NGLIPAR, (KH),– Dari tahun ke tahun persoalan air di Gunungkidul selalu saja menjadi tema utama pembicaraan publik. Pada musim kemarau, persoalan identik dengan sulitnya pemenuhan air sebagian masyarakat, droping air, serta mulai kering dan matinya sumber-sumber air.
Keadaan berbalik, saat tiba musim penghujan. Permasalahan air yang timbul di beberapa wilayah berupa bencana banjir atau luapan air. Di antaranya dibarengi bencana tanah longsor di beberapa wilayah. Lambat laun fenomena itu mulai sering terjadi di Gunungkidul.
Permasalahan air yang terjadi pada dasarnya merupakan bagian dari persoalan ekonomi dan sosial serta aspek kehidupan masyarakat Gunungkidul secara umum. Faktor terbesar yang mempengaruhi keadaan ini memang diakibatkan oleh semakin berkurangnya vegetasi pelindung tanah dan penyimpan air.
Tanpa vegetasi yang berfungsi konservasi, tanah akan kehilangan daya resap dan daya simpan terhadap air hujan. Semakin maraknya alih fungsi lahan daerah tangkapan air hujan (chathment area), yang dikonversi menjadi lahan hunian dan pertanian semakin memperparah terganggunya siklus hidrologi.
Permasalahan nyata akibat terganggunya siklus hidrologi ini adalah bencana kekeringan dan matinya sumber-sumber mata air yang ada, dan di musim penghujan, bencana banjir dan tanah longsor akan sangat mudah terjadi.
Kesadaran bersama untuk memulai sebuah gerakan konservasi muncul dan dimulai demi kelangsungan kehidupan bersama ke depan.
Kesadaran inilah yang membulatkan tekad FDTB (Forum Disabilitas Tanggap Bencana) Gunungkidul untuk melakukan sebuah gerakan penanaman pohon konservasi di 5 sumber mata air di Kalurahan Nglipar, Kapanewon Nglipar, dan 4 sumber mata air di Kalurahan Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo.
Kegiatan ini dilaksanakan hari Minggu (10/1/2021) dengan menggandeng Pemerintah Kalurahan Nglipar, Karang Taruna Kalurahan Nglipar, dan Komunitas Resan Gunungkidul.
“Dengan keterbatasan fisik kami, kami tetap ingin mengupayakan usaha konservasi air di Gunungkidul, tujuan kami semata agar kelestarian alam, khususnya air di Gunungkidul bisa terjaga,” tutur Hardiyo (48). Hardiyo saat ini menjadi Ketua FDTB Gunungkidul.
“Kekeringan dan masalah air yang selama ini terjadi di Gunungkidul merupakan sebuah bencana, dan harus ada upaya dari berbagai pihak untuk sebagai solusi dan langkah konkret dan bersifat jangka panjang untuk jalan keluarnya,” lanjut Hardiyo.
FDTB merupakan forum yang beranggotakan para penyandang disabilitas yang berdomisili di wilayah Gunungkidul. FDTB ini dibentuk oleh BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Gunungkidul. Tujuan pembentukannya untuk memperkuat silaturahmi antar anggota, serta sebagai wahana untuk mengasah kemandirian para difabel sekaligus sebagai upaya mewadahi kepedulian dan kepekaan anggota difabel dalam menghadapi sebuah bencana.
FDTB saat ini beranggotakan 430 anggota aktif yang tersebar di seluruh Gunungkidul. Mereka yang tergabung memiliki latar belakang profesi dan pekerjaan yang bermacam-macam.
“Ini sebagai program kami untuk peduli soal air, terkait bencana kekeringan yang harus selalu dihadapi oleh Gunungkidul,” imbuh Joko (49), anggota FDTB asal Kapanewon Karangmojo.
Hardiyo menambahkan, bahwa dengan wadah FDTB ini, para difabel yang sering dianggap sebelah mata ternyata bisa membuktikan, bahwa mereka juga bisa mandiri dalam banyak hal. Anggotanya bahkan sudah banyak yang mempunyai usaha atau berwiraswasta hingga sukses.
“Banyak anggota kami yang mempunyai usaha lumayan, dari kerajinan, sablon, mebel, maupun usaha kuliner, Alhamdulillah, walau kami ada keterbatasan fisik, tapi kami bisa mandiri,” cerita Hardiyo.
Kepedulian FDTB Gunungkidul terkait pelestarian sumber air ini patut mendapat apresiasi. Dengan menggunakan motor modifikasi roda tiga khusus difabel, tampak mereka antusias mengikuti kegiatan ini.
Saat pelaksanaan sebuah mobil dan beberapa motor roda tiga yang membawa bibit tanaman dengan hati-hati menempuh medan jalan menuju sumber air yang lumayan licin dan naik turun.
“Dengan keadaan fisik seperti ini, kami tetap akan peduli terhadap kelestarian sumber air, semoga ini bisa menginspirasi saudara-saudara yang lain, yang notabene mempunyai fisik yang lebih sempurna,” tutur Hardiyo penuh harap.
Syamsuri, Lurah Nglipar, tampak juga bersemangat mengikuti kegiatan penanaman ini. “Sumber air di sini sebetulnya sangat banyak jumlahnya, tapi banyak yang sudah mati, atau tinggal cerita. Yang masih bertahanpun rata-rata ketika kemarau air dari sendangnya tidak lagi mengalir. Semoga dengan penanaman ini, sumber-sumber air depan bisa lestari,” tutur Syamsuri.
Syamsuri menceritakan, di Padukuhan Nglipar Kidul, ada 7 sumber air, yaitu: Kentheng, Wareng, Ngembel, Nggebyok, Klumpit, Ngelo, dan kali Banger.
“Yang Kentheng dan Wareng sumber airnya sudah hilang, tinggal cerita, rata-rata sumber air ini hilang bersama pohon besar yang tumbuh di dekatnya,” ungkapnya.
Syamsuri menyatakan, bahwa Pemerintah Kalurahan Nglipar akan mengakomodir gerakan pelestarian sumber air ini. “Gerakan ini nanti akan kita masukkan dalam program pembangunan desa, kami berharap warga masyarakat juga tumbuh kesadaran untuk menjaga sumber air,” lanjut Syamsuri.
Sementara itu, Agung (24), wakil dari Karang Taruna Nglipar menyatakan, Karang Taruna sangat mengapresiasi kegiatan yang diinisiasi oleh FDTB ini. “Besok akan kami bahas dengan teman-teman yang lain, kebetulan banyak yang hobi bonsai, nanti kita bisa mengusahakan pembibitan tanaman yang akan kita tanam di sumber-sumber air,” ujarnya.
Agung memang mengakui bahwa pohon di sekitar mata air di wilayahnya rata-rata sudah mati dan roboh. “Harus segera ditanami lagi, jangan sampai anak cucu kita tidak tahu lagi, kalau Ngelo, Klumpit, Gayam, Klampok, Bendho dan lain-lain itu adalah nama pohon,” lanjutnya.
Hanis Aryanto (39), wakil dari Komunitas Resan Gunungkidul tampak juga hadir. Beberapa anggotanya datang ke agenda tersebut dengan ciri khas ‘pasukan bronjong hijau’.
“Ada beberapa bibit tanaman konservasi yang kami sumbangkan. Gerakan konservasi yang dilakukan Komunitas Resan Gunungkidul adalah gerakan konservasi berbasis komunitas. Dengan semakin banyak komunitas lokal yang sadar dan bergerak, tentu gerakan konservasi di Gunungkidul dapat menjadi sebuah gerakan bersama,” harap Hanis.
Apa yang sudah dan yang akan dilakukan oleh beberapa komunitas peduli konservasi ini layak disambut oleh banyak pihak. Karena, upaya pemenuhan air di Gunungkidul penting segera dicari solusinya agar semakin mudah sehingga mendukung kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Solusi yang diharapkan bersifat jangka panjang dan berkesinambungan, bukan sekedar solusi yang bersifat situasional. [Edi Padmo]