Esensi gunungan rasulan sejatinya terletak pada gunungan wedok atau gunungan hasil bumi. Gunungan wedok menjadi pertanda masyarakat agraris yang meyakini ibu pertiwi telah menghasilkan berbagai sumber makanan untuk kehidupan. Karena itu gunungan wedok adalah buah ucap syukur atas hasil pertanian yang melimpah. Setelah upacara, gunungan wedok dikorbankan atau disedekahkan untuk semua orang yang mau mendapatkan bagiannya. Mendapatkan bagian kecil hasil bumi atau makanan matang dari gunungan wedok menjadi penanda mendapatkan berkah yang tercurah dari Sang Pemberi Kehidupan.
Menjadi sebuah paradoks bahwa warga perkotaan Wonosari yang sudah tidak lagi bercocok tanam secara langsung masih menyajikan wulu wetuning bumi atau hasil pertaniannya dalam sebuah gunungan wedok yang disusun secara artistik. Sebuah usaha yang keras dan warga pasti memperoleh hasil bumi dan buah-buahan tersebut dengan berbelanja di pasar, kecuali ada di antara warga yang masih memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayuran atau mungkin yang bertani dengan sistem hidroponik.
Tradisi rasulan atau merti dusun atau merti desa sejatinya merujuk kepada tradisi mula-mula manusia agraris dalam kehidupan secara berkelompok dalam sistem kabuyutan atau padukuhan dan kemudian meluas menjadi desa. Satuan-satuan permukiman masyarakat pada awalnya dapat ditelitik senantiasa mendekati ke sumber-sumber alam yang utama menopang kehidupannya. Yang pertama dan utama menopang kehidupan manusia adalah air (toya, wway, owya). Oleh karena itu dapat dipahami bahwa satuan-satuan permukiman manusia prasejarah di Gunungkidul dapat dijumpai pada area sepanjang aliran sungai terbesar di Gunungkidul yaitu Sungai Oya. Permukiman sekitar sungai ini dapat dilacak melalui situs arkeologis di Gondang Ngawis, Situs Sokoliman, Situs Gunungbang, Situs Wonobuda, Situs Bleberan, dan seterusnya. Diluar sistem DAS Oya, di kawasan karst selatan goa-goa juga menjadi tempat penting yang menopang kehidupan, karena di sanalah sumber daya air itu didapatkan.
Peradaban manusa prasejarah yang konon pada awalnya adalah peradaban sekadar berburu untuk mendapatkan sumber-sumber makanan dari alam dan makhluk hidup lainnya (food gathering), kemudian berkembang menjadi peradaban mengusahakan lahan untuk bercocok tanam umbi-umbian, padi, palawija, buah-buahan, dan juga beternak. Perkembangan peradaban juga membawa kepada kecerdasan manusia dan kesadaran bahwa kehidupan yang dijalaninya adalah karena “ada kekuatan penyelenggara dan pelindung yang tak terselami yang tak terjangkau dalam alam pikirnya”.
Di situlah kemudian manusia-manusia prasejarah secara cerdas berkesadaran untuk berterima kasih kepada dan memuliakan “kekuatan penyelenggara dan pelindung yang tak terselami yang tak terjangkau dalam alam pikirnya” itu dengan mengadakan ritual membersihkan kali, membersihkan lingkungan, menjaga kelestarian alam. “Kekuatan penyelenggara dan pelindung yang tak terselami yang tak terjangkau dalam alam pikirnya” itulah yang dalam bahasa modern dikenal sebagai Gusti Allah, Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Sang Pencipta Khalik dan Bumi. Telisik lebih detail kesadaran manusia menyelenggarakan tradisi rasulan silakan klik di sini http://jjwidiasta.blogspot.com/2012/01/rasulan.html
Kembali kepada upacara tradisi rasulan di Desa Wonosari yang telah menjadi perkotaan dan desa-desa di pelosok Gunungkidul yang juga telah mulai bertransformasi menjadi desa-kota dengan segala perkembangan pembangunan wilayah dan terutama pembangunan kepariwisataan yang intensif, maka akankah rasulan tetap menjadi sebuah ritual tradisional wujud ucap sukur dan kemandirian hidup warga perdesaan atas hasil usaha pertanian yang telah diperoleh? Ataukah rasulan juga turut bertransformasi menjadi sekadar sebuah komoditas industri tontonan atau seni pertunjukan untuk meramaikan event wisata budaya di Gunungkidul? Atau jangan-jangan rasulan telah menjadi agenda tetap sebagai sarana penggelontoran Dana Keistimewaan DIY, atau sarana jor-joran mencari sponsorship untuk kemeriahan pesta kirab?
____________
Penulis: J Yanuwidiasta.