Wakil Ketua Satgas Berani Hidup, dr. Ida Rochmawati, MSc., Sp.KJ (K), salah satu perumus modul Pedoman Pencegahan Bunuh Diri, kepada KH beberapa waktu lalu memaparkan mengenai seluk beluk bunuh diri dan upaya apa saja yang dapat ditempuh untuk menanggulanginya.
Psikiater di RSUD Wonosari ini memulai penjelasan dengan definisi tentang bunuh diri. Menurutnya, sesuai dengan definisi WHO (tahun 2001) yang mengacu pada pendapat Emile Durkheim (seorang sosiolog), kejadian bunuh diri dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu bunuh diri: egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik.
Bunuh diri egoistik terjadi pada orang yang kurang kuat integrasinya dalam suatu kelompok sosial. Misalnya orang yang hidup sendiri lebih rentan untuk bunuh diri daripada yang hidup di tengah keluarga, dan pasangan yang mempunyai anak merupakan proteksi yang kuat dibandingkan yang tidak memiliki anak. Demikian pula masyarakat di pedesaan lebih mempunyai integritas sosial daripada di perkotaan.
Bunuh diri altruistik terjadi pada orang-orang yang mempunyai integritas berlebihan terhadap kelompoknya. Contohnya adalah tentara Jepang dalam peperangan dan pelaku bom bunuh diri.
Bunuh diri anomik terjadi pada orang-orang yang tinggal di masyarakat yang tidak mempunyai aturan dan norma dalam kehidupan sosialnya.
Bunuh diri fatalistik terjadi pada individu yang hidup di masyarakat yang terlalu ketat peraturannya. Dalam hal ini individu dipandang sebagai bagian di masyarakat dari sudut integrasi atau disintegrasi yang akan membentuk dasar dari sistem kekuatan, nilai-nilai, keyakinan, dan moral dari budaya tersebut.
Tokoh psikoanalis Sigmund Freud (1856-1939) mengatakan, bunuh diri merupakan agresi yang membalik kepada dirinya terhadap suatu obyek cinta. Sementara itu Karl Menninger (1938) mengatakan bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan terbalik karena kemarahan terhadap orang lain diarahkan kepada dirinya.
Perkembangan terakhir dari ilmu yang mempelajari fenomena bunuh diri telah memberikan pandangan baru, bahwa berdasarkan interaksi dari faktor biologis (biokimia dan neuroendokrin), psikologis (perasaan dan keadaan emosional) dan sosial dari seseorang menjadi faktor-faktor resiko kejadian bunuh diri. Pandangan ini memberikan pengertian yang lebih baik tentang bunuh diri, sehingga penatalaksanaannya (baca: upaya pencegahannya) dapat bersifat lebih komprehensif.
Sementara itu, agar dapat memahami upaya pencegahan resiko bunuh diri, beberapa definisi operasional yang perlu dipahami terkait bunuh diri adalah beberapa hal sebagai berikut:
Agar mengetahui perbedaan antara percobaan bunuh diri dan bunuh diri, maka dapat ditengarai dari berbagai kondisi sebagai berikut:
Percobaan Bunuh Siri | Bunuh Diri |
Umumnya terjadi pada kelompok usia muda | Dewasa dan usia lanjut |
Lebih umum terjadi pada wanita muda yang tak menikah | Lebih umum terjadi pada pria (Lebih banyak pada bujangan, bercerai atau duda) |
Bersifat ambivalen (mendua) | Bersifat tegas |
Menggunakan metode yang tidak mematikan | Menggunakan metode yang lebih mematikan |
Berkaitan dengan perilaku menarik perhatian | Berkaitan dengan keinginan yang kuat untuk mati |
Cara yang sering dipakai adalah dengan meminum racun | Cara yang sering dipakai adalah menggantung diri, minum racun keras atau membakar diri |
Stresor seringkali berupa konflik interpersonal atau konflik dalam keluarga | Stresor bervariasi meliputi sakit stadium terminal dan faktor sosioekonomi |
Penyebab Bunuh Diri
Menurut Modul Pencegahan Bunuh Diri yang disusun Satgas Berani Hidup, sampai saat ini belum didapatkan penyebab yang pasti dari bunuh diri. Bunuh diri merupakan interaksi yang kompleks dari faktor-faktor genetik, organobiologik, psikologik, dan sosiokultural. Faktor-faktor itu dapat saling menguatkan atau melemahkan terjadinya tindakan bunuh diri pada seorang individu.
Pada abad ke dua puluh, bunuh diri dianggap disebabkan oleh disintegrasi sistem sosial. Di daerah dengan masyarakat yang mencela perbuatan bunuh diri, maka angka bunuh diri di tempat itu relatif rendah, sedangkan di tempat yang menganggap perbuatan bunuh diri sebagai suatu hal yang berani, maka angka bunuh diri di tempat tersebut jadi tinggi (misalnya di Jepang).
Individu merupakan makluk yang unik. Perilaku individu untuk bunuh diri ditentukan oleh kelemahan atau kekuatan jiwa individu tersebut dan situasi kehidupan yang mereka alami. Beberapa faktor yang mempengaruhi bunuh diri adalah:
Beberapa orang akan bereaksi secara impulsif, sementara yang lainnya melalui proses yang bertahap. Ide dan keinginan bunuh diri semakin lama semakin besar yang mengakibatkan individu menjadi tak berdaya, putus asa, dan akhirnya sampai pada suatu keadaan merusak diri.
Dengan mengetahui seseorang yang akan berusaha atau kemungkinan berpikir tentang bunuh diri, maka semua pihak dapat membantu melakukan pencegahan resiko tidak bunuh diri. Petugas kesehatan sebagai unit layanan primer kesehatan sangat perlu mengetahui ciri atau faktor resiko individu yang rentan untuk melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri.
Riset menunjukkan bahwa dimungkinkan untuk mengidentifikasi individu yang akan bunuh diri, dengan syarat petugas kesehatan peka terhadap kata-kata atau perilaku dan tanda-tanda yang ditunjukan oleh calon (yang ditengarai sebagai) pelaku bunuh diri.
Dengan mengenali dan memahami jenis dan penyebab resiko bunuh diri tersebut, maka upaya pencegahan bunuh diri tidak lepas dari upaya medis, upaya psikologis, dan upaya sosial.
Simak terus artikel berseri ini, untuk mengetahui apa saja yang bisa dilakukan dalam pencegahan bunuh diri di Gunungkidul.
Artikel terkait:
Pemkab Gunungkidul Bentuk Satgas Berani Hidup
Bunuh Diri: Teriakan Tangis Minta Tolong
(Kandar)