Watu Dakon, Cerita Tempat Main Rara Lembayung Hingga Tetes Air Mata Ki Ageng Giring

oleh -37525 Dilihat
oleh
Watu Dakon, salah satu situs di Padukuhan Kendal, Desa Giring, Kecamatan Paliyan. KH/ Kandar.

PALIYAN, (KH)— Watu Dakon dikenal sebagai salah satu warisan budaya di Gunungkidul, DIY. Keberadaannya memiliki latar belakang cerita pada masa Islam. Batuan yang tedapat banyak lubang mirip dengan alat permainan dakon tersebut berada tidak jauh dari Makam KI Ageng Giring III.

Watu Dakon berada sekitar ratusan meter ke selatan dari Makam Ki Ageng Giring III, tepatnya berada di Padukuhan Kendal, Desa Giring, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul. Keberadaan Watu Dakon dianggap bukan sebagai batuan yang biasa.

Menurut salah satu tokoh warga setempat, Sudarman (65), lubang-lubang batu tersebut disebabkan oleh tetesan air mata Ki Ageng Giring III. Konon, Ki Ageng Giring III tak dapat menahan air mata yang keluar  karena sedih.

“Ki Ageng Giring sedih lantaran air degan atau air kelapa muda yang merupakan simbol wahyu kraton (panca purba) diminum oleh Ki Ageng Pemanahan,” ungkap Sudarman belum lama ini.

Seperti pada kisah atau legenda yang banyak diketahui, Ki Ageng Giring III besama kerabatnya, Ki Ageng Pemanahan diperintah oleh Sunan Kalijaga untuk mencari wahyu keraton yang hilang/ pergi setelah Kerajaan Majapahit runtuh.

Mendatangi Gunung sewu keduanya berada di tempat berbeda. Ki Ageng Pemanahan bersemedi di pertapan Kembanglampir, Panggang, sementara Ki Ageng Pemanahan berada di Padukuhan Giring, Desa Sodo. Berdasar wisik atau bisikan gaib yang diterima Ki Ageng Giring III, wahyu kraton disimbolkan atau ada di buah kelapa muda degan gagak emprit dari pohon kelapa yang sebelumnya ia tanam.

Dari petunjuk gaib pula, barang siapa dapat meminum degan sekali teguk langsung habis (Saendhegan), dialah yang dapat menurunkan raja-raja di tanah jawa. Oleh sebab itulah, bukan main kesedihan yang dirasakan Ki Ageng Giring III. Setelah ia tahu degan yang dipetik, lalu dipersiapkan akan diminum selepas mandi di sungai diminum terlebih dahulu oleh kerabatnya sendiri, Ki Ageng Pemanahan.

Papar Sudarman, saat Ki Ageng Giring III sedang mandi di sungai, Ki Ageng Pemanahan datang. Karena haus, melihat kelapa muda berada di atas pogo, (papan yang dibuat di atas tungku dapur penyimpan hasil panen, berupa jagung) Ki Ageng Pemanahan berniat meminumnya.

“Sebetulnya sempat dilarang oleh istri Ki Ageng Giring, akan tetapi Ki Ageng Pemanahan tidak menghiraukan,” tutur Sudarman.

Nyi Ageng Giring kemudian bergegas menyusul ke sungai dimana Ki Ageng Giring mandi untuk menyampaikan perihal tersebut. Beranjak meninggalkan sungi dengan kesedihan, Ki Ageng Giring III menangis, hatinya patah (gowang). Tetesan air mata menyebabkan batuan berlubang, sejak saat itu nama sungai (kali) di wilayah itu yang sebelumnya dinamakan Kali Nyamat, berubah nama menjadi Kali Gowang.

Singkatnya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan-lah yang menjadi raja-raja di tanah jawa (Mataram). Barulah setelah pada keturunan ke tujuh tampuk kekuasaan kerajaan dipimpin atau berasal dari keturunan Ki Ageng Giring III. Hal ini sesuai kesepakatan keduanya, atas permintaan Ki Ageng Giring III dan kerelaan Ki Ageng Pemanahan.

Cerita versi lain yang juga muncul, Watu Dakon diyakini sebagai tempat permainan putri Ki Ageng Giring III, Rara Lembayung. Saat ini Watu Dakon berubah fungsi menjadi tempat ritual. Hal tersebut terlihat dari banyaknya taburan bunga dan aneka sesaji serta kemenyan yang tersebar di area Watu Dakon.

Meski tidak ada juru peliharanya, namun Watu Dakon nampak dalam kondisi baik, tidak mudah rusak. Sebab, suhu disekitar situs cukup lembab sehingga batuan tidak mudah aus. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar