kabarhandayani.– Satu tahun sekali di Indonesia ada migrasi secara besar-besaran, Mudik, itulah sebutannya, perpindahan yang sifatnya hanya sementara tersebut melibatkan jutaan orang. hampir seluruh perantau terlibat dalam ritual ini.
Perjalanan darat, laut dan udara memberikan pilihan kepada mereka yang ingin bertemu keluarga, sanak saudara, serta handai taulan, menengok kembali kampung halaman di mana mereka berasal. Pertemuan itu kiranya tidak hanya sebatas melepas rindu selama kurang lebih setahun, tetapi banyak makna dibalik cerita mudik.
Jalanan penuh sesak dan macet menjadi gambaran nyata dan jelas mewarnai peristiwa tersebut, tentunya bagi mereka yang menempuh perjalanan darat. Lagu Desaku Yang Kucinta seakan menjadi lagu wajib sebagai penyemangat perjuangan mereka untuk segera sampai di tujuan.
Keluarga di rumah penuh harap, yang dinanti datang dengan cerita indah kehidupan di kota meski tak banyak, buah tangan yang ditenteng menjadi pelengkap kebahagiaan berkumpulnya sebuah keluarga.
Kenyataannya, tak semua bahagia, bahkan tidak sedikit kedatangannya disambut isak tangis keluarga dan saudara, karena yang sampai hanya tinggal sekujur tubuh tanpa nyawa, hanyalah nama dan kabar saja. Meninggal akibat kecelakaan sebelum sampai di kampung halaman. Korban mudik sebanyak 352 jiwa (media cetak Kedaulatan Rakyat).
Menengok realita yang ada, peningkatan jumlah kendaraan, terutama sepeda motor tidak diikuti dengan peningkatan bertambahnya infrastruktur jalan, dalam hal ini sebagai penampung kendaraan.
Jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit, naik 11 persen dari tahun sebelumnya (2012) yang cuma 94,299 juta unit. (kompas otomotif)
Kemudian menurut (edukasi.kompasiana.com) bahwa pembangunan Jalan hanya seperempat dari pertumbuhan jumlah kendaraan. Kemudian terkait mudik, pengguna jalan di pulau Jawa selalu membludak di jalur Pantura. Di mana jalan tersebut merupakan jalur utama pemudik.
Meski hanya setahun sekali, selalu saja ratusan nyawa menjadi korban layaknya sebagai tumbal ritual mudik. Akankah perbaikan demi perbaikan dengan sedikit penambahan jalan mampu menampung laju pertumbuhan kendaraan yang terus meningkat tajam?
Pastinya tidak mungkin pemerintah membuat regulasi atau kebijakan untuk mengurangi kepadatan jalan berupa jatah mudik dua tahun sekali, misalnya saja, separoh dari seluruh perantau yang diperbolehkan mudik tahun ini, lalu bergantian giliran di tahun depan.
Dalam waktu bersamaan, di tempat sama dan dengan daya tampung yang sama pula (jalur pantura) tidak akan selamanya mampu menjadi perantara yang nyaman dan aman bagi pemudik.
Kiranya percepatan pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) dapat menjadi solusi. Di mana keberadaannya mampu membagi yang tadinya pengguna jalur pantura untuk melewati wilayah selatan. Seperti di Gunungkidul, Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) sedang dalam penggarapan. Tidak sebatas perbaikan namun pembukaan jalan baru.
Kendala dana yang besar membuat JJLS yang melalui Kabupaten Gunujngkidul tidak dapat dengan cepat bisa dirampungkan, pasalnya Pemkab Gunungkidul hanya dapat mengalokasikan anggaran 1 Milyar Rupiah tiap tahun dari APBD untuk pembebasan lahan JJLS.
Dari total 82,5 Km yang harus di tanggung Pemkab Gunungkidul dan DIY kini baru sekitar 30 Km yang mampu di selesaikan dari tahun 2005 hingga tahun 2013 dan sudah menelan dana sekitar 300 Milyar. (sesuai pernyataan Surono, Kasubag Pengendalian Pertanahan dan Pembinaan Wilayah, Bagian Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah Gunungkidul)
Padahal, total panjang JJLS di gunungkidul mencapai 82,5 Km, Surono pesimis bahwa tahun 2020 JJLS dapat selesai jika kendala dana tidak segera mendapat solusi, dalam hal ini Ia berharap adanya campur tangan pemerintah pusat.
Di Gunungkidul seperti ini, lalu bagaimana di Kabupaten lain, seperti Bantul, Kulonprogo, Wonogiri, Pacitan? Kalau terlalu lama, sepertinya akan menambah rentetan kisah memilukan ritual mudik tiap tahun yang seharusnya membahagiakan. Semoga pemerintahan yang baru dapat memberi solusi, Pekerjaan Rumah (PR) yang harus segera dikerjakan.
Penulis adalah wartawan lepas Kabarhandayani. Sehari-hari bekerja sebagai guru yayasan tidak tetap di sekolah swasta di Gunungkidul.
Sisi Gelap Ritual Mudik, Seperti Pembunuhan Rutin Tahunan
Penulis: Sukandar, S.IP