Kerajinan Parutan Kelapa Tradisional, Bertahan di tengah Gempuran Mesin Elektrik

oleh -
oleh
Kerajinan
Sukarmi sedang membuat parutan kelapa. (KH/ Kandar)
iklan dprd

GUNUNGKIDUL, (KH),— Penghujung Mei 2023 nampaknya Kabupaten Gunungkidul benar-benar telah memasuki musim kemarau. Cuaca saat siang cukup terik. KH pun bisa rasakan persis jelang tengah hari setiba di Padukuhan Mojosari, Kalurahan Kedungpoh, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul.

Di Padukuhan Mojosari, KH berkunjung ke rumah warga yang di bagian berandanya dijadikan tempat memajang aneka kerajinan peralatan dapur berbahan kayu. Jumlahnya mencapai ratusan. Di tata pada rak sederhana dikelompokkan sesuai jenisnya.

Teras rumah tersebut sengaja dijadikan tempat memajang atau showroom kerajinan kelompok Kube Lestari Budaya. Sebuah kelompok yang memproduksi aneka piranti memasak berbahan kayu. Ada solet, munthu, entong, parutan kelapa, penumbuk, hingga cetakan kue.

Wadiyo, sesepuh kelompok mengungkapkan, pendirian kelompok secara resmi memamg baru terjadi pada 2021 lalu. Akan tetapi, warga sekitar telah memiliki kebiasaan membuat produk kerajinan sejak lama.

iklan golkar idul fitri 2024

“Warga membuat aneka kerajinan peralatan dapur ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Ini kegiatan usaha warisan nenek moyang,” tutur Wadiyo.

Bapak 3 anak ini tinggal tak jauh dari lokasi. Oleh kelompok, ia diposisikan sebagai marketing.

Di Padukuhan Mojosari, dulu mayoritas atau setidaknya 70 persen warga membuat parutan kelapa. Banyak diantaranya merupakan ibu-ibu.

Sementara itu untuk produk lain, banyak dibuat oleh para bapak. Baru beberapa tahun terakhir pembuat kerajinan alat dapur berbahan kayu ini menurun jumlahnya.

Kerajinan
Wadiyo, pemasar kerajinan alat dapur asal Mojosari, Kedungpoh, Nglipar, Gunungkidul. (KH/ Kandar)

Wadiyo Jualan Sejak SMP

Kepecayaan seluruh anggota kepada Wadiyo sebagai orang yang menguasai pemasaran bukan tanpa alasan. Sebab, dia punya pengalaman sebagai marketing yang cukup panjang.

Ayahnya, dulu sekitar tahun 1973 mengajaknya ikut memgirim produk produksi warga setempat ke berbagai kota. Saat itu ia masih duduk di bangku SMP.

Ia turut serta mengirim ke tengkulak di berbagai kota kala sekolah libur. Tengkulak di pasar Kebumen, Sukoharjo, Gombong, Kroya, Cilacap dan Tegal telah menjadi langganan. Sesekali produk juga diambil tengkulak asal Jakarta.

Wadiyo yang punya ciri khas bersuara lantang ini melanjutkan, ia kembali keliling ke berbagai kota usai lulus sekolah. Tepatnya sekitar tahun 1978.

“Saya kan tidak jadi pegawai, kemudian ikut terjun lagi menjual produk kerajinan ini menggantikan bapak,” katanya sembari menyelesaikan lintingan rokok.

Rata-rata ia berkeliling mengantar produk ke luar kota tiap 2 bulan sekali. Di setiap pasar ada 2 hingga 5 tengkulak menunggu produk warga Mojosari.

Kerajinan
Produk parutan kelapa asal Mojosari, Kedungpoh, Nglipar, Gunubgkidul. (KH/ Kandar)

Suka Duka dalam Memasarkan Produk

Produk kerajinan asal Mojosari mayoritas terjual ke luar kota, hanya 2 persen saja yang tersedot oleh pasar Gunungkidul.

Untuk pasar lokal, ada rekan Wadiyo yang mengurusi. Sementara pasar luar tetap dipegang oleh Wadiyo dan segelintir orang.

Puluhan tahun menjajakan produk alat dapur membuatnya banyak makan asam garam berikut mengalami suka dukanya. Ia cukup kenal karakter tengkulak atau pedagang pasar di berbagai kota.

Ada pedagang yang seolah mengejek kualitas produk, mengaku sepi pembeli, dan lain-lain. Hal itu tak membuatnya bereaksi atau mengalah dalam negosiasi.

“Ya tetap dirayu terus agar harga sesuai dengan ketentuan kami. Sebetulnya juga, itu niatnya menawar atau mau mengulur waktu pembayaran,” kata Wadiyo.

Sebagai ujung tombak pemasaran, dia pun tak mudah menyerah dengan tantangan negosiasi yang alot. Akan tetapi, manakala pedagang keterlaluan ia juga tegas dalam memgambil sikap.

“Ada yang bayarnya lama, saya tiap kembali belum bersedia bayar. Maka, terpaksa barang saya ambil lagi. Tapi yang demikian itu cuma sedikit,” kenangnya.

Sekali jalan, ia akan akan kembali ke kampung setelah 10 hari. Hal itu membuat ongkos yang dibutuhkan juga tak sedikit. Sekali berkeliling pengeluaran khusus operasional bisa mencapai Rp2 jutaan. Buat biaya transportasi, makan, dan lain-lain.

Adapun nilai barang dagangan yang ia bawa pakai mobil bak terbuka yang disewa mencapai Rp15 jutaan. Mengemai jumlah produknya berkisar sebanyak 3.000-an pieces.

“Kalau untung ya sekitar Rp3 jutaan lebih. Nanti dibagi, berapa untung saya, berapa yang disetor ke kelompok,” tuturnya.

Kerajinan
Kerajinan cetakan kue berbahan kayu. (KH/ Kandar)

Kerajinan Alat Dapur Menopang Biaya Hidup dan Sekolah Anak

Kegigihan dan kesetiaan membuat kerajinan alat dapur mendatangkan banyak manfaat bagi warga masyarakat. Utamanya sektor perekonomian. Mereka yang umumnya petani bisa memperoleh penghasilan tambahan.

Seperti Sukarmi misalnya. Seorang ibu berusia 50 tahun ini cukup terbantu keuangan rumah tangganya dengan kerja sampingan membuat parutan kelapa tardisioanl.

Hasil dari membuat perkakas alat dapur bersama suami dapat membantu membiayai 3 anaknya hingga lulus SMA.

“Kalau saya sendiri, pas nggak musim bertani, sehari bisa membuat 10 hingga 12 unit. Dulu usai subuh saya mulai bikin sembari mengerjakan pekerjaan rumah,” terangnya.

Dia merupakan 1 dari 10 anggota Kube Lestari yang masih aktif hingga saat ini.

Dulu ia lebih serius dalam menyediakan waktu untuk menekuni pembuatan parutan kelapa. Sebab ada target yang harus ia kejar, yakni biaya anak sekolah.

“Sekarang sudah lulus semua, jadi ya lebih santai. Bikin sedapatnya saja buat tambahan ‘nyumbang’ ke orang hajatan dan lain-lain,” jelas Sukarmi sembari tertawa.

Mulanya ia hanya perlu berlatih sebentar saja agar mampu membuat parutan kelapa dengan spesifikasi layak jual. Diawali melihat teman yang sedang membuat, lalu mencoba. Lama-lama ia makin mahir dan durasi pengerjaannya makin pendek.

Saat musim tanam atau panen, sedikit saja alokasi waktu yang ia miliki untuk membuat produk. Tetapi terus tetap ia lakukan.

“Tiap produk dihargai sekitar Rp4 sampai 5 ribu. Memang nggak bisa bikin kaya, tetapi sangat membantu keuangan kami,” sambungnya.

Lain halnya dengan Sukarmi, Sugiyanti hingga saat ini masih terus membuat produk parutan kelapa dengan jumlah banyak.

Karena tak punya rutinitas bertani, waktu di rumah ia manfaatkan untuk membuat parutan kelapa usai urusan pekerjaan rumah tangga beres.

Sugiyanti juga menjadi anggota kelompok yang bisa digenjot jumlah produksinya. Misalnya saja saat kelompok hendak ikut pameran.

Meski gempuran mesin elektrik tak terelakkan, kerajinan parutan kelapa dan alat dapur yang lain di Mojosari eksis hingga saat ini.

Perhatian pemerintah terhadap kelompok pun datang diantaranya dari Dinas Sosial DIY dan Dinas Perdagangan dan UKM Gunungkidul.

Fasililitasi mesin dan kesempatan pameran beberapa kali diperoleh oleh kelompok Kube ini. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar