Save Rescue Menelusuri Kegelapan Gua, Mencari Sumber Air

oleh -
Air yang berhasil di angkat dari dalam gua dan siap di gunakan oleh masyarakat. (dok Save Rescue)

WONOSARI, (KH),– Masalah kekeringan yang terjadi di wilayah Gunungkidul memang sudah menjadi agenda rutin setiap musim kemarau tiba. Tangki-tangki air yang hilir mudik di jalan-jalan sudah menjadi sebuah pemandangan yang biasa dan rutin dapat kita jumpai dihampir seluruh wilayah Gunungkidul. Banyak upaya sudah dilakukan, mengebor, membuat embung, bendungan, pembuatan penampung air, PAMDes, memperluas jaringan Sambungan Rumah (SR) PDAM dan lain lain. Tapi kenyataannya jumlah tangki untuk droping air tiap tahun selalu cenderung meningkat, apalagi jika musim kemarau panjang, luasan dampak kekeringan ini prosentasenya sangat tinggi.

Di tahun 2020 ini, musim kemarau termasuk normal, tidak begitu panjang di banding 2019 lalu, tapi data kekeringan yang di laporkan BPBD, menyajikan data bahwa dengan keadaan kemarau normal, 74 dari 144 Kalurahan di Gunungkidul mengajukan  permohonan droping air ke BPBD. 74 Kalurahan ini masuk di 11 Kapanewon dari 15 Kapanewon di Gunungkidul, sementara untuk tahun 2020 ini Pemkab Gunungkidul melalui BPBD, menyiapakan anggaran Rp 740 juta, khusus untuk droping air. Dana sebesar itu dialokasikan untuk operasional dan termasuk menyiapkan 2000 tangki air. Angka jumlah tangki ini belum termasuk yang berasal dari dana Kapanewon ataupun para relawan dan donatur baik person maupun yang lewat beberapa komunitas atau Lembaga Swadaya Masyarakat.

“Sejak tahun 2010, kami mulai melakukan penggalangan dana untuk droping air, dan itu selalu menjadi agenda rutin Save Rescue setiap musim kemarau tiba,” kata Edi Dwi Atmaja (33), pria yang tinggal di Dusun Selang, Kalurahan Selang, Kapanewon Wonosari. Dia adalah Koordinator Save Rescue (SR), semacam relawan yang anggotanya kebanyakan berlatar belakang komunitas Pecinta alam. Member SR ini saat ini ada sekitar 30-an orang.

“Setelah 8 tahun berjalan, kami mulai berpikir, apakah hanya droping air satu-satunya solusi untuk masalah air di Gunungkidul, sementara dari data lapangan, angka statistik droping air ini setiap tahun cenderung terus meningkat,” ujar Edi.

Wilayah Gunungkidul adalah wilayah dengan topografi bukit-bukit kapur, di kenal dengan nama Zona Batur Agung di sisi utara dan Pegunungan seribu di bagian selatan. Kebentukan Geologis  membuat perut bumi Gunungkidul berongga-rongga, menciptakan ruang-ruang atau alur-alur yang sering di sebut dengan Gua.

Ada dua jenis gua dinilai dari kebentukan mulut gua, ada gua vertikal (luweng ) dan gua horizontal. Gunungkidul memiliki ribuan dua jenis gua tersebut. Baik yang sudah ataupun yang belum dieksplorasi. Caving (penelusuran gua) adalah salah satu kegiatan yang sering di lakukan para komunitas pecinta alam. Kegiatan ini sering di lakukaan oleh Edi dan teman-temannya,

“Caving ini adalah hoby yang sangat membutuhkan adrenalin, ketika kita masuk di sebuah gua, apalagi yang belum pernah diekplorasi, kita tidak tahu apa yang akan kita temui di dalam,” cerita Edi.

Persiapan Susur gua. (dok. Save Rescue)

“Tim harus kompak, persiapan juga harus matang, baik fisik, mental juga alat- alat kelengkapan Caving” lanjutnya.

Kegemaran Edi melakukan kegiatan Caving ini membuat dia mendapat julukan Edi Guano. Guano adalah kotoran kelelawar yang bersarang di gua-gua. Kotoran ini terkumpul selama ratusan tahun, dengan jumlah koloni kelelawar yang mencapai ribuan membuat Guano ini menggunung. Saat ini sering dikeruk untuk pupuk pertanian, Guano memiliki kandungan pupuk yang sangat baik.

“Teman-teman sering menjuluki saya sebagai manusia gua, juga seperti kelelawar, dan akhirnya julukan Guano ini melekat kepada saya. Kayaknya malah asyik, bisa menjadi sebuah image bagi saya. Nama saya lebih gampang populer,” seloroh Edi dengan tertawa.

Di tahun 2018, Edi dan teman-teman Save Rescue memutuskan untuk memanfaatkan kegiatan Caving ini bukan hanya untuk sekedar hobi, tapi untuk memetakan dan mengeksplorasi sumber-sumber air bawah tanah yang ada di dalam gua.

“Dalam penelusuran gua, kami sering menemukan sumber air, terutama di gua-gua wilayah selatan Gunungkidul. Sering sebetulnya lorong gua-gua ini adalah jalur dari sungai bawah tanah, ketika air ini bisa diangkat tentu bisa membantu mengatasi masalah air di Gunungkidul, hal ini bisa mengurangi rutinitas droping air,” harap dia.

Ibarat pepatah sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui, Edi  Guano mulai memprogramkan kegiatan Caving, sekaligus memetakan dan berusaha mempelajari karakter dan debit sumber sumber air yang mereka temui di dalam gua.

Sejak tahun 2018, tercatat Save Rescue sudah berhasil memetakan dan mengeksplorasi 7 gua di Gunungkidul yang ada sumber airnya, diantaranya Gua Keceme, Jotak, Gebyok, Kledokan, Cikal, dan Cekelan. Setelah menemukan sumber air, langkah pertama yang dilakukan SR adalah kajian lingkungan seputaran gua, kemudian dilanjutkan dengan pumping test. Hal ini bertujuan untuk mengukur debit air dari sumber air itu.

“Sumber air yang kita temukan kita pelajari dulu karakternya, karena jika akan diangkat harus mempunyai beberapa syarat kelayakan, diantaranya sumber air itu bukan sumber air statis, dalam arti harus ada input air tetap yang mengalir. pumping test ini bertujuan jika sumber air ini disedot dengan pompa, air tidak akan kering,” terang Edi.

Dari data eksplorasi yang terkumpul, kemudian akan dibuat kesimpulan layak tidaknya sumber air ini di angkat. Ketika memang layak untuk di angkat, Save Rescue akan berusaha mencari donatur untuk mulai pengadaan alat, sarana dan prasarana pengangkatan sumber air. Biasanya pompa (Submersible) ada yang mendonasikan, listrik dan pipa-pipa usaha swadaya masyarakat calon pengguna air.

Rata-rata tiap tahun Save Rescue memgeksplorasi 5 gua, dan tidak mesti menemukan sumber air di dalamnya. Hasil eksplorasi dan pengangkatan air yang kini sudah dimanfaatkan oleh warga adalah sumber air Gua Keceme, di Kalurahan Girisekar, Kapanewon Panggang.

“Alhamdulillah, Keceme saat ini sudah dimanfaatkan oleh warga 2 RT, yang sedang diproses sekarang sumber air Gua Gebyok dan Cekelan. Sementara kegiatan eksplorasi kita hentikan karena sudah memasuki musim penghujan, terlalu berbahaya karena di musim hujan debit air di dalam Gua bisa tiba-tiba penuh,” sambung Edi lagi.

Mengenai aspek keselamatan Edi dan teman-temannya tidak mau sembrono. Pengalaman dan jam terbang tentang kegiatan Caving ini akan menentukan ketepatan mengukur kemungkinan risiko yang akan dihadapi. Proses eksplorasi sumber air di dalam gua mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi dan tidak sesederhana.

Susur gua mencari sumber air. (dok Save Rescue)

“3 kali kami melakukan pumping test di dalam Gua Cikal, dan hasil sementara sumber air adalah Static pool, dengan input yang kecil, perlu dilakukan ekplorasi lanjutan dan lebih ke dalam lagi ,” ujar Edi.

“Banyak suka dukanya, sukanya adalah ketika apa yang kami lakukan ini mampu membantu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan akan air, dukanya ya disamping risiko yang kita hadapi di dalam kegelapan gua, kadang upaya kami mengangkat air ini, ketika berhasil terus dimonopoli oleh pemilik lahan, baik dikomersiilkan ataupun di pakai sendiri,” keluh dia.

“Sebetulnya dengan kolaborasi antar stakeholder yang kompak, kendala monopoli sumber air ini bisa di minimalisir,” ujar Amin Sulaksono (36). Dia adalah seorang Pendamping Lokal Desa (PLD) program dari Kementrian Desa.

“Idealnya begini, jika upaya dari teman-teman Save Rescue ini dikolaborasikan dengan Pemdes, dalam hal ini pengelolaan sumber air di serahkan ke kelompok Masyarakat, ini bisa di jadikan Pamdus atau Pamdes, yang bisa diintegrasikan ke Unit usaha Bumdes. Dengan aksesbilitas permodalan Bumdes yang luas terhadap Dana Desa, pengadaan sarana prasarana pengelolaan air tentu akan lebih maksimal,” lanjut Amin.

Obrolan KH suatu sore itu dengan Edi Guano juga dihadiri oleh Amin sulaksono (PLD), dan Gunawan (aktivis komunitas Resan Gunungkidul). “Ke depan kita bisa kolaborasi, kami dari Komunitas Resan Gunungkidul menggarap konservasi permukaan dengan penanaman pohon, untuk membantu daerah tangkapan air hujan, teman-teman Save Rescue mengeksplorasi sumber-sumber air bawah, dan pak Amin sebagai Pendamping Desa, mengadvokasi upaya ini agar bisa diakomodir pemerintah. Kerja bareng ini ke depan semoga bisa menjadi solusi masalah air di Gunungkidul,” ujar Gunawan dengan optimis.

Edi Guano. (KH/Edi Padmo)

Senada dengan yang diungkapkan oleh Gunawan dan Amin, Edi guano mengiyakan, bahwa kerja bareng dengan kapasitas masing-masing dalam jangka panjang tentu bisa menjawab pertanyaan, “apakah hanya droping air yang selalu jadi solusi masalah air di Gunungkidul?”.

“Musim hujan ini kita jeda dulu masuk gua, ke depan dengan semakin banyak teman yang peduli, kami semakin optimis dengan upaya kami ini, semoga bermanfaat untuk masyarakat,” kata Edi Guano menutup perbincangan.

Sejak setahun yang lalu ini Edi memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai guru Honorer di sebuah sekolah. Dia memutuskan untuk menekuni profesinya sebagai Barista (peramu kopi), dan fokus mengelola Katamata Coffe di rumahnya. Pria lulusan S1 Biologi UGM, dan menamatkan S2 Psikologi UAD ini tampak yakin dengan keputusannya, mengelola kafe dan berikhtiar dengan teman-teman Save Rescuenya, menelusuri kegelapan gua-gua dalam upaya membantu masyarakat Gunungkidul untuk memenuhi kebutuhan air. [Edi Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar