Minyak Kelapa Tradisional Mbah Tumi tak Lekang Oleh Waktu

oleh -4120 Dilihat
oleh
Minyak kelapa
Tumi sedang mengemas minyak kelapa buatannya. (KH)

GUNUNGKIDUL, (KH),– Di dapur sederhana, Rabu, (23/2/2022) siang seorang nenek sedang sibuk menuang minyak ke botol air mineral. Dia membagi minyak dari bejana ke beberapa botol.

Tumi namanya. Nenek berusia 70 tahun itu merupakan pembuat minyak kelapa sejak 50 tahun lalu. Saat KH bertanya, ibu 3 anak ini kini hanya mampu mengolah 50 butir kelapa tiap hari.

“Dulu masih mampu membuat dari 100-an kelapa. Sekarang tenaganya tak kuat lagi,” ujar dia membuka percakapan.

Warga Padukuhan Gedangsari, Baleharjo, Wonosari, Gunungkidul ini rutin membuat minyak kelapa secara tradiaional dan menjualnya ke Pasar Argosari. Pasar tradisional terbesar di Gunungkidul.

“Satu botol kecil (kemasan air mineral 600 mili liter) harganya Rp50 ribu. Kalau yang besar (kemasan 1500 mili liter) Rp125.000,” kata lansia ini ramah.

Kelapa ia beli dari tengkulak yang bersedia mengantar ke rumahnya. Kelapa paling bagus untuk membuat minyak berasal dari Wates. Ia anti dengan kelapa dari wilayah tertentu. Sebab, tak mampu menghasilkan minyak dalam jumlah banyak.

Tumi mengaku tak kesulitan menjual produk minyak olahannya. Di pasar sudah ada yang langganan. Bahkan sesekali pembeli mendatangi rumahnya untuk membeli.

Selain menjual minyak kelapa, dia juga menjual ampas atau sisa olahan minyak berupa Blondo. Rasanya yang enak dan gurih membuat Blondo juga laku di pasaran. Harganya Rp50 ribu untuk tiap kilogram.

“Pedangang bakmi dan rumah makan masakan tradisional yang langganan. Kalau Blondo bisa dijadikan campuran Gudeg,” tutur Tumi menyebut para pelanggan.

Keuntungan dari menjual minyak kelapa tiap harinya, Tumi mengaku memperoleh antara Rp35 ribu hingga Rp50 ribu. Sesekali memperoleh keuntungan yang sedikit lebih banyak dari rata-rata. Modal kemudian diputar lagi untuk membeli bahan baku. Sementara keuntungan untuk mencukupi kebutuhan harian keluarganya. Termasuk memenuhi biaya sosial, seperti ‘nyumbang’ di tempat orang hajatan.

Dia menambahkan, naiknya harga minyak goreng kemasan membuat permintaan minyak kelapa buatannya naik. Dia bersyukur, sebab setiap kali menjual minyak ke pasar, minyak olahannya segera habis terjual.

Panjang lebar dia mejelaskan proses pembuatan minyak kelapa. Pertama, daging kelapa dipisahkan dengan tempurungnya. Kemudian kelapa diparut. Tumi kini memakai mesin parut, dan tak lagi memakai parutan manual seperti dulu.

Cara yang dipakai tumi memproduksi minyak yakni dengan teknik pemanasan. Santan yang diperas dari parutan kelapa kemudian dipanaskan dengan api kecil. Tumi masih mengandalkan tungku kayu bakar untuk memanaskan santan.

Dia mengaku lebih terbiasa mengatur besar kecil api dengan tungku kayu bakar. Saat proses pemanasan, berjam-jam dapur yang berlantai tanah di sisi timur bangunan utama itu kerap dipenuhi asap.

Dari proses pemanasan, jadilah minyak kelapa. Bersamaan terbentuk pula Blondo. Jika sudah diperas, diambil minyaknya, Blondo bisa dikonsumsi.

Habis itu, minyak tinggal dituang ke botol-botol air mineral. Dalam proses penuangan ia membutuhkan kaca mata. Sebab, penglihatannya mulai mengabur. Selain diminati penyedia kuliner, minyak kelapa juga diminati orang berusia tua untuk minyak rambut. Bagi pembeli yang hendak menggunakannya sebagai minyak rambut, Tumi mengemasnya ke plastik-platik kecil.

“Usaha membuat minyak kelapa atau yang umum disebut ‘Klentik’ ini meneruskan rutinitas orang tua dulu. Selama masih mampu akan saya geluti terus,” tukas Tumi. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar