WONOSARI, (KH)— Seperti diketahui, Pranata Mangsa adalah penganggalan/ kalender yang berkaitan dengan musim pertanian atau perhitungan waktu/ musim. Penanggalan Pranata Mangsa yang disusun berdasarkan indikator fenomena alam, kenyataannya saat ini masih digunakan oleh sebagian masyarakat khususnya petani di Kabupaten Gunungkidul.
Perlu diketahui, bahwa Pranata Mangsa semakin ditinggalkan, karena adanya perubahan fenomena alam, dan anggapan bahwa menganut Pranata Mangsa itu menghambat hasil pertanian.
Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Budaya Gunungkidul, CB Supriyanto memaparkan sistem Kalender Pranata Mangsa yang merupakan warisan budaya. Ia mengawali penjelasan, sebenarnya ada 12 mangsa dalam penghitungan Kalender Pranata Mangsa.
“Tetapi secara umum dikelompokkan menjadi empat Mangsa saja,” ujarnya saat ditemui di kediamannya.
Berikut empat pembagian sistem Pranata Mangsa yang dibuat oleh Dewan Budaya Gunungkidul; Mangsa Ketiga/ Kemarau pengelompokannya meliputi Mangsa Kasa (antara 22/23 Juni-2/3 Agustus), Mangsa Karo (2/3 Agustus-25/26 Agustus), Mangsa Katelu (25/26 Agustus-18/19 September). Mangsa Ketiga ditandai dengan kondisi tanah mulai retak, cuaca panas, ada lintang kemukus, dan udara dingin di malam hari.
Mangsa Labuh, meliputi Mangsa Kapat (18/19 September-13/14 Oktober), Mangsa Kalima (13/14 Oktober-9/10 November), Mangsa Kanem (9/10 November-22/23 Desember). Mangsa Labuh ditandaiu dengn sumur kering, terkadang sudah ada hujan, mulainya petani mengolah lahan pertanian, pohon asam bertunas dan tanaman kunyit berdaun muda, dan lainnya.
Mangsa Rendheng, meliputi Mangsa Kapitu (22/23 Desember-3/4 Februari) Mangsa Kawolu (2/3 Februari-1 Maret), Mangsa Kasanga (1/2 Maret-26/27 Maret) ditandai dengan adanya banyak hujan, tanaman padi subur, banjir, musim penyakit, banyak petir, badai, dan musim padi berbunga).
Kemudian Magsa Mareng, meliputi Mangsa Kasepuluh (26/27 Maret-19/20 Maret), Mangsa Dhesta (19/20 Maret-12/13 Juni), Mangsa Sadha (12/13 Juni-22/23 Juni). Mangsa Mareng ditandai dengan datangnya musim panen, menjemur padi, hewan bunting, burung bertelur dan menetas, serta beberapa pertanda lainnya.
“Pertanda tersebut pada mulanya dipegang teguh oleh petani, karenanya petani hingga surplus pangan,” urai CB Supriyanto.
Namun, sambung dia, kondisi musim akhir-akhir ini berubah total dan sulit diprediksi. Sepertihalnya adanya iklim ekstrim dengan adanya el nino dan la nina. Dengan demikian terkadang untuk menentukan awal musim hujan juga semakin sulit diprediksi, padahal masyarakat Gunungkidul mengandalkan pertanian tadah hujan.
“sebagian masyarakat masih mengenal pola Ngawu-awu, maka di jaman modern petani dituntut berwawasan luas, meski Pranata Mangsa terbukti masih relevan digunakan sebagai acuan bertani,” tambah dia.
Menurut dia, Pranata Mangsa masih bisa dijalankan karena mengandung arti kebijakan dan kearifan dalam mengelola dan melestarikannya. Tidak perlu ditinggalan hanya saja perlu dikoreksi atau sebagai pelengkap adanya kalender penanaman terpadu dengan bimbingan pihak terkait (Dinas Pertanian dan lainnya).
Wajar apabila Pranata Mangsa semakin ditinggalkan, demikian CB Supriyanta melengkapi penjelasannya, karena pengaruh globalisasi, iklim yang sukit diprediksi, hingga termasuk sektor pertanian sendiri yang mulai ditinggalkan. (Kandar)