WONOSARI, (KH)— Apabila melihat dari dekat aktivitas perdagangan unggas di Pasar Unggas atau yang biasa disebut Pasar Burung atau Pasar Pring di Kranon Kepek Wonosari, maka akan diketahui bahwa komoditas utama yang diperjualbelikan adalah ayam kampung.
Dominasi ini cukup mencolok, bahkan prosentase perbandingannya apabila dibandingkan dengan unggas yang lain cukup jauh. Ayam kampung mencapai 80 persen, sedangkan sisanya terbagi berbagai macam unggas lainnya. Meski jenis lain juga disediakan, tetapi jumlahnya tidak begitu banyak. Kadang kala para pedagang akan mencarinya terlebih dahulu apabila ada pesanan.
“Sebenarnya juga tersedia bebek, itik, angsa, bahkan ayam kalkun juga ada. Selain itu ada juga aneka jenis burung seperti merpati dan burung kicauan lainnya,” ujar Bandiono, salah satu pedagang unggas yang berkapasitas besar di Pasar Unggas, Senin, (28/11/2016).
Warga Siyono, Playen, ini mengungkapkan, awalnya hari utama operasional pasar ini jatuh pada hari pasaran Pon, namun perkembangannya hingga pada saat ini dapat dikatakan beroperasional hampir tiap hari. Hanya saja terdapat hari pasaran yang tergolong sepi, yakni di hari pasaran Legi dan Wage.
Pengakuan lelaki yang berdagang sejak tahun 1990-an ini menyebutkan, ayam yang ia perjualbelikan selain berasal dari warga di sekitar tempat tinggalnya, juga berasal dari pedagang yang berkeliling di pasar-pasar tradisional perdesaan di luar Wonosari.
“Mengenai asal ayam dari mana itu tidak pasti, tergantung hari pasaran juga, misalnya hari pasaran Kliwon, ayam banyak disuplai dari wilayah Trowono dan Munggi oleh pedagang ayam keliling,” jelasnya.
Contoh lain, misalnya pada hari pasaran Pahing, kebanyakan datang dari Bedoyo dan Ngrancah. Perputaran mengenai asal ayam terus terjadi. Ia mengaku tidak bisa menyebut wilayah mana yang menjadi sumber ayam kampung terbesar.
Sambung dia, asal pedagang yang menetap di Pasar Unggas rata-rata juga berasal dari wilayah Wonosari dan kecamatan lain di sekitarnya, kemudian pedagang yang lain merupakan pedagang keliling yang memakai bronjong atau bakul dari wilayah yang agak jauh di luar Wonosari. Selain itu beberapa pedagang dari luar Gunungkidul juga ada, mereka melakukan transaksi baik penjualan dan pembelian di pasar unggas ini.
“Ada juga pedagang dari Bantul, Pedan, atau Klaten, mereka melakukan pembelian juga penjualan. Selain sudah punya sasaran langganan penjualan di sejumlah rumah makan di wilayah masing-masing, ada juga yang menjadi supplier untuk pedagang yang dikirim ke Jakarta,” paparnya.
Penjualan ayam kampung di lokal Gunungkidul sangat dipengaruhi momentum waktu-waktu tertentu, misalnya saja pada bulan-bulan di mana masyarakat banyak menggelar hajatan, seperti pernikahan, Rasulan dan hari libur seperti tahun baru, Natal, Lebaran, serta liburan sekolah, pada waktu-waktu tersebut permintaan akan mengalami kenaikan.
Mengenai harga cukup bervariasi, kisaran naik turun harga ayam kampung dewasa baik jantan dan betina antara Rp 60 ribu hingga mencapi ratusan ribu. Hukum pasar berlaku, saat permintaan naik sedangkan stok terbatas, maka harga naik. Begitu juga sebaliknya.
“Apabila pada bulan-bulan tertentu di mana permintaan ayam tinggi, capaian penjulan ayam saya mencapai 900 hingga 1200 ekor per bulan. Lantas rata-rata omset penjualan pada bulan-bulan biasa sekitar 500 hingga 600 ekor saja. Pembelian yang bersifat rutin sebagian besar dilakukan oleh pengusaha kuliner di wilayah Wonosari, Playen, Patuk dan lainnya,” imbuh Bandiono.
Sementara itu, berdasar keterangan Mantri Pasar Kemantren Pasar Wonosari, Joko Santoso, di Pasar Unggas Kranon terdapat sekitar 5 pedagang dengan kapasitas besar, seperti salah satunya Bandiono tersebut. Ia menyebut jumlah pedagang yang terdaftar pada los pasar ada sekitar 40-an pedagang, sementara pedagang tidak menetap atau yang menggunakan bronjong dan bakul berjumlah sekitar 35-an pedagang.
Joko juga mengutarakan upaya pedagang dalam menjaga kualitas atau kesehatan unggas. Menurutnya, apabila ditemui unggas sakit, dengan segera akan dipisah dengan unggas yang sehat, jika perlu pedagang langsung menyembelihnya. (Kandar)