Kolonel Sugiyono, Pahlawan Revolusi Putra Gedaren Ponjong

oleh -
Bekas pekarangan rumah kelahiran pahlawan Revolusi, Kol. Sugiyono di Padukuhan Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, insert: perangko bergambar Kol. Sugiyono keluaran tahun 1966. KH

PONJONG, (KH)— Kolonel Inf (Anumerta) R Sugiyono Mangunwiyoto lahir di Gedaren Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul pada 12 Agustus 1926 dari pasangan Kasan Sumitrorejo seorang petani sekaligus perangkat desa dan R Ngt Sutiyah Semito Rejo dari Semanu.

Ia meninggal di Kentungan Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 39 tahun. Kol Sugiyono adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah seorang korban peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sugiyono sebenarnya memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Guna mewujudkan cita-citanya itu, ia dengan tekun menempuh pendidikan di Sekolah Guru Pertama di Wonosari. Namun, sebelum ia selesai dalam pendidikan di Sekolah Guru, Tentara Jepang menduduki Tanah Air dan memberlakukan wajib militer bagi anak-anak muda.

Ia terpaksa mengubur impiannya untuk menjadi seorang guru, dan mengikuti pendidikan sebagai tentara di Pembela Tanah Air (PETA). Dalam biografinya disebutkan, selepas menyelesaikan pendidikan di PETA, ia diangkat sebagai Budancho (komandan Peleton) di Wonosari. Selepas masa proklamasi, ia tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan mengawali karir sebagai komandan seksi. Ia kemudian diangkat menjadi ajudan Komandan Brigade 10 di bawah Letnan Kolonel Suharto pada tahun 1947.

Pada 1 Maret 1949 terjadi serangan umum terhadap Yogyakarta saat peristiwa Agresi Militer II. Ia turut serta dalam keberhasilan pasukan menghentikan agresi militer II tersebut yang mampu merubah penilaian dunia internasional terhadap kekuatan RI.

Biografi Kolonel Sugiono menceritakan tentang keikutsertaan beliau dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) III dalam rangka memadamkan pemberontakan KNIL di wilayah Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Andi Aziz. Berpindah tempat dan berganti jabatan adalah hal yang lumrah dalam karir kemiliteran. Karirnya terus menanjak, hingga pada bulan Juni tahun 1965 ia berpangkat Letnan Kolonel, dan menjadi Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Kodam VII Diponegoro di Yogyakarta, yang sekarang menjadi Kodam IV/ Diponegoro. Saat itu Komandan Korem 072 adalah Kolonel Katamso.

Saat KH mengunjungi bekas tempat tinggal atau tabon keluarga besar beliau yang berada tidak jauh dari kaki Gunung Tutup Ponjong, yang tersisa berupa gapura pintu gerbang masuk ke halaman rumah dan sebuah sumur tua di sisi utara. Areal tersebut kosong tak ditinggali lagi. Kini ditumbuhi pepohonan jati dan semak belukar.

Kenangan anggota keluarga masih sangat kuat dalam ingatan tentang bagaimana sepak terjang dan hubungan beliau dengan keluarga besarnya. Sugiyono merupakan salah satu anggota keluarga yang spesial, karena menjadi salah satu pahlawan revolusi.

Seperti yang diungkapkan Sugeng Pratopo (63), salah satu keponakan Kol Sugiyono. Om Gik, sapaan akrab Kol Sugiyono sebagaimana dituturkan Sugeng, memiliki 11 saudara yang hidup dari keseluruhan yang berjumlah 16. Keseluruhan saudaranya terpencar di wilayah Gunungkidul dan DIY. Tujuh diantaranya menjadi perangkat desa, dengan rincian 5 menjabat Kades, 1 Sekdes dan 1 Dukuh. Saudara-saudara lainnya berkarya di instansi keuangan, kesehatan, dan pendidikan.

Mantan Kepala BPMPKB Gunungkidul ini memaparkan, pamannya merupakan Kepala Staf Korem 072/Pamungkas yang gugur dalam peristiwa revolusi 1965. Kolonel Sugiyono menikah dengan Supriyati, perawat di RS Bethesda. Pertemuannya dengan istrinya itu terjadi saat Kolonel Sugiyono dirawat di RS Bethesda karena cidera atau sakit saat bertugas di medan perang. Saat ini, Ny Supriyati sudah menginjak usia lanjut dan tinggal di wilayah Kota Baru, Yogyakarta.

Mereka memiliki anak enam orang laki-laki; R Erry Guthomo (1954), R Agung Pramuji (1956), R Haryo Guritno (1958), R Danny Nugroho (1960), R Budi Winoto (1962), dan R Ganis Priyono (1963); serta seorang anak perempuan, Rr Sugiarti Takarina (1965). Anak terakhir tersebut lahir sekitar 20 hari setelah jasad Kolonel Sugiyono ditemukan. Nama Sugiarti Takarina sendiri diberikan oleh Presiden Soekarno. Sugeng menyebutkan, apabila tidak keliru, nama pemberian presiden tersebut mengandung maksud ‘tahun berdikari’.

Cerita kenangan sebelum wafatnya Kolonel Sugiyono bagi Sugeng cukup mengesankan. Beberapa peristiwa ia alami bersama anggota keluarga yang lain. Sosok Kolonel Sugiyono memang dikenal sangat dekat dengan keluarga. Suatu ketika, Kolonel Sugiyono pulang ke Gedaren. Sudah menjadi kebiasaan, ketika ia pulang, anggota keluarga yang lain berkumpul.

“Beliau berpesan kepada kami, jangan ada yang menjadi tentara, menjadi tentara itu berat. Si Om saja yang menjadi tentara,” kenang lelaki yang pernah menjabat Camat Wonosari ini. Pada waktu itu, Kolonel Sugiyono memberikan pesan sembari membagikan foto dirinya.

Kenangan yang lain, Sugeng ingat saat diajak berkeliling ke rumah semua saudaranya di wilayah Ponjong dengan memakai seragam dinas serta membawa mobil gas ciri khas tentara tempo dulu. Di sela kunjungan sempat bercanda meminta hasil tani berupa kacang tanah kepada kakak-kakaknya.

“Kemudian pernah juga mengajak kami ke Gembira Loka untuk bermain bersenang-senang bersama semua keponakan. Saat pulang sampai di Patuk, beliau mengajak kami menatap ke arah utara. Beliau mengatakan, ‘Lihatlah kita seperti naik pesawat’,” sambung Sugeng.

Tidak lama semenjak beberapa peristiwa itu, ia mendapat kabar dari pemerintah, bahwa paman kebanggaannya meninggal dibunuh oleh PKI. Cerita yang ia terima, selepas tugas dari Semarang selesai, Kol. Sugiyono hendak kembali ke Yogyakarta. Pada waktu itu sempat diingatkan oleh Komandan Kodam IV agar jangan kembali untuk sementara waktu, karena situasi pada waktu itu sedang terjadi krisis yang diakibatkan oleh ulah PKI. Terjadi agitasi dan infiltrasi yang dilakukan PKI, baik di tubuh TNI maupun kekuatan politik lainnya.

Meski dilarang, Kol Sugiyono tetap bersikeras kembali ke Yogyakarta. Karena ia merasa Yogya merupakan wilayah ketugasannya, sehingga sudah menjadi panggilan hati karena memegang teguh sapta marga, ia pun akhirnya kembali. Dengan masih berpakaian seragam sebelum sampai di kantor ia dihadang oleh PKI. Menurut beberapa keterangan, ia sempat disiksa terlebih dahulu sebelum akhirnya dibunuh.

Sewaktu Kolonel Sugiyono meninggal, istri beliau sedang mengandung 9 bulan. Kemudian setelah 20 hari jasad Sugiyono ditemukan anak terakhir itu lahir. Sebelumnya jasad Kolonel Sugiyono disembunyikan oleh PKI. Ia dikubur satu liang bersama Pahlawan Revolusi yang lain, Brigadir Jenderal (Anumerta) Katamso di wilayah Kentungan. Untuk menghilangkan jejak, pelaku menutup lubang dengan tanaman ubi dan pisang. Jasad keduanya baru ditemukan 20 hari kemudian, yakni tanggal 21 Oktober 1965.

Berdasar sumber biografi pahlawan, berikut penghargaan yang diterima Kolonel Sugiyono: Bintang RI II, Bintang Gerilya, Bintang Sewindu ABRI, Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun, Satya Lencana Perang Kemerdekaan I, Satya Lencana Perang Kemerdekaan II, Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I, Satya Lencana Gerakan Operasi Militer II, Satya Lencana Gerakan Operasi Militer IV, Satya Lencana Sapta Marga, Satya Lencana Satya Dharma, dan Pahlawan Revolusi. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar