GUNUNGKIDUL, (KH),– Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan berlaku pada tahun 2022. Dalam UU tersebut berisi 6 undang-undang yang sebelumnya terpisah.
Hal tersebut disampaikan Kepala Seksi Pelayanan KPP Pratama Wonosari, Hafidz El Fauzi, Selasa (30/11/2021) kemarin disela sosialisasi UU HPP di Wonosari, Gunungkidul.
Perubahan yang signifikan, antara lain yakni terdapatnya UU baru, berupa UU Karbon. Selama ini UU tersebut belum pernah ada di aturan perpajakan di Indonesia. Bahkan di dunia baru beberapa negara yang menerapkan.
“Tujuannya untuk meminimalisir efek rumah kaca. Diharapkan dengan adanya pajak karbon dapat menekan dampak efek rumah kaca,” harap Hafidz.
Yang baru lainnya, sambung dia, pada UU yang mengatur Pajak Penghasilan (PPh) ada penambahan range pada lapis pajak yang pertama. Dahulu, 0-Rp50 juta dikenai pajak 5 persen, lantas sekarang rangenya berubah menjadi 0-Rp60 juta.
Tak hanya itu saja, diatur pula pajak sebesar 35 persen bagi warga negara yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar. Perubahan dan penambahan range pajak tersebut dilakukan guna pemerataan. Selama ini Wajib Pajak (WP) yang berada dalam range pertama (5%) kisaran penghasilannya 0-Rp50 juta.
Ditambahkan, sebelumnya UU Perpajakan di Indonesia mengatur untuk setiap jenis pajak hanya berada dalam satu UU. Sementara dalam UU yang baru ini, selain berisi beberapa aturan sesuai jenis pajaknya, ditambahkan pula aturan mengenai Pajak Karbon, Cukai, dan program PPS atau Program Pengungkapan Sukarela.
Sehingga isi dari UU tersebut mencakup 6 aturan, diantaranya Pajak Penghasilan (PPh), Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Cukai, Pajak Karbon, PPN serta Program Pengungkapan Sukarela (PPS), atau bisa disebut Tax Amnesty Jilid II.
“Berdasar evaluasi program tax amnesty, WP meningkat kepatuhan perpajakannya. Untuk tahun ini ada PPS yang prinsipnya sama dengan tax amnesty,” terang Hafidz.
Lebih jauh disampaikan, dalam UU yang mengatur PPh, terdapat aturan bahwa NPWP akan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Yang ramai di masyarakat, orang yang punya NIK otomatis bayar pajak. Padahal, tidak demikian. Perlu diluruskan, NIK akan menjadi NPWP dan wajib bayar pajak manakala warga tersebut memenuhi syarat subjektif dan objektifnya,” tandas Hafidz.
Syarat tersebut yakni warga negara memiliki penghasilan di atas ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kalau warga negara masih punya penghasilan di bawah PTKP, maka NIK tidak wajib menjadi NPWP.
Hafidz mengutarakan, saat ini Kemenkeu sedang melakukan sinkronisasi data NIK dan NPWP. Jika warga pemegang NIK dan syaratnya terpenuhi, maka NIK dapat digunakan sebagai sarana pembayaran dan pelaporan pajak.
“Ketentuan tersebut akan berlaku tahun 2022 mendatang,” tukas dia. (Kandar)