Saatnya Konsep Green Economy Diterapkan Secara Nyata

oleh -2068 Dilihat
oleh
sampah
Ilustrasi. Kondisi anak sungai di daerah Tamantirto, Kasihan, Bantul yang tercemar oleh sampah kemasan dan benda-benda sulit terurai. (dok.penulis)

KABARHANDAYANI.COM,– Revolusi industri berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Revolusi industri membuat aktivitas perusahaan menjadi lebih ringan karena penyelesaian pekerjaan yang sebelumnya menggunakan tenaga manusia beralih mengunakan mesin.

Revolusi industri disambut baik oleh para pengusaha maupun pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Sampai saat ini pembangunan infrastruktur dan pabrik-pabrik berskala besar maupun kecil diberbagai tempat terus diselenggarakan. Kemajuan teknologi sebagai akibat revolusi industri memang baik untuk pembangunan ekonomi, akan tetapi sangat disayangkan penanggulangan dampak negatif pembangunan masih kurang diperhatikan terutama dampaknya terhadap kelestarian lingkungan.

Banyak pembangunan yang diselenggarakan seringkali tidak berkelanjutan sehingga menimbulkan banyak masalah baru seperti defortasi, polusi, pencemaran, pemanasan global, dll.

Berhektar-hektar hutan Indonsia ditebang untuk pembukaan lahan perkebunan, pendirian pabrik maupun pendirian infrastruktur pendukung kegiatan masyarakat. Defortasi membuat fungsi hutan sebagai paru-paru dunia, penghambat krisis iklim, serta tempat tinggal keanekaragaman hayati terancam rusak.

Dikutip dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diakses tanggal (17/10/21) menunjukkan luas deforestasi Indonesia pada tahun 2019-2020 sebesar 115,5 ribu hektar. Mengalami penurunan hingga 75%, dibandingkan tahun 2018-2019 yang mencapai 462,5 ribu hektar.

Kabar baik defortasi di Indonesia menurun, akan tetapi defortasi tetap saja masih ada sampai sekarang dan jumlah luas hutan yang rusak tidak sedikit. Aktivitas produksi yang terus-menerus dilakukan juga menimbulkan polusi dan pencemaran lingkungan. Mesin-mesin produksi khususnya yang berbahan bakar fosil mengeluarkan polutan-polutan yang buruk bagi kesehatan mahluk hidup.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA), industri menyumbang 37 persen dari total penggunaan energi global, di mana 30 persen diantaranya dikonsumsi oleh gedung-gedung bertingkat. Selain itu, aktivitas produksi berkontribusi menyumbang emisi gas rumah kaca yang berakibat membuat panas bumi terus meningkat.

Pemanasan global merupakan penyebab utama dari perubahan dan krisis iklim. Jika ini dibiarkan akan berdampak buruk kepada kelangsungan hidup makhuk hidup khusunya manusia.

Dari data National Centers of Environmental Information (NCEI) diakses tanggal (17/10/21) suhu permukaan global untuk September 2021 adalah 1,62 o F (0,90 oC), ini merupakan September terpanas kelima dalam rekor 142 tahun dimulau dari tahun 1880.

Produksi massal dilakukan di mana-mana untuk memenuhi banyak keinginan konsumen yang tidak ada habisnya. Penjualan produk pasti dikemas dengan bahan yang berkualitas, kuat dan tahan lama. Oleh sebab itu, hampir seluruh produk di pasaran dibuat dari bahan dasar plastik dan bahan-bahan yang sangat sulit terurai. Produksi massal membuat semakin banyak persediaan barang yang disimpan dan kemudian berujung menjadi sampah yang mencemari lingkungan.

Sekarang di setiap sudut tempat dapat ditemui sampah berserakan bahkan bertumpuk yang mencemari dan merusak ekosistem yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan aksi dan upaya berkelanjutan untuk mengatasi semua masalah yang timbul akibat perkembangan industri yakni dengan menerapkan green economy secara nyata.

Green economy sendiri merupakan sebuah suatu gagasan ekonomi baru yang bertujuan untuk meningkatkan aspek ekonomi melalui kegiatan pembangunan yang tidak mengesampingkan kelestarian lingkungan secara signifikan. Konsep ekonomi hijau diharapkan menjadi jalan keluar, menjadi jembatan antara pembangunan dan pertumbuhan, keadilan sosial, perlindungan lingkungan dan konservasi sumber daya alam.

Semua kalangan masyarakat, pengusaha, dan tentunya pemerintah harus ikut berkontribusi berkomitmen membangun ekonomi yang bekelanjutan. Mengganti pemakaian energi dari bahan bakar fosil menjadi energi yang terbarukan. Merubah kebiasaan menggunakan plastik dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Ikut serta mempertahankan dan melestarikan hutan yang masih ada dan berhenti merusak ekosistem hutan.

Transisi menuju sistem ekonomi hijau tentunya membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama. Meski begitu, beberapa negara tetap bisa menjadi panutan atas komitmennya dalam menerapkan konsep “pembangunan hijau” atau strategi ekonomi rendah karbon.

Bahkan, tidak sedikit kasus proyek berskala besar yang berhasil meningkatkan pertumbuhan atau produktivitas secara berkelanjutan. Tentu komitmen pemerintah pada semua tingkatan terhadap pertumbuhan hijau diperlukan, karena investasi hijau hanya dapat dicapai ketika pemerintah berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan dukungan, melalui pemberian insentif, peningkatan kapasitas, praktik terbaik, bimbingan, dan dukungan yang disesuaikan dengan kebutuhan serta pembiayaan peluang usaha hijau.

Penulis: Nur, Verawati, Utami, Sari, dan Kurniawan. (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar