SEMANU, (KH)— Diawal Gunungkidul berdiri, ada tokoh yang dikenal sebagai pelaksana pemerintahan waktu itu. Dia bernama Panji Hardjodipuro, dialah peminpin kepanjen Semanu waktu itu, salah satu wilayah tua di Gunungkidul.
Makamnya berada di Padukuhan Semanu Kidul, Desa Semanu, Kecamatan Semanu, Gunungkidul. Seksi Perlindungan Benda Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Gunungkidul, Ir winarsih mengatakan, Pada awal berdiri, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul memiliki wilayah mulai dari Bunder hingga Tambakromo. Secara rinci meliputi Bunder, Beji, Wero, Playen, Piyaman, Seneng dan Kepanjen Semanu.
“Di luar wilayah tersebut masih merupakan hutan belantara, termasuk hutan Nongko Doyong yang kini menjadi kota Wonosari,” kata dia beberapa waktu lalu. Menurut beberapa sumber waktu itu Ibu kota Gunungkidul masih berada di Pati Ponjong yang di pimpin oleh Mas Tumenggung Pantjadirja.
Penuturan Sukiman Siswa Suganda, sesepuh sekaligus mantan dalang warga Padukuhan Sanggrahan, Desa Umbulrejo, Kecamatan Ponjong, Sewaktu Bupati pertama memimpin, dirinya mengalami sakit mata (buta), sehingga sebagai pelaksana tugas kepemerintahan dipercayakan kepada Panji Hardjodipuro ini.
Saat pusat pemerintahan masih berada di Ponjong, jika para demang dan punggawa mengadakan musyawarah/ konferensi berlokasi di Semanu. Diyakini saat Semanu telah menjadi Kepanjen, daerah yang ramai atau kota, Wonosari masih merupakan hutan, yakni Alas Nongko Dhoyong.
Pembukaan hutan Nongko Dhoyong, untuk pemindahan ibu kota merupakan hasil kerja keras yang dilandasi semangat gotong royong tinggi dibawah pimpinan Demang Piyaman bernama Wonopawiro, yang kemudian menjadi menantu Panji Hardjodipuro setelah menikahi Roro Sudarmi.
Pelaksanaannya dibantu Kademangan Beji, Kademangan Pampang, dan lainnya, berhasilah pembukaan hutan tersebut. Setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke Wonosari, wilayahnya meliputi Patuk hingga Tambakromo.
Hardjodipuro sendiri merupakan tokoh penting di Semanu, jasa-jasanya hingga kini masih dikenang oleh masyarakat sekitar. Sebagai bentuk penghormatan, saat peringatan Hari Jadi Gunungkidul, jajaran Pemkab mengadakan Ziarah ke makamnya, sebagaimana dilakukan ke makam tokoh yang lain.
Keterangan dari Sri Sulasiasih, salah satu garis keturunan Panji Hardjodipuro mengatakan, tokoh yang akrab ia panggil Eyang Panji ini memiliki hidup antara tahun 1790-1840. Ia mengungkap hal ini berdasar Buku Sara Silah Narakasuran Panji Semanu Panambangan, buku dokumentasi keluarga.
Eyang Panji merupakan keturunan Kyai Ngabehi Pontjodrono. Kyai Ngabehi Pontjodrono merupakan buyut dari Raden Wonokusumo, yang tak lain Kyai Ageng Giring. Namun tak diketahui Kyai Ageng Giring yang ke berapa, keterangannya memiliki nama lain Seda Kamuk.
“Kalau Nyai Panji, istri Eyang Panji, memiliki panggilan Mbah Pathi. Makamnya ada di Jeblongan Praci, ia berasal dari daerah yang dulu disebut Sampar, Paliyan yang merupakan anak Kyai/Nyai Setrolesono,” tutur Sri Sulasiasih, Kamis, (28/4/2016). Ketika ditanya, tanpa membuka-buka buku dokumen keluarga, nenek ini sudah tidak banyak ingat mengenai riwayat keluarganya.
Diriwayatkan, Meninggalnya Eyang Panji tergolong mendadak, ada yang mengatakan tidak berselang lama setelah Bupati pertama meninggal, Terdapat suatu cerita, selepas ia mendapat peringatan keras atau marah dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke V. Permasalahan tersebut, sewaktu dia diutus oleh Sultan membuat sungai Larangan dari Kali Nongo masuk Ceprui Kraton.
Pengerjaannya, Eyang Panji tidak menggunakan cangkul dan peralatan lainnya. Tetapi ia hanya menghanyutkan Kepis, suatu wadah dari anyaman bambu, biasanya untuk tempat ikan. Lantas sungai yang tadinya hanya kecil menjadi sungai yang luas. Setelah Sultan mendengar berita ini lalu marah dan menyebut Eyang Panji terlalu menunjukkan kesaktiannya.
Ia memiliki 3 keturunan, satu putra dan dua putri, anak laki-laki yakni Eyang Perut, ia meninggal tenggelam di laut selatan diusia muda. dan kedua putrinya masing-masing menikah dengan Rm. Surosaroyo, Ronggo Penatus Jurangjero, Ngawen, sedangkan satunya lagi dengan R. Ng. Pontjotaruno II di Praci. Kedua putrinya disemayamkan di Jeblongan Praci bersama ibunya. (Kandar)