Reog Pemersatu Strata Sosial

oleh -13867 Dilihat
oleh

Penulis: Mutiya

Kabarhandayani.– Reog merupakan kesenian tradisional asli Ponorogo, Jawa Timur besutan Ki Demang Suryangalam pada abad ke-15 Masehi. Seiring berjalannya waktu, kesenian ini pun menyebar ke seluruh tanah air termasuk Gunungkidul.

Di Gunungkidul, reog dhodhog merupakan reog asli gagrak Gunungkidul. Reog ini dikenal dengan istilah reog keprajuritan. Berdasarkan sejarah berkembangan dan alur ceritanya, reog dhodhong sangat berbeda dengan alur cerita Reog Ponorogo. Alur ceritanya bersumber dari kepahlawanan Panji Asmarabangun dari jaman Jawa Klasik atau era Kerajaan Kediri, jauh sebelum era Majapahit dan Mataram.

Ciri khas reog dhodhog terletak pada kisah yang dituangkan dalam gerakan tariannya. Reog dhodhog menampilkan tarian pertempuran antara kelompok kiri dan kanan, yaitu hitam dan putih yang pada akhirnya dimenangkan kelompok putih. Pertempuran ini melambangkan peperangan antara kebatilan dan kebaikan yang menggambarkan bahwa kebenaran selalu menang pada akhirnya.

Pertarungan kedua belah pihak tersebut adalah antara ksatria perwira anonim yg disebut udheng gilig. Kemudian prajurit kavaleri yang naik kuda kepang dan prajurit infantri yg membawa tombak disebut rontek. Kedua kelompok pasukan ini memiliki penasihat yang disebut Bancak dan Doyok atau di Gunungkidul dikenal dengan sebutan Pentul dan Tembem.

Sebagai pengiring gerak tarian adalah musik ritmis sederhana yang terdiri dari kenong-kempul, bende dan gong serta dhodhog (kendang yang ditabuh dengan alat pemukul). Namun, seiring dengan perkembangannya, musik pengiring menjadi bervariasi dengan tambahan tamtam, jedor, kecrek dan drum. Kesenian ini memiliki ciri khas gerak ritmis sederhana. Gerakannya kasar, mudah diikuti dan dapat dimainkan siapa saja yang mau menjadi peraga reog.

Kostumnya secara umum adalah rompi, slempang, surjan, blangkon, klinthing untuk pemain dan jarik serta celana untuk semua pemain. Ciri khas dari kostum reog Gunungkidul adalah pakem yang memakai kuluk, slempang dan surjan. Sedangkan, rompi dan kacik adalah kostum modifikasi.

Berdasarkan data di Ensiklopedi Gunungkidul yang bersumber dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunungkidul tahun 2012, jumlah grup seni reog di Gunungkidul ada 192 grup, yang terbanyak berada di Kecamatan Wonosari sejumlah 23 grup.

Sejumlah grup yang aktif dan produktif di antaranya: Reog Panca Seta, Karangrejek, Wonosari; Reog Turangga Manunggal Suci, Semanu; Reog Sido Rukun, Nglipar; Reog Mekar Sari, Ponjong; Reog Puji Lestari, Tepus; Reog Krido Muda, Ngawen; Reog Margo Muda Budaya, Karangmojo, Reog Turangga Muda, Girisubo; Reog Turangga Muda, Purwosari; Reog Nawangsih, Paliyan; Reog Sendang Budaya, Rongkop; Reog Panji Putri Ngesti Budaya, Tanjungsari; Reog Pangestu Margo, Panggang; Reog Sekar, Semin; Reog Kaloka, Kemadang, Tepus; Reog Pangestu Marga Budaya, Planjan, Paliyan; Reog Dwi Tunas Harapan, Tunggul, Semanu; Reog Mega Budaya, Wiladeg, Karangmojo.

Di luar dari sejarah dan asal muasal reog Gunungkidul, reog merupakan tarian rakyat atau folkdance yang merupakan satu alat pemersatu warga masyarakat yang terdiri dari berbagai macam strata sosial. Secara sosial, reog mampu menjadi media penembus kasta. Seperti halnya dalam kehidupan masyarakat perdesaan di Gunungkidul yang terkenal guyub rukun, hormat menhormati satu sama lain. Bahkan, jika ada kaum bangsawan pun akan melebur dalam suasana tersebut.

Fungsi reog sebagai pemersatu segala profesi dan tingkat sosial ini terlihat juga pada pemainnya yang terdiri dari orang-orang dari berbagai macam profesi. Seperti halnya yang terlihat dari salah satu grup reog dari Padukuhan Ngringin Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo, yakni Reog Marga Muda Budaya yang pemainnya terdiri dari pegawai negeri, buruh, petani, bahkan para pelajar. Grup reog pada mulanya merupakan kelompok reog yang memperagakan reog dhodhog gagrak asli Gunungkidul, namun dalam perkembangannya lebih sering  memperagakan reog kreasi baru atau reog dhodhog yang telah dimodifikasi.

Reog juga merupakan salah satu kesenian yang identik dengan kegiatan bersih desa dan rasulan yang diselenggaraan setiap tahun. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kesenian tradisional tidak hanya sebatas gerakan tari tanpa makna, di luar keindahan gerak dan musik pengiring, sebuah kesenian tradisional dapat menjadi media untuk menjaga persatuan warga Gunungkidul. Inilah alasan kenapa seni pertunjukan rakyat ini dapat lestari di Gunungkidul.

Penulis adalah wartawan Kabarhandayani. Merupakan Mahasiswa smester 7 di UST Yogyakarta.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar