penata iringan, ragu-ragu menyabda anaknya menjadi batu. Sorakan-sorakan koor, “Dadi watu….dadi watu,” oleh Bayu dimaksudkan sebagai ketidaktegaan seorang ibu pada anaknya. Pergolakan batin tokoh ibu dalam mitos “Watu Manten” ia-sanggit demikian. Bagaimana pun, menurutnya, seorang ibu ragu-ragu jika akan mengutuk anaknya. Namun kata-kata telah meluncur menjelma mesat-nya peluru.

Beberapa hari sebelum pentas, Ozzy Azzura, sebagai penata tari, juga mengalami pergolakan batin: apakah akan menggunakan set pohon besar di atas panggung atau tidak. Ketika proses pendampingan berlangsung, para narasumber memberi masukan untuk tak menggunakannya, dengan alasan keberadaan setting pohon besar di panggung akan menghilangkan spirit bedhayan yang ‘kratonik’ dan tanpa banyak properti. Setting pohon-besar sebenarnya akan ia-maksudkan sebagai perlambangan tokoh Sang Ibu, Mbok Ingas, yang setelah drama usai menjelma drama baru: Pohon Ingas yang ia dan teman-temannya datangi. Mbok Ingas dalam perwujudan Pohon Ingas menjaga (ngreksa) spirit mitologi dalam pertunjukan drama tari.

Tokoh Nyi Ingas dan tokoh Watu Manten. Foto: Nara
Tokoh Nyi Ingas dan tokoh Watu Manten. Foto: Nara

Ya, resan atau wreksan pohon itu bernama Pohon Ingas: pohon racun jelmaan Nyi Ingas yang membekukan cita-cita Pantarwati dan Suteja. Dari dulu hingga sekarang Pohon Ingas besarnya sama, tidak mengalami perubahan. Mereka, Pantarwati dan Suteja, adalah para muda yang nedheng-nedhenge merasakan prawa (cahaya) cinta dalam dirinya. Mereka ingin menggelorakan semangat andon-asmara bersama-sama: menjadi manten. Meskipun demikian kata-kata Nyi Ingas tetap beringas, penuh upas (bisa), sama seperti ketika Pantarwati dulu pernah meminta ijin pada ibunya agar memberikan restu kepada mereka berdua. Bagi Nyi Ingas, akan bagaimana pun Pantarwati adalah lelembut, sementara Suteja adalah manusia. Persatuan keduanya (mantenan lelembut-manungsa) memalukan martabat keluarga. Tak elok lelembut bersatu dengan manungsa. Keinginan mereka untuk bersatu dan berpadu dalam jalinan pernikahan memang terwujud, namun di kediaman abadi. Mereka benar-benar mantenan dalam rupa arca batu: loroblonyo!

Pengorbanan Pantarwati untuk “manjalma”, yaitu menjadi manusia, serta perjuangan Suteja untuk “mrayang”, yaitu menjadi tak kasat mata, gagal pada ujungnya. Sembur-kata sang ibu, Nyi Ingas, mengandung racun-beku. Arca-batu “loroblonyo” lah wali pernikahan mereka yang semu.

Begini sinopsis Sendratari “Loroblonyo” berakhir pada adegan pernikahan semu; begini pula cerita “Watu Manten” berujung pada fragmen arca batu di akhir pertunjukan itu: lakumu njalari dadi watu, lakumu njalari dadi watu, lakumu njalari dadi watu! Kini, di sisi selatan Jembatan Kali Jirak tak ada lagi “Watu Manten”, yaitu arca batu perwujudan Pantarwati dan Suteja. Beberapa kali di musim orang punya hajat mantenan terdapat panjang-ilang yang dibuang atau dipasang di bawah Jembatan Kali Jirak, sebagai mong-mong atau srah-srahan atau buwangan agar hajat mantenan dapat berjalan dengan lancar dan selamat. Umpama ada keluarga yang memiliki hajat manten ketika akan mluruh atau boyongan manten melewati Jembatan Kali Jirak, maka jalur yang dilewati harus berpindah tak melewatinya. Jika tabu ini tak diindahkan, maka ‘kegelapan’ di antara keluarga manten yang dirasakan.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar