“Pantauan dilakukan selama 60 hari masa inkubasi. Mereka adalah sopir pengangkut sapi, warga yang membantu memindahkan ternak, hingga yang terlibat saat proses penyembelihan,” jelas Ismono.
Dari 25 orang tersebut, tiga warga di Girisubo telah terkonfirmasi positif antraks melalui uji laboratorium, satu lainnya berstatus suspek, dan seorang warga Bohol mengalami luka namun hasil lab menunjukkan negatif.
Ismono menambahkan, pasien positif mengalami luka khas antraks berupa luka terbuka berbentuk bulat, kemerahan di sekelilingnya, dengan keropeng di tengah luka.
“Mereka sudah ditangani oleh Puskesmas setempat dan kondisinya terus kami pantau,” tegasnya.
Di sisi lain, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Wibawanti Wulandari, mengungkapkan bahwa selama periode Februari hingga Maret 2025, tercatat 26 ternak yang mati karena terpapar antraks, terdiri dari 23 ekor sapi dan 3 kambing.
Sayangnya, sebagian besar ternak yang mati langsung dijual oleh pemiliknya kepada pedagang, dan disembelih di lokasi sebelum dagingnya dijual ke masyarakat.
“Penelusuran distribusi daging menjadi sulit karena transaksi dilakukan cepat dan tidak terpantau,” ungkap Wibawanti.
Sebagai langkah cepat, Dinas Peternakan telah menetapkan dua zona merah dan langsung melakukan penyemprotan formalin di lokasi kematian ternak. Lalu lintas ternak dibatasi untuk mencegah penularan lintas wilayah.
Wibawanti juga mengonfirmasi bahwa vaksinasi terhadap hewan ternak akan dilakukan dalam waktu dekat di zona merah dan kuning. Pemetaan jumlah ternak yang akan divaksin masih dilakukan.
“Kami juga mengintensifkan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya antraks, pentingnya pelaporan kematian ternak, dan tidak sembarangan memperjualbelikan ternak yang sakit,” ujarnya.