PATUK, (KH),– Bagi kebanyakan orang, perjalanan hidup Nurhidayati, perempuan berusia 38 tahun warga Desa Pengkok Kecamatan Patuk ini tentu sangat berat. Bagaimana tidak, dirinya merupakan penyandang disabilitas psikososial atau disebut sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Gangguan jiwa yang dialami Nurhayati tergolong sebagai gangguan jiwa berat psikotik atau secara medis disebut skizofrenia.
Ketika sedang dalam episode psikotik yang mendera kehidupannya, Nurhayati juga sempat melakukan percobaan bunuh diri. Berkat kesigapan sanak saudara dan tetangga, upaya tersebut dapat dicegah, ia dapat terselamatkan dan mengalami pemulihan setelah melalui perawatan medis dan dukungan psikis dari keluarga dan tetangga.
Pertengahan Januari 2018 lalu, didampingi kakak dan beberapa saudara yang lain Nurhidayati berkisah kepada KH bagaimana melakoni hidup melintasi waktu-waktu kelamnya. Sejak muda, ia merupakan perempuan yang sholehah dan menjalani hidup dalam suasana relijius. Itu juga membawanya dan berkeinginan menjadi seorang santriwati penghafal Al Qur’an.
Nur, sebelum berkeluarga mulai menuruti keinginannya menjadi hafidzah. Namun upaya tersebut tidak berjalan mulus, setiap kali datang ke pondok pesantren ia jatuh sakit lalu pulang. Datang ke Ponpes lagi jatuh sakit lagi dan seterusnya hingga berulang-ulang kali. Beberapa Ponpes yang menjadi tempat mendalami ilmu agama Nur antara lain di Pleret dan Piyungan Bantul serta yang terakhir di Magelang. Upaya berobat ke berbagai rumah sakit atau dokter sudah ditempuh. Inisiatif keluarga, beberapa kali mencoba mendatangi orang ‘pintar’ atau kyai juga dilakukan. Keluarga berharap, obat penawar sakit Nur segera ditemukan.
Atas apa yang dialami, Nur berusaha tabah menjalani, dan justru dalam kondisi sakit fisik yang dialami tersebut ia semakin tekun belajar di Ponpes dan mampu menjadi salah satu hafidzah Qur’an. Selesai belajar di Magelang, Nur kemudian berumah tangga dan menjadi perantau di Bogor Jawa Barat. Ia menjadi guru pada sebuah Pesantren di Bogor.
Dengan masih menggengam asa menyelesaikan hafalan Qur’an, Nur dipertemukan dengan kisah hidup yang baru. Dirinya menjadi pengasuh sebuah pesantren. Mengasuh dan mengelola pesantren dengan kesungguhan hati ia lakukan. Eksistensi pesantren yang diasuh berangsur membaik. Kesungguhan Nur mampu mendatangkan ratusan santri masuk ke ponpesnya untuk mendalami ilmu agama dan belajar Al-Qur’an. Sebuah prestasi luar biasa bagi seorang Nur yang hanya lulus MTs. Namun, atas keberhasilannya itu ada pihak yang tidak menyukainya. sehingga ia diminta berhenti sebagai pengasuh karena dianggap tak memiliki kualifikasi secara pendidikan. Nur dicampakkan dan tak dihargai. Jelas dalam ingatan, peristiwa itu terjadi sewaktu ia membesarkan anak yang ke-tiga.
Ketika hidup di Bogor Jawa Barat, ia sempat tak berkirim kabar ke keluarga di Gunungkidul. Tiadanya kabar berita tersebut menjadi firasat buruk bagi keluarga Nur di Patuk. Kemudian, ada saudara kandungnya yang menengok ke Bogor. Setelah mengetahui kondisi Nur yang sedang menderita tersebut, akhirnya saudara kandungnya membawa Nurhidayati pulang ke kampung halaman.
Sekembali di rumah orang tuanya di Pengkok Patuk, Nur mengalami goncangan fikiran yang hebat. Nurhidayati mengalami depresi. Lagi-lagi kenyataan pahit yang lain harus dialami. Atas suatu sebab, suaminya menceraikannya. Depresi yang lebih berat mendera Nurhidayati. Persis keruntuhan keluarganya terjadi tidak berselang lama dengan gempa hebat yang mengguncang Jogja tahun 2006 silam. Atas depresi dan kesehatan yang menurun membuatnya harus dirawat di RS Sardjito.
Hari-hari saat mengalami depresi, hal yang dialami makin aneh. Ia mengaku seperti melihat banyak ular bergelantungan di tembok. Ia juga merasa banyak ular mengerubuti tubuhnya. Setiap kali melihat tembok terkadang juga muncul gambar-gambar suaminya. Seolah di TV dan radio juga menyiarkan dirinya, bahwa ia salah, ia sombong dan hal-hal negatif lainnya.
“Saya sangat jelas melihat itu semua. Saya berusaha meyakinkan orang-orang di sekitar saya,” ucapnya tegas.