Pawiro Ranti: Pedagang Tangguh Di Wonosari Sejak Tahun 50-an

oleh -8919 Dilihat
oleh
Halaman rumah Pawiro Ranti penuh dengan jemuran kerupuk dan olahan makanan yang lain. insert: Pawiro Ranti. KH/ Kandar.

WONOSARI, (KH)— Pawiro Ranti, simbah sepuh berumur 86 tahun ini patut dicontoh kawula muda yang sedang merintis usaha. Sebab, dengan segala keterbatasan era 1950-an ia mampu merintis sebuah wirausaha, lantas dapat bertahan sampai saat ini.

Saat ditemui di kediamannya di Padukuhan Tawarsari, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, nenek dengan 11 buyut ini berkisah bagaimana ia mendirikan usaha pembuatan abon sapi dan kerupuk bumbon, serta kacang bawang.

Jiwa dagang memang telah terbentuk sejak ia masih remaja. Sebagaimana sang bapak, Marto Pawiro yang memiliki usaha jual beli palawija. Berkeliling dari satu pasar tradisional ke pasar tradisional yang lain.

“Bapak masih memakai kuda waktu itu. Saya pun sempat menjalani usaha seperti bapak sebagai tengkulak palawija, jual beli kacang, kedelai, gaplek, Jangung, dan lainnya,” ujar Pawiro Ranti mengawali percakapan, Selasa, (22/2/2017).

Mengolah salah satu jenis palawija mulai ia fikirkan setelah dagangan tidak selalu habis terjual. Karena berbagai hal dagangan tidak habis dibeli oleh pembeli dari Jawa Timur atau sejumlah pabrik lainnya. Dari situ mulailah ia mengolah palawija, yakni kacang tanah menjadi kacang bawang.

Singkatnya, tak hanya kacang bawang saja, melainkan juga mengolah daging sapi menjadi abon, dan kerupuk. Kerupuk olahannya kemudian diberi sebutan kerupuk bumbon. Menariknya, Pawiro Ranti tak pernah sedikitpun mendapat pengetahuan dari siapapun bagaimana cara mengolah semua itu. Sangat berbeda dengan sekarang, tinggal memainkan jari jempol saja dapat menemukan tips dan cara membuat berbagai jenis olahan makanan, atau hal apa pun yang ingin diketahui tersedia dengan mudah di internet.

Ia hanya berpedoman, apa yang ada diangan-agannya segera dimulai dan dicoba. Imajinasinya begitu kuat. Berawal dari ‘kira-kira’ baik dalam membuat abon, kacang bawang maupun kerupuk. Waktu menjawab, proses panjang dilampaui, kegigihan membuktikan semua produknya dapat diterima di pasaran.

“Awalnya, cara pertama kali yang dilakukan saat mencoba hanya berbekal perkiraan saja, secara asal saja. lama kelamaan berhasil. Tidak bosan mendapat kritikan dari pembeli,” terang nenek yang memiliki delapan saudara ini.

Setelah laris, bahkan menjadi favorit usaha jual-beli palawija berangsur menurun hingga akhirnya tak dilakukan. Hal itu juga karena keterbatasan kekuatan fisiknya yang mulai memasuki usia lanjut. Pun demikian keinginannya untuk berdagang, berwirausaha dan menghasilkan sesuatu tak pernah surut, selalu saja ada keinginan melakukan sesuatu. Ia sendiri menjuluki dirinya ‘ora gelem leren’ (tidak mau berhenti bekerja).

Meski sudah sepuh, urusan bumbu baik saat membuat abon, kerupuk dan kacang bawang harus melalui racikan tangannya. Saat hari-hari biasa ia mempekerjakan 4 orang di rumah produksinya. Namun, saat menjelang lebaran atau permintaan abon naik saat Idul Adha sedikitnya 8 orang bekerja membantu kerepotannya.

“Rata-rata dalam seminggu kerupuk  terjual dua kuintal. Kalau abon biasa kita sediakan 20-an kilogram per hari, atau ditambah sesuai permintaan. Jika Hari Kurban juga melayani jasa pembuatan abon, jumlah yang biasa kita buat mencapai 6 kuintal,” paparnya.

Kini keseharian nenek yang memiliki 4 anak ini sekedar memantau para pekerjanya saja. meski fisiknya sudah tak lagi mampu terlibat langsung mengerjakan segala bentuk pekerjaan pada usaha yang digeluti, ia masih mampu mempertahankan keberadaan usahanya. Beroperasi melayani pelanggan.

“Berwirausaha jangan menyerah dengan kritikan, upayakan bertemu langsung dengan pembeli, apa yang diinginkan. Koreksi kekurangan lalu perbaiki,” tambahnya sedikit berbagi pengalaman dalam berwirausaha. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar