Tentang Pagebluk dan Mitos

oleh -12886 Dilihat
oleh
Relief bencana di Candi Jago Jawa Timur. Dok: pulunggelungdrupadi.wordpress.com

“Ketika ingatan menjadi penuh beban, ia mencari kebisuan yang dalam.” (Khalil Gibran)

Wajah Raden Pandu masygul, sedih tak terkira. Di hadapannya, bergelimang mayat rakyat jelata. Kerajaan Sriwedari porak poranda dan sunyi karena diserang wabah penyakit. Didampingi Prabu Dasabahu dan para punakawan, Raden Pandu berusaha tetap tegar. Ia pun lalu mendekati Semar. Ki Semar kemudian membisikkan mantra penolak bala. Raden Pandu langsung bergegas menuju Setragopaya, kuburan nan luas di Kerajaan Sriwedari.

Raden Pandu memejamkan mantra sejenak, sejurus kemudian ia membacakan mantra. Tiba-tiba terdengar jeritan dari para makhluk halus, penghuni kubur Setragopaya.  Para penghuni kubur merasa kepanasan karena tuah mantra Raden Pandu. Bahkan Sang Ratu Makhluk Halus pun melolong kesakitan. Ratu Makhluk Halus itu tak lain adalah arwah Dewi Panitra, istri Prabu Dasabahu – Raja Kerajaan Sriwedari.

Demikian sekuel lakon wayang “Raden Pandu Nyirep Pagebluk”.

Pagebluk

Bagi orang Jawa, wabah penyakit bukanlah hal baru. Tidak mengherankan, kosakata bahasa Jawa terkait wabah penyakit cukup banyak tercatat, antara lain: pagebluk, kalabendhu, pralaya, mahalaya dan malapetaka.

Merujuk pada Zoetmoelder (1995), seorang ahli bahasa Jawa Kuno dan filolog mengatakan bahwa pagebluk berasal dari kata dasar “gebluk”, yang artinya jatuh, tumbang, dan tersungkur. Pagebluk dengan demikian gambaran suatu kondisi dimana korban jiwa berjatuhan, bertumbangan, ataupun jatuh tersungkur. Hal tersebut  terjadi secara serentak bahkan berskala luas hingga menewaskan banyak orang.

Tanah Jawa bukanlah tanah yang bebas dari pagebluk, wabah penyakit. Wabah penyakit flu Spanyol, kolera dan pes setidaknya pernah memporakporandakan para leluhur kita. Dan kini kita tengah gagap dan gamang dengan hadirnya wabah pandemik (pagebluk) Corona Virus (Covid-19).  Covid-19 pun serta merta mengubah cara berpikir kita tentang kesehatan, ekonomi, sosial budaya dan bahkan agama. Tidak kalah menarik adalah bagaimana orang Jawa merespon Covid-19 melalui sikap dan perilakunya.

Agaknya respon-respon yang muncul adalah indikasi tentang “melawan lupa” sebagai sebuah memoria passionis (ingatan akan penderitaan).

Melawan Lupa dan Ingatan Penderitaan

Frase politis “Melawan Lupa” buah pikir Milan Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting seolah hidup lagi. Sikap “lupa” entah sengaja atau tidak sengaja nampaknya menjadi tabiat buruk homo sapiens yang perlu dilawan. Barangkali memang terkesan bombastis, namun demikianlah kenyataannya. Manusia mudah lalai dan abai dengan masalah yang dihadapi, yaitu melupakan mencari solusi terhadap akar masalah.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar