Ki Ageng Giring dan Awal Mula Desa Sodo

oleh -
oleh
Mas Bekel Anom Surakso Fajarudin, Juru Kunci Makam Ki Ageng Giring III. KH/ Kandar
iklan dprd

Pertanyaan demi pertanyaan mengenai keturunan ke berapa akan diberikan kepada keturunan Ki Ageng Giring tak dijawab oleh Ki Ageng Pemanahan. Pengejaran atau perjalanan itu menuju ke arah barat. “keturunan ke-1 Dimas?,”,  “keturunan ke-2 Dimas?,”, “keturunan ke-3 Dimas?,” dan seterusnya tak dijawab. Setelah perjalanan sampai di Gunung Pasar wilayah Dlingo Bantul, keduanya berhenti, lalu Ki Ageng Pemanahan memberikan jawaban setelah pertanyaan sampai pada keturunan ke-7.

“Mungkin sudah kodrat Tuhan Kang Mas, bahwa saya yang meminum air degan, yang kemudian akan menurunkan raja-raja, sedangkan Kangmaslah yang memetik dan menyimpannya atau yang mendapat wahyunya,” jawab Ki Ageng Pemanahan yang digambarkan Yusuf Fajarudin. Nanti, lanjut ceritanya, setelah keturunan ke-7, wahyu akan diserahkan, atau keturunan sebagai raja agar berasal dari keturunan Ki Ageng Giring III. Mendapat jawaban tersebut Ki Ageng Giring III puas hatinya lalu kembali pulang ke kediamannya, sedangkan Ki Ageng Pemanahan melanjutkan perjalanan ke Alas Mentaok, membabat hutan untuk dijadikan Kraton Mataram.

Di Gunung Pasar tersebut, masih ada hingga saat ini terdapat nisan atau kijing berjumlah tujuh sebagai tetenger atau pertanda adanya perjanjian Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan. Waktu berlanjut, Ki Ageng Pemanahan memiliki anak Panembahan Senopati sedangkan Ki Ageng Giring III punya anak Roro Lembayung.

Ki Ageng Pemanahan mendapat nasehat dari Ki Juru Mertani, bahwa walupun Ki Ageng Pemanahan dapat meminum degan sebagai wahyu Kraton, tetapi jika tidak bersatu dengan Ki Ageng Giring III tidak akan kuat memegang tampuk Kasultanan, maka Panembahan Senopati memperistri Kanjeng Roro Lembayung sehingga menurunkan Joko Umbaran atau Pangeran Purbaya di Wotgaleh, Berbah, Sleman.

iklan golkar idul fitri 2024
Gerbang masuk makam Ki Ageng Giring III. (KH/ Kandar)

Pangeran Purbaya atau julukannya Banteng Mataram itulah cucu dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring III, setelah itu menurunkan Sultan Agung Amangkurat dan akhirnya Pakubuwono di Surakarta Hadiningrat dan Hamengkubuwono di Yogyakarta. Sebenarnya hanya satu, yaitu Mataram di Surakarta tetapi karena olah licik Belanda dipecah menjadi dua pada perjanjian Giyanti, sehingga menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua; wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta.

Sedangkan sejarah Desa Sodo berawal dengan ditemukannya makam Ki Ageng Giring III. Masyarakat setempat melakukan babat alas atau membuat jalan menuju makam, sehingga hingga saat ini ada tradisi babat dalan di wilayah Sodo, sedangkan nama Desa Sodo sendiri bermula dari kata Usodo atau berarti upaya berobat.

Setiap orang yang datang ke makam berdoa dan memohon kepada yang kuasa meminta obat, apakah ingin mendapat obat hati berupa ketentraman, dan lain-lain. Perkembangannya, banyak yang datang berziarah atau untuk berdoa agar mendapat kemudahan dalam hal pekerjaan, pangkat atau karir, dan usaha bisnis serta yang lainnya. Biasanya makam Ki Ageng Giring III ramai pada malam Jum’at Kliwon, Selasa Kliwon dan Jum’at Legi.

Di depan makam Ki Ageng Giring III ada 4 makam kecil yang tak lain adalah Abdi dari Ki Ageng Giring III, yaitu: Eyang Purwosodo, Eyang Mandung, Eyang Manten dan Eyang Jampianom. Ada satu lagi di bagian luar sebagai penjaga kelapa bernama Bintuluaji dan juru kunci pertama yaitu Madiyo Kromo atau disebut Suto Reko.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar