“Waktu itu wayahe surup, Mas. Saya golek pakan di ladang, memanjat pohon mahoni. Tingginya sekitar 7 meter. Dahan yang saya pijak sempal. Saya terjatuh,” Maridi (38 tahun) mengawali ceritanya. Ia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan tulang punggungnya patah sehingga dia menjadi lumpuh separuh badan.
Kecelakaan itu terjadi tahun 2009. Tindakan medis sudah langsung dilakukan padanya, termasuk operasi. Tetapi garis nasib mengharuskan Maridi dan keluarga menerima kenyataan: secara medis dokter sudah menvonis Maridi lumpuh separuh tubuhnya. “Selama dua minggu di rumah sakit rasanya tidak karuan. Ajeng nedhi mboten enten rasane. Maridi niku anak tunggal kula,” cerita Mbah Tuminah (70 tahun), simbok-nya.
Cerita Maridi, awal-awal waktu setelah kejadian, masih banyak orang yang peduli kepadanya. Banyak orang menyumbang dalam bentuk uang atau apapun, baik dari tetangga atau para donatur, atau dari teman-temannya di MTs tempatnya bekerja dulu. Sebelum mengalami kecelakaan, Maridi bekerja sebagai tukang sayur keliling dan staf pengajar di MTs. Namun seiring berjalannya waktu Maridi berpikir, apakah sepanjang hidupnya ia akan mengandalkan bantuan dari orang lain? Tentu mereka juga punya kepentingan dan kebutuhan sendiri. Ia malu jika meneruskan hidupnya hanya dengan belas kasihan orang lain. Sedangkan kedua anaknya terus tumbuh, bersekolah dan tentunya membutuhkan biaya.
Dengan alat yang sudah dimodifikasi itu, Maridi berusaha untuk bangkit. Sambil berbaring miring dia menggunakan kedua tangannya untuk membuat emping ketela. Ia menceritakan bahwa tubuhnya sering lecet-lecet karena seharian bekerja sambil berbaring. “Saya ingat, penjualan pertama saya mendapat untung 12 ribu rupiah. Itu adalah uang yang tidak seberapa dari segi jumlahnya, tetapi bagi saya uang itu sangat berharga. Uang itu mampu memberikan semangat yang luar biasa. Dengan keterbatasan saya ini, saya bisa bekerja mencari nafkah,” kenang Maridi.
Semangat Maridi mulai bangkit. Kebetulan waktu itu Maridi mendapat bantuan kursi roda. Dengan tekad untuk sebisa mungkin bekerja, Maridi mulai biasa menggunakan kursi rodanya. Sehari hari ia tidak lagi berbaring, tetapi mulai beraktivitas menggunakan kursi rodanya. Usaha Maridi sedikit demi sedikit mulai berkembang. Selain emping ketela, ia menciptakan produk kerupuk daun ketela.
Maridi tinggal di Dusun Karang Kalurahan Girikarto Kapenewon Panggang Gunungkidul. Bahan makanan ketela sangat dekat dengan kehidupan masyarakat di dusunnya sebagai salah satu produk pertanian. “Hasil gaplek di sini melimpah, namun harga jualnya rendah jika dijual mentah. Saya berpikir untuk menciptakan produk makanan berbahan gaplek yang bisa punya nilai jual lumayan,” tuturnya.
Didukung dengan keuletannya dan sentuhan istrinya, produk makanan olahan ketela Maridi mulai dikenal masyarakat. Selain dititip-titipkan di warung, produk Rengginang Thiwul juga sudah masuk ke Swalayan Pamela. Order mulai banyak yang masuk kepadanya. Jika ada order banyak, Maridi mengajak tetangga-tetangganya untuk merampungkan pesanan. “Alhamdulillah, sebelum Covid, omset penjualan saya sudah di kisaran 2,5 juta per bulan,” terangnya.
Di tahun 2018, atas fasilitasi Pemerintah Desa dan Dinas Sosial, Maridi mendapat kesempatan untuk mengikuti kursus di Pundong, Bantul. Program ini merupakan pelatihan khusus bagi para difabel untuk mengembangkan kemandirian. Marsidi mengisahkan bahwa di pelatihan itu ia banyak bertemu dengan teman-teman yang senasib dengannya. “Ada yang keadaan tubuhnya lebih parah dari saya. Semangat mereka sangat luar biasa. Itu mendorong untuk saya untuk lebih bersemangat bekerja,” ujarnya. Di sana lah Maridi bertemu seorang teman yang bernama Tete, Klaten. “Mbak Tete difabel juga seperti saya. Ia mempunyai usaha sablon yang lumayan besar. Mbak Tete yang memotivasi saya untuk lebih mengembangkan usaha produk olahan ketela saya,” ungkapnya.
Dengan motor termodifikasi Maridi bertambah semangat. Saat ini Maridi biasa mengendarai motornya sendirian berkeliling Gunungkidul bahkan hingga ke wilayah Klaten dan Jogja. Selain mengantarkan pesanan produknya, Maridi juga aktif mengunjungi teman-teman yang senasib dengannya. “Sekedar memotivasi, bagaimanapun keadaan kita, kita tetap harus semangat memjalani hidup,” tegasnya.
Maridi aktif di Difabel Siaga Bencana (DIFAGANA) , dan Forum Komunikasi Disabilitas Gunungkidul (FKDG). Ia mempunyai harapan adar ia bisa bermanfaat bagi orang lain. Prinsip hidupnya: ana padhang ana peteng, ada terang ada gelap. Apapun nasib yang menimpanya, tentu ada hikmah yang terkandung di dalamnya. “Keadaan ini banyak sekali memberikan hikmah bagi saya. Dengan keterbatasan fisik seperti ini menjadikan wawasan saya lebih terbuka. Saya semakin memiliki banyak teman. Kegiatan-kegiatan yang saya lakukan semoga bermanfaat untuk diri saya dan orang lain, ” pungkasnya.
Petang itu gerimis turun di Girikarto. Listrik tiba-tiba padam. KH memohon pamit kepada Maridi dan keluarganya untuk meneruskan perjalanan. Bersama Mas Iwan, seorang teman di Girisekar yang seharian menemani berkeliling, KH mengundurkan diri dengan membawa banyak pelajaran dan hikmah hidup dari seorang Maridi, yang selama 11 tahun tetap bersemangat untuk berjuang demi kelangsungan hidupnya dari atas kursi rodanya.
[KH/Edi Padmo]