Sebuah pernyataan seorang peserta Forum Group Discussion (FGD) tentang “Konservasi Lahan dan Sumber Air” yang diselenggarakan oleh Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), pada Kamis 6 Agustus 2020 yang lalu, sungguh sangat menggelitik pemikiran saya. Kebetulan di FGD itu saya mewakili “Komunitas Resan Gunungkidul” sekaligus menjadi salah satu dari tiga narasumber FGD. Dua narasumber lain adalah Bapak Nasih Widyo Yuwono, Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dan Bapak I Wayan Mudita, Wakil Rektor Universitas Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur.
Sesuai Term of Reference (TOR) yang saya baca, ada kegelisahan secara nasional tentang pentingnya konservasi sumber air. Data dan fakta di lapangan akhir-akhir ini menginformasikan bahwa banyak sekali sumber air yang berkurang debitnya, tercemar limbah, dan menuju mati. Kebutuhan air masyarakat yang semakin meningkat, baik itu air untuk pertanian maupun untuk kehidupan sehari-hari, tidak berbanding lurus dengan ketersediaan air yang ada. Maka, timbullah persoalan penting berhubungan dengan kebutuhan air: dari kekeringan, produksi pangan atau pertanian yang menurun akibat gagal panen, dan konflik sosial terkait pemanfaatan sumber air di suatu wilayah.
Sinergitas dalam Pengelolaan Sumber Air
Sesuai amanat yang tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945, bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Air merupakan kekayaan alam atau sumber daya alam yang memiliki banyak manfaat untuk dapat digunakan mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, dijelaskan pula bahwa Sumber Daya Air berupa: air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Sementara yang dimaksud dengan air adalah “semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di daratan.” Rakyat, dari segala lapisan, berebut air dengan kepentingan masing-masing dan akhirnya melahirkan persoalan-persoalan baru.
Timbulnya persoalan terkait air salah satunya dipengaruhi oleh pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk yang cepat, kebutuhan pangan penduduk juga meningkat. Masalah ketercukupan pangan tak bisa lepas dari pasokan air yang cukup, akibatnya, kebutuhan akan air pun meningkat. Membicarakan pangan, kita tidak bisa lepas dari wilayah produksi pangan, yaitu pertanian. Bicara pertanian adalah bicara soal air. Pertanian tanpa air adalah sesuatu hal yang mustahil.
Bahasan “Air untuk Pangan dan Kehidupan” memang sangat faktual dan nyata. Betapa pentingnya pengelolaan sumber daya air untuk pangan dan kehidupan masyarakat ini. Pengelolaan sumber daya air harus mempertimbangkan fungsi dasar air, di antaranya fungsi: sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Beberapa fungsi dasar ini harus disinergikan, sekaligus sebagai tugas bersama, oleh seluruh golongan masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat sampai pemerintah desa, mempunyai peran strategis karena birokrat adalah pamong rakyat dan lingkungan alamnya, serta pembuat dan penegak aturan. Meskipun demikian tidak boleh dikesampingkan bahwa peran serta dan kesadaran masyarakat sendiri dalam pengelolaan sumber air untuk pangan dan kehidupan memegang peranan yang vital.
Lengahnya para Pengelola Sumber Air
Kembali kepada pernyataan seorang peserta FGD yang menggelitik pemikiran saya di paragraf awal, yaitu bahwa kita secara tak sadar telah lengah dalam pengelolaan sumber daya air. Kita selama ini terlena dengan apa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, yaitu “tanah air” yang elok nan permai. Iklim yang baik, kesuburan tanah, kekayaan hayati, dan berbagai kekayaan tanah dan air yang lain selama ini hanya kita nikmati begitu saja. Syair lagu Koes Ploes tentang Tanah Air kita, “Bukan lautan hanya kolam susu,” dan, “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” adalah keadaan yang telah kita nikmati bersama. Betapa alam Indonesia adalah alam “surga” seperti gambaran yang diceritakan dalam Kitab Suci: sungai-sungai yang jernih mengalir sepanjang tahun, aneka flora dan fauna yang beribu-ribu jenisnya, iklim yang sangat teratur dan baik untuk bercocok tanam, serta budaya leluhur yang menghormati dan mensakralkan alam. Namun, justru karena anugerah yang melimpah ini, kita terlena untuk bagaimana mengelola sumber kekayaan alam dengan baik. Hubungan antara alam dengan kita akhirnya tidak seimbang.
Seiring kebutuhan jaman dan kebutuhan manusia yang semakin tak terkendali, keseimbangan alam seringkali malah dikesampingkan. Eksplorasi kekayaan alam yang berlebihan dan membabi buta, mengganggu pola-pola keseimbangan alam, baik secara mikro ataupun makro. Termasuk juga soal eksplorasi air berlebihan. Sebuah teori menyatakan bahwa air di alam ini bersifat konstan atau tetap. Tetapi seakan-akan air berkurang jumlahnya. Air dan sumber air banyak yang menghilang. Artinya apa? Ada sesuatu yang terputus dalam siklus air. Keberadaan air di suatu wilayah menyangkut perihal siklus hidrologi, kondisi geografis, kondisi tutupan lahan atau catchment area (daerah tangkapan air hujan), dan lain-lain. Bisa saya katakan bahwa hal-hal itu adalah unsur-unsur penentu ketersediaan air. Kemudian saya akan mudah menyimpulkan, jika ketersediaan air di suatu daerah terganggu atau berkurang atau bahkan hilang, maka pasti ada salah satu hal itu yang membuat timpang keseimbangan air.
Kondisi Riil
Berdasar pengamatan yang selama ini kami (saya dan kawan-kawan Komunitas Resan Gunungkidul) lakukan di lapangan, dapat kami laporkan tentang kondisi beberapa sumber air di Gunungkidul. Pertama, kami menemui banyak sumber mata air: tuk, belik, sendhang, sumber, yang berkurang drastis debit airnya, bahkan banyak sumber air yang hampir mati dan sudah mati. Kedua, berkurangnya debit air sungai-sungai besar dan keringnya sungai-sungai kecil (anak sungai dan cucu sungai) di musim kemarau.
Kami paparkan kondisi Sungai Oya sebagai contoh. Sungai Oya adalah sungai terpanjang yang membelah wilayah Gunungkidul bagian tengah dan utara. Sungai Oya memiliki panjang kurang lebih 176 km. Hulu Sungai Oya berada di daerah Manyaran Kabupaten Wonogiri. Setelah bertemu dengan aliran Sungai Opak (tempuran), akhirnya Sungai Oya bermuara di Pantai Selatan Jawa. Di musim kemarau ini, Sungai Oya mengalami penurunan debit air yang sangat drastis. Bahkan, aliran Sungai Oya yang berada di wilayah Kapanewon Semin sudah mulai putus dan mengering.
Beberapa pengamatan lapangan kami ini memang masih terfokus di beberapa wilayah di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saja, terutama Zona Ledoksari dan Batur Agung dan sebagian telaga di Zona Gunung Sewu, akan tetapi secara tipikal kewilayahan Gunungkidul memiliki kemiripan dengan berbagai wilayah Indonesia lain, yang dengan demikian kami asumsikan memiliki permasalahan sumber air yang hampir sama pula. Namun dari hasil pengamatan di atas, kami mencoba menganalisa mengapa debit air di sungai-sungai besar di Gunungkidul berkurang drastis dan anak-anak sungai atau cucu-cucu sungai yang bermuara di sungai-sungai besar itu mengering.
Matinya Sumber Air dan Mengeringnya Sungai
Hasil pengamatan kami terhadap kondisi riil sumber-sumber air di Gunungkidul yang berkurang debitnya, yang mengering, atau menghilang itu, mendorong kerja analisis kami masuk ke wilayah cerita ‘sejarah’ atau legenda suatu wilayah. Dari tracking beberapa sumber air dan sungai yang kami lakukan, kami banyak sekali menemukan tuk/ mata air yang tinggal cerita. Ini sangat erat kaitannya dengan apa yang saya ungkapkan tentang gangguan pada “siklus hidrologi”. Saya ulang kembali pertanyaannya: “Mengapa tuk atau sumber mata air banyak yang menuju mati atau telah mati?”; “Mengapa sungai-sungai besar dan sungai-sungai kecil berkurang debitnya dan mengering di musim kemarau?”
Menurut beberapa cerita ‘sejarah’ dusun atau desa, bahwa di wilayahnya dulu terdapat Sumber Air Gayam, Sumber Air Klumpit, Sumber Air Ngringin, Sumber Air Ngelo, Sumber Air Klampok, Sumber Air Bulu, dan lain sebagainya. Nama-nama dusun atau desanya pun mengacu pada air dan mata air. Misalnya nama Bejiharjo, Sumberejo, Kedung Poh, Ngringin Sari, Bulu, Sumber Mulyo, dan lain-lain. Nama-nama sumber air dan nama-nama dusun atau desa yang saya sebutkan ini berhubungan dengan suatu jenis pohon besar yang biasa disebut resan. Artinya, penamaan beberapa sumber air dan dusun atau desa menggunakan nama-nama pohon resan yang hidup di wilayahnya. Pohon resan telah ada dan hidup bahkan lebih tua dari kelahiran suatu dusun atau desa. Resan berfungsi sebagai pangreksa (penjaga), yaitu penjaga sumber air dan dusun atau desa dalam hal ketersediaan air. Dulu, oleh leluhur dusun atau desa, keberadaan resan sangat dihormati dan dimuliakan. Namun sekarang, seringkali keberadaan resan tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat. Jika pun masyarakat mengadakan ritual suci di sekitar resan tiap tahunnya (bersik kali, bersik sumber, bersik sendang), namun seringkali hanya sebatas seremonial belaka. Pemikiran untuk bagaimana menjaga keberlangsungan hidup resan belum banyak dilakukan.
Hilang atau matinya sebuah sumber air dan susut atau mengeringnya aliran sungai di musim kemarau, kami simpulkan disebabkan oleh hilang atau matinya pohon penjaga (pangreksa) yang berfungsi sebagai penjaga lingkungan dusun desa, yang di wilayah Gunungkidul sering disebut dengan istilah resan itu. Penyebab kedua, alih fungsi daerah tangkapan air hujan (cachment-area) menjadi hunian atau lahan garapan. Daerah tangkapan air hujan yang diisi pohon-pohon penjaga berperan sebagai penyerap air hujan. Karena daerah tangkapan air hujan (yang biasanya secara geografis terletak di area lebih tinggi) telah berubah fungsi, maka ketika hujan turun air hujan hanya lewat di permukaan tanah. Tanah tidak lagi mampu menyerap dan menyimpan air hujan.
Ketiga, kesalahan para pengelola dalam memilih jenis atau varietas tanaman konservasi. Satu contoh kasus adalah yang terjadi di Dusun Pringombo, Kalurahan Natah, Kapenewon Nglipar. Di wilayah Gunung Sumilir seluas 50 ha pernah ditanami jenis pohon keras akasia. Seiring bertambahnya waktu pohon-pohon akasia di sana bertambah besar, sehingga debit Sumber Air Nduren dan sumber-sumber air kecil di area bawah, yaitu di perkampungan di Dusun Pringombo, menurun dengan drastis. Dari fakta ini dapat kami simpulkan bahwa ada beberapa jenis pohon yang ternyata memiliki sifat “rakus air”, tidak mengikat dan mengumpulkan air. Meskipun secara ekonomi jangka pendek akan menguntungkan, namun pemilihan jenis pohon keras yang ditanam di daerah tangkapan air hujan (yaitu di lahan-lahan lebih tinggi) akan berakibat fatal.
Jadi, menyoal hilangnya beberapa sumber mata air dan mengeringnya aliran sungai di Gunungkidul dapat kami simpulkan sementara disebabkan karena hilangnya resan. Pohon-pohon berjenis resan penjaga mata air dianggap tidak memiliki manfaat secara langsung bagi masyarakatnya, ditambah adanya pemahaman agama yang menganggap keberadaan resan beserta ritual yang menyertainya dekat dengan ‘kemusrikan’ sementara itu ritual suci di sebuah sumber mata air yang dijaga oleh resan justru memiliki semangat melestarikan kehidupan sumber mata air. Alih fungsi daerah tangkapan air hujan oleh masyarakat pun mempunyai andil yang sangat besar dalam persoalan ini. Persoalan seperti ini memang masuk di wilayah yang sangat sensitif karena berhubungan dengan kepentingan ekonomi masyarakat. Hutan yang berada di daerah tangkapan air hujan dikonversi menjadi lahan pertanian.
Oleh karena itu, mendesak sekali perlu dilaksanakan gerakan penyadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi sumber mata air. Gerakan penyadaran bersama yang selaras antar berbagai elemen di pemerintahan dan masyarakat harus dimulai dan digencarkan dari sekarang. Jika pun kita memulainya sekarang, maka 20 atau 30 tahun yang akan datang kita baru bisa merasakan hasilnya. Seperti yang sudah dimulai Mbah Sadiman di Gunung Gendol Wonogiri 24 tahun yang lalu: menghijaukan Gunung Gendol seorang diri sehingga saat ini ribuan masyarakat sekitar Gunung Gendol bisa menikmati air yang mengalir tiada henti sepanjang tahun. Namun apabila masalah sumber mata air yang menghilang dan sungai-sungai yang mengering kita diamkan saja, tidak ada gerakan massal konservasi air, pada suatu masa kelak, barangkali air benar-benar akan menjadi benda eksklusif yang keberadaannya dapat memunculkan masalah sensitif, serta dengan mudah menyulut konflik sosial. Karena menyoal air itu mau tidak mau membicarakan keberlangsungan kehidupan secara universal.
[KH/Edi Padmo]