Rasulan, Masihkah Menjadi Ritual Merti Desa?

oleh -
Kirab gunungan rasulan Desa Wonosari tahun 2015. KH/Bara.

Yang pasti ada dan utama dalam kirab budaya rasulan adalah arak-arakan gunungan atau ancak dari masing-masing padukuhan. Semua gunungan di padukuhan dijemput secara ritual oleh kelompok reog keprajuritan dari Padukuhan Gadungsari dan Padukuhan Tawarsari. Semua gunungan dibawa ke alun-alun depan Pemda dan dikirab menuju Balai Desa Wonosari. Kesenian reog dan gunungan yang diikuti Dukuh dari masing-masing padukuhan menjadi barisan awal arak-arakan kirab. Kemudian diikuti oleh warga yang mengenakan kostum petani dan peserta kirab lainnya yang menunjukkan potensi dan kreativitas masing-masing padukuhan. Ritual rasulan dari mulai kirab yang dimulai pukul 13.00 WIB tersebut dilaporkan baru selesai pada pukul 17.00 WIB.  Betapa rasulan di Desa Wonosari merupakan kegiatan yang sangat meriah. Semua warga desa antusias terlibat menjadi peserta kirab dan sebagian lain menjadi penonton yang ikut terhanyut dalam sebuah pesta kegembiraan bersama-sama.

Adanya perlombaan menjadi padukuhan terbaik dalam kirab budaya juga telah memacu kreativitas warga menjadi penyaji terbaik olah seni pertunjukan dan potensi padukuhan yang dieksplorasi dan ditampilkan. Dalam rasulan Desa Wonosari tahun ini, Reporter KH melaporkan bahwa Padukuhan Tawarsari ditetapkan oleh Panitai Rasulan menjadi penyaji kirab terbaik, karena mampu mempertunjukkan aneka potensi lokalitas dengan apik dan mampu mencerminkan potensi budaya lokal yang masih terpelihara.

Dilaporkan pula, group reog Pranama dari Padukuhan Gadungsari sebelum bertugas menjemput gunungan juga tetap setia menjalankan tradisi “kulonuwun” dan beber di area pepohonan rindang pinggir Kali Besole di belakang Toko Mas Semar. Pepohonan rindang di Kali Besole tersebut diyakini sebagai tempat tinggal Ni Gadung Mlati, Sang Dhanyang Penunggu Hutan Lebat Nongko Doyong. Hutan Lebat Nongko Doyong yang merupakan cikal-bakal dari Desa Wonosari, yang di kemudian hari menjadi ibukota kabupaten terluas di wilayah DIY ini.

Modernitas diakui atau tidak diakui atau mau tak mau telah mewarnai tradisi rasulan yang digelar di wilayah Kabupaten Gunungkidul, termasuk pesta rasulan yang diselenggarakan di Desa Wonosari. Mulai dari kreasi reog yang sebelumnya adalah reog dhodog tradisional gagrak Gunungkidul menjadi demikian luas berkembang dan tumbuh subur berkembang Reog Gaya Ponorogo tetapi pemainnya orang Gunungkidul.

Para ibu-ibu dan bapak-bapak peserta kirab setidaknya mempersiapkan uba-rampe entah itu mulai dari pakaian, perhiasan, dan pernak-pernik lainnya dari berbahan tradisional seperti kain jarik, kebaya kutubaru, surjan, iket, blangkon, sanggul, celana legging, baju fashion postmodern, kacamata hitam, sampai dengan bahan-bahan kosmetika modern dan mungkin produk impor China, Jepang, Eropa, Amerika, dan aneka rupa properti seni pertunjukan modern lainnya.

Warga Desa Wonosari sejatinya telah menjadi warga perkotaan yang sebagian besar berkarya di sektor jasa dan perdagangan, tidak terkait langsung dengan aktivitas pertanian sebagaimana layaknya sebagian besar warga Gunungkidul yang menjadi petani di pinggiran kota Wonosari. Gunungan menjadi penanda pokok tradisi ritual rasulan. Pada umumnya setiap padukuhan mengeluarkan 2 gunungan, yaitu gunungan lanang dan gunungan wedok. Gunungan lanang pada umumnya merupakan karya seni rupa yang menampilkan kreativitas masing-masing padukuhan. Ada gunungan lanang berupa patung, miniatur hewan, miniatur rumah, dan lain sebagainya. Gunungan lanang dapat dipandang sebagai sebuah kreativitas modern dalam balutan ritual tradisional yang menggambarkan tema pokok dan harapan kelompok warga yang membuatnya. Membuat gunungan rumah dapat dimaknai sebagai pengharapan agar warga mampu membangun dan mengembangkan lingkungan perumahan yang nyaman untuk kehidupannya. Membuat patung tokoh wayang atau pahlawan menjadi pengharapan agar warga mampu meneladani tokoh tersebut, dan seterusnya.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar