Jutaan benang halus saling menghimpit dan beradu, berebut jalan masuk ruangan. Benang hitam kemudian mendobrak pintu organ badan berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut itu. Sedangkan yang pink menunggu persetujuan dan dengan sopan memasuki tempat duduk yang disediakan.
Apa to ini? Hehehe, saya sedang membayangkan gambar hati atau love yang konon menjadi tempat segala perasaan dengki maupun sayang tersimpan.
Sambil makan kacang, saya mencoba mengungkapkan perasaan sayang antara seorang ayah dan anak perempuannya. Setiap kunyah terbentang prosesnya dari detik ke detik, jam ke jam, hari ke hari, minggu ke minggu, dan bulan sampai tahun dan menjadi tumpukan yang mapan.
Namun tumpukan itu kadang roboh oleh desakan dan bentakan. Meski demikian, tumpukan kasih sayang mesti diproduksi dan direproduksi terus menerus. Tentu upaya membarui alat dan relasi produksi perlu dijalani supaya mapan formasi.
Bagaimana kasih sayang itu ditempatkan?
Bapa Orang Beriman mengalami dilema saat menempatkannya. Ia seperti orangtua pada umumnya, “sayang anak adalah utama.” Namun ia dicelikkan bahwa rasa sayang pada lelaki buah hatinya ada yang melampaui. Meski bukan didudukkan pada kelas dua, namun sayangnya harus didudukkan setelah tunai percayanya pada Maha Pencipta.
Nah, sebagai seorang bapak bijaksana dari seorang anak perempuan, saya ragu bisa meneladan niat awal pengurbanannya. Saya lebih condong sekadar menunggu pembagian seplastik daging kambing lalu menyatenya. Dan itu mereproduksi alat produksi demi memapankan kasih-sayang.
Di malam penutup hari ini, tak lupa mengucapkan selamat hari raya Idul Adha buat teman-teman semua.
***
Penulis: Stef Listiyantoro. Pelayan umat dan pegiat gerakan kemanusiaan lintas iman. Hobby menulis pengalaman perjalanan hidup. Tinggal di Semanu Gunungkidul.