PALIYAN, (KH)— Fenomena memprihatinkan adanya warga yang menjerit karena terjerat rentenir masih banyak terjadi. Situasi mendesak menjadi alasan utama awal mula warga memakai jasa pinjaman keuangan yang identik dengan bunga tinggi itu.
Berupaya untuk menanggulanginya, banyak tokoh atau stakeholder membuat beragam kebijakan. Seperti yang dilakukan Kepala Padukuhan Namberan, Desa Karangasem, Paliyan, Sumarwanto, ia bersama warga berencana menolak beragam jasa pinjaman uang yang dirasa mencekik itu.
Akhir-akhir ini ia sedang gencar melakukan sosialisasi kepada warganya atas sikap dan pandangannya terhadap rentenir, bank harian atau bank tangluk dan sejenisnya itu.
“Tujuannya agar warga tidak tergiur dan memanfaatkannya. Apabila terlanjur memanfaatkan pinjaman pasti kemudian menyesal karena sangat memberatkan,” urainya.
Masyarakat pengguna jasa bank harian atau (pasaran) secara umum berada pada tingkat ekonomi menengah kebawah. Mereka akan semakin terlilit bahkan hal itu semakin memperburuk kondisi ekonominya. Tak sebatas itu, dinamika kehidupan sosial semakin tidak tertata, dari hari ke hari energi terkuras dan terforsir pada permasalahan hutang saja.
“Kalau rentenir sudah sejak beberapa tahun yang lalu kita tolak masuk kampung kami. Warga benar-benar kami himbau tidak memakai jasanya,” terangya. Meski demikian, masih saja ada warga yang belum bisa terlepas dari jeratan rentenir. Meski tidak menambah jumlah hutang, namun sisa pinjaman tak kunjung lunas. Sehingga mau tidak mau rentenir masih keluar masuk dalam rangka menagih hutang.
Dilematis bagi Sumarwanto, disisi lain ia tidak ingin warganya menderita, tetapi secara faktual kebutuhan mendesak yang dialami masyarakat terkadang membuat mau tidak mau akhirnya menyerah dan menerima tawaran rentenir.
Saat ini, lanjut dia, bank harian dan sejenisnya menjadi problema baru. meski berjenis bank atau koperasi tetapi bunga yang ditetapkan tetap saja tinggi. Dirinya menyebut beberapa warga bahkan mengalami gali lobang tutup lobang dalam membayar hutang.
Dirinya sungguh prihatin, ada warga di wilayahnya yang seolah pas apabila digambarkan dengan ungkapan berbahasa jawa “entek ngalas entek ngomah”. Bagaimana tidak, kata dia, hutang yang awalnya hanya Rp. 10 juta setelah terakumulasi dengan bunga dan tunggakan angsuran, jumlah hutang menjadi Rp. 80 juta.
“ia dulu (red: korban rentenir) tergolong punya banyak ladang tetapi sekarang habis, bahkan tanah yang dimiliki tinggal pas pekarangan rumah saja,” ungkap Sumarwanto prihatin. Mirisnya lagi, hingga saat ini hutang belum lunas meski menjual aset tanah dan beberapa aset harta lainnya.
Dirinya mengaku, bahwa agar wilayahnya menjadi benar-benar bersih dari rentenir dan bank harian bukan perkara mudah. Namun perlahan ia sudah memulai melalui berbagai kesempatan mensosialisasikan kepada warga, dengan tujuan jangka panjang agar warga melepas dan meninggalkan segala bentuk jasa pinjaman yang memberatkan.
Sambungnya, alternatif solusi permasalahan jasa keuangan saat ini telah ada UPK, dan kelompok-kelompok masyarakat lingkup padukuhan yang dapat memberikan pinjaman lunak.
“Warga harus yakin dan mampu secara bersama menahan diri untuk tidak menggunakan jasa keuangan tersebut, sehingga eksistensi jasa keuangan berbunga tinggi lama-lama menurun. Memang kebutuhan biaya yang mendesak sulit dihindari maka kita minta warga agar bijak mengelola perekonomiannya,” tandas Sumarwanto. (Kandar)