Komunitas Penghapusan Kekerasan Seksual Bersama Komnas Perempuan adakan Diskusi

oleh -3521 Dilihat
oleh
Diskusi yang diadakan. Foto : KH/Kandar
Diskusi yang diadakan. Foto : KH/Kandar
Diskusi yang diadakan. Foto : KH/Kandar

WONOSARI, (KH) — Kekerasan Seksual menyebabkan penderitaan panjang bagi korbannya. Dampaknya, secara fisik, psikis (seperti trauma), gangguan kesehatan reproduksi, dan kehamilan yang tidak dikehendaki. Bahkan, secara ekonomi dan sosial, sehingga kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan.

Atas dasar tersebut, berbagai komunitas mengadakan diskusi, sekaligus menggagas upaya penghapusan kekerasan seksual. Salah satunya dengan mendukung adanya RUU penghapusan kekerasan seksual. Kegiatan yang digelar dihadiri Komnas Perempuan dan BPMPKB, LSM terkait, Tokoh Agama, Masyarakat, KUA se-Kabupaten, serta Jaringan Aktivis Gunungkidul.

LSM yang aktif terhadap hal ini, Rifka Annisa, memiliki data, bahwa di Gunungkidul ada sebanyak 25 kasus perkosaan dan 6 kasus pelecehan seksual selama Januari-Agustus 2015. Guna menekan kejadian serupa, kerja sama terus dilakukan dengan lintas instansi, baik lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, KUA, Kepolisian, dan lainnya.

Respon pemerintah daerah akan hal tersebut dinilai cukup baik. Seperti diketahui, belum lama ini telah menerbitkan Peraturan Bupati No 36 Tahun 2015 tentang pencegahan pernikahan usia anak.
“Ini merupakan dukungan yang kuat dari Pemda,” kata Asih Nuryanti salah satu panitia, (18/9/2015).

Perbup tersebut memandatkan kebijakan pencegahan perkawinan anak, juga upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi korban, termasuk memandatkan tugas bagi beberapa lembaga di wilayah untuk melakukan monitoring atas kasus-kasus perkawinan anak.

Menurut Asih, fenomena pernikahan anak di Gunungkidul salah satunya disebabkan kehamilan yang tidak dikehendaki yang diduga karena kekerasan seksual. Oleh karenanya perlu adanya dukungan terhadap RUU penghapusan kekerasan seksual.

Masruchah dari Komisioner atau Ketua Subkom Pendidikan Komnas Perempuan menegaskan, hasil diskusi serta keluhan-keluhan yang ada, dengan senang hati akan dikomunikasikan di level nasional, mendialogkan dengan pihak-pihak terkait dan parlemen.

“Substansi kebijakan-kebijakan dan perundang-undangan yang menjadi rujukan penanganan kasus kekerasan seksual, justru menjadikan korban mengalami reviktimisasi, sehingga tidak mampu menjawab pemenuhan rasa keadilan. Oleh karena itu, marilah kita pikirkan dan nyatakan perlu adanya UU untuk kebaikan bersama dan berpihak kepada korban,” tandasnya. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar