Sendang Pitutur: Situs Spiritual Ki Ageng Giring III

oleh -9100 Dilihat
oleh
Sendang pitutur
Warga sedang mengambil air di Sendang Pitutur. (KH/ Kandar)

GUNUNGKIDUL, (KH),– Di tepi pemukiman warga Dusun Giring, Kalurahan Giring, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul, DIY terdapat mata air atau sendang bernama Pitutur. Sendang Pitutur konon merupakan salah satu sumber air yang kerap dimanfaatkan oleh Ki Ageng Giring III. Leluhur masyarakat setempat. Ia sekaligus merupakan tokoh bagi Kerajaan Mataram Islam.

Seperti pada artikel Ki Ageng Giring dan Awal Mula Desa Sodo, Ki Ageng Giring III erat kaitannya dengan historis Kalurahan Giring dan Kalurahan Sodo. Dua kalurahan yang bersebelahan ini punya spirit yang sama, baik mengenang keberadaannya melalui berbagai ritual sekaligus menempatkannya sebagai tokoh penting atas kelahiran dua wilayah itu.

Selain ritual, terdapat beberapa situs yang konon berkaitan langsung dengan era hidup Ki ageng Giring III. Yang utama tentu saja Makam Ki Aheng Giring III di Kalurahan Sodo. Sementara di Kalurahan Giring terdapat Kali Gowang, Situs Watu Dakon dan Tapak Dalem.

Tokoh Warga asal Padukuhan Giring, Sunardi mengisahkan, Tapak Dalem merupakan tanah lapang tak begitu luas. Diyakini dahulu kala merupakan kediaman Ki ageng Giring III.

“Tidak ada bekas memang. Penentuannya oleh leluhur zaman dahulu berdasar intuisi melalui laku prihatin. Akan tetapi ada alasan yang logis, karena Tapak Dalem berdekatan dengan Sendang Pitutur,” tutur Ketua Dewan Mandiri Kalurahan Budaya ini beberapa waktu lalu.

Sudah menjadi semacam budaya masyarakat di Gunungkidul, mereka yang tinggal di kawasan selatan di antara gugusan Gunung Sewu selalu menempatkan tandon air atau Penampungan Air Hujan (PAH) dekat dengan rumah.

Demikian juga dengan keberadaan Sendang Pitutur. Sendang berupa batu layaknya wadah membentuk tabung tersebut diyakini sebagai sumber air untuk kebutuhan harian Ki Ageng Giring III.

Letak sendang secara topografi berada di lereng atau tanah yang miring. Dahulu selalu terisi air secara alami. Akan tetapi, belakangan saat kemarau, agar tetap terisi air warga masyarakat mengisinya dengan air dari Kali Gowang. Sungai yang di salah satu titik bantarannya terdapat Situs Watu Dakon.

Sunardi berkisah, berdasar cerita turun temurun, Sendang Pitutur selain dijadikan sarana pemenuhan kebutuhan air, juga dijadikan oleh Ki Ageng Giring III sebagai tempat mendidik pengikut dan warga masyarakat.

“Pitutur bisa diartikan memberi nasehat atau wejangan. Maka, kawasan tersebut pada waktu kemudian juga dijadikan oleh orang-orang untuk berdiam diri, mencari petunjuk, instropeksi diri, meditasi serta merefleksi kedewasaaan berfikir. Sebagian diantaranya datang karena sedang terbelit masalah,” beber lelaki berkumis ini.

Sendang pitutur
Tiga pusaka berada di Tapak Dalem. (KH/ Kandar)

Karena fungsi tersebutlah, nama sendang tersebut diberi julukan Sendag Pitutur. Tidak hanya datang dari Yogyakarta, orang-orang dari luar Yogyakarta juga kerap mendatangi sendang ini. Lebih-lebih manakala momentum pemilihan umum. Kini sebagian warga juga yakin, air sendang bertuah. Warga yang yakin mengambil air sendang kemudian dicampur atau masukkan ke tandon air. Ada yang lantas bermunajat diberi kesehatan serta segala harapan baik keluarga dapat terkabul.

“Sebagaimana riwayatnya, Ki Ageng Giring III mendapat petunjuk wahyu keraton juga di sini, kawasan  Giring-Sodo,” imbuhnya.

Adapun di Tapak Dalem tak terdapat bekas bangunan fisik, konon rumah zaman dahulu sangat sederhana. Terbuat dari kayu dan beratap ilalang. Sehingga diyakini karena termakan usia sudah rusak hingga tak berbekas. Pada bagian tengah dibangun lantai berkeranik tak begitu luas. Sebatas lantai tanpa atap.

Lantai tersebut difungsikan untuk menaruh 3 benda pusaka peninggalan Ki Ageng Giring III menjelang prosesi adat tradisi Babad Dalan. Masyarakat Padukuhan Giring menjadikannya titik tolak saat hendak melaksanakan kirab pada tradisi Babad Dalan. Selain benda pusaka, ada gunungan yang kemudian dikirab dari lokasi tersebut menuju balai kalurahan.

Pusaka Kyai Udan Arum, Songsong Agung Tunggul Naga, dan Songsong Sangga Buwana merupakan pusaka yang dikembalikan oleh Keraton Yogyakarta selepas Sri Sultan HB IX mangkat.

“Pengembalian itu terkait perjanjian Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan. Perjanjian mereka : keturunan Ki Ageng Pemanahan hanya akan memimpin keraton hingga keturunan ke- 9, selanjutnya dilanjutkan keturunan Ki Ageng Giring III,” terang Sunardi.

Sendang pitutur
Sungai atau Kali Gowang. (KH/ Kandar)

Konon riwayat yang banyak diyakini, Ki Ageng Giring III-lah yang mendapat wangsit atau petunjuk keberadaan wahyu keraton yang oncat atau hilang selepas Keraton Pajang runtuh.

Baik Ki Ageng Giring III dan Pemanahan sama-sama mengembara hingga sampai di Gunung Sewu untuk mencari keberadaan wahyu keraton.

Namun, setelah Ki Ageng Giring III mendapat petunjuk bahwa wahyu keraton berada di sebuah kelapa muda dengan sebutan Degan Gagak Emprit, justru Ki Ageng Pemanahan-lah yang meminumya terlebih dahulu.

Memang, Ki Ageng Giring III sempat marah. Namun, akhirnya legawa. Pusaka sebagai tindih atau pegangan yang telah disiapkan Ki Ageng Giring III saat hendak mendirikan keraton pun diserahkan ke Ki Ageng Pemanahan. Penyerahan pusaka itu juga disertai ikatan perjanjian, bahwa keturunan Ki Ageng Pemanahan hanya akan memerintah keraton hingga keturunan ke- 9.

“Maka setelah Sri Sultan HB IX wafat kemudian digantikan HB X, 3 pusaka dikembalikan ke Kalurahan Giring. Saat ini disimpan di rumah Lurah Giring. Hanya momentum Babad Dalan saja kemudian dikeluarkan untuk dikirab,” tukas Sunardi. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar