WONOSARI,kabarhandayani.– Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Gunungkidul mencatat, ada 280 telaga yang terdapat di Gunungkidul. Dari jumlah itu hanya 71 telaga yang masih bisa digunakan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan air.
Kepala Bappeda Gunungkidul, Syarif Armunanto menjelaskan, penyebab keringnya telaga di antaranya karena proses sedimentasi, proses penguapan pada musim kemarau dan pematusan air telaga melalui proses alamiah (baca: siklus hidrologi), ataupun disebabkan karena ulah manusia.
“71 telaga yang tidak kering, memang dimanfaatkan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan air mulai dari mancuci, memasak. Ada juga telaga yang masih digunakan untuk memandikan ternak,” kata Syaraif saat ditemui di Pemkab Gunungkidul, Jumat (12/9/2014).
Dari 18 kecamatan di Gunungkidul, lanjut Syarif, penyebaran telaga ada di 10 kecamatan, yakni Girisubo 27 telaga, Rongkop 48 telaga, Ponjong 21 telaga, Semanu 42 telaga, Tanjungsari 27 telaga, Tepus 32 Telaga, Panggang 22 telaga, Purwosari 31 telaga, Saptosari 21 telaga, dan Paliyan 10 telaga.
“Selain mengalami kering, ada sekitar 90 persen telaga atau kurang lebih 232 telaga yang saat ini mengalami pendangkalan akibat lumpur, sedimentasi tanah. Ini juga menjadi perhatian kita,” ungkap dia.
Syarif menegaskan, upaya pengerukan telaga agar memiliki daya tampung pernah dilakukan di telaga Monggol dan Saptosari, tetapi langkah pengerukan itu justru membuat telaga tidak bertahan lama dalam menyimpan air.
“Memang karakteristik telaga yang ada di Gunungkidul berbeda-beda, akan coba kita kembangkan sistem geo membran dalam telaga seperti yang digunakan dalam pembuatan embung. Pengembangan ini digunakan untuk mengatasi kekeringan,” kata dia.
Ke depan, Syarif berharap, telaga dapat dimanfaatkan untuk pertanian, mencuci, dan ada telaga yang dikhususkan untuk keperluan memenuhi kebutuhan air minum. “Ke depan akan terus dibangun telaga yang tidak digunakan untuk pertanian dan mencuci,hanya khusus digunakan untuk air minum,”
Sementara, Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan Wahyudi berharap, pembangunan telaga di daerah pedesaan melibatkan masyarakat setempat, karena masyarakat dinilai lebih mengerti tentang karakteristik dan ciri-ciri telaga di daerah masing-masing.
“Kearifan lokal masyarakat jangan ditinggalkan. Mereka justru yang memiliki ilmu titen dan sudah bertahun tahun mengetahui karakter telaga di daerah mereka,”
Dijelaskannya, harus ada transfer pengetahuan dari pemerintah kepada masyarakat, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam melakukan revitalisasi telaga, yang menyebabkan air surut pasca pembangunan. “Jadi tidak akan ada cerita telaga airnya hilang setelah dibangun,”.(Juju/Tty)
Ratusan Telaga di Gunungkidul Kering
