Cerita adanya produksi garam di Pantai Selatan Gunungkidul bermula dari laporan tentang kunjungan kerja Gubernur Daerah Istimewa Yoyakarta tahun 2018 di Pantai Ngobaran dan Nguyahan Kalurahan Kanigoro Kapenewon Saptosari. Kisaran tahun itu, entah karena apa, Indonesia mengalami kelangkaan garam sehingga harga garam di pasaran melambung tinggi. Apakah mempertimbangkan dan mengacu pada ‘sejarah’ Pantai Nguyahan (baca: suatu tempat pembuatan uyah atau garam) atau tidak, yang jelas Gubernur DIY kala itu menginisiasi pembentukan kelompok petani garam di wilayah Kalurahan Kanigoro.
Sekitar bulan November 2018, 24 orang warga Kalurahan Kanigoro, bersama dengan beberapa petani garam di Pantai Sepanjang, diberangkatkan oleh pemerintah untuk melakukan studi-banding budidaya garam di BPT Tegal. Hasil dari kegiatan studi-banding ini adalah terbentuknya Kelompok Petani Garam “Dadap Makmur” di Kanigoro. Konon kelompok ini bernama “Dadap Makmur” karena bertempat di pinggir pantai bernama Dhadhap Ayam, dan berusaha meraih kemakmuran. Di Pantai Dadap Ayam dulu pernah ditemui pohon Dadap Cangkring, pohon berduri, bunganya berwarna merah (nama: Celung), dan digunakan sebagai patokan datangnya Musim Kesatu (baca: Jilung, dari kata siji dan celung). Kelompok “Dadap Makmur” mulai membangun instalasi pembuatan garam berlokasi di Pantai Dadap Ayam ini, di tanah karang milik kas desa, yaitu di sebuah pantai kecil di sisi timur Pantai Ngobaran dan Nguyahan.
Menggunakan Dana Provinsi, Kelompok Petani Garam “Dadap Makmur” mulai membangun 15 paket tunnel (semacam terowongan) instalasi garam. Satu tunnel terdiri dari 15 kotak. Jika dikalikan, maka ada sekitar 75 kotak instalasi garam di Pantai Dadap ayam. Masing-masing tunnel berukuran 3×4 meter dengan kedalaman air 25 cm. Lantai tunnel menggunakan plastik UV tebal. Tunnel dilindungi dengan plastik putih transparan berangka bambu. Ketika mengunjungi lokasi ini di suatu siang yang panas, saya menemukan garam-garam yang sudah mengkristal. Garam-garam dalam tunnel tampak tidak terpanen, atau tidak dipanen. Beberapa alat pemanenan seperti serok dan tenggok dibiarkan oleh para petani berserakan ditak diurusi. Alat-alat pertanian garam kelihatan terbengkelai di dalam tunnel. Beberapa bak-penampung air laut tampak berjajar di gunung sisi utara tunnel-tunnel, memantulkan sinar matahari yang terik. Beberapa gubuk para petani garam pun sepi.
Setelah menanyakan kepada warga Ngobaran saya harus menemui siapa untuk memeroleh cerita tentang pertanian garam di Pantai Dadap Ayam ini, saya bergegas meluncur ke tempat tinggal Pak Sukidi di Dusun Gebang Kalurahan Kanigoro. “Semenjak Corona kami memang sudah tidak berproduksi, Mas,” Pak Sukidi menerangkan kepada saya. Pak Sukidi (47tahun), warga Dusun Gebang Kalurahan Kanigoro Kapenewon Saptosari, adalah Ketua Kelompok Petani Garam “Dadap Makmur”. Ia menerangkan kondisi pertanian garam di Dadap Ayam setelah beberapa saat mempersilahkan saya duduk di rumah limasan miliknya yang cukup luas. “Kebetulan diesel penyedot air lautnya juga sedang rusak. Sekarang sedang berada di bengkel,” imbuhnya.
“Dulu ketika harga garam per kilo mencapai 6 ribu rupiah, kami sangat antusias dan semangat untuk membudi-dayakan garam. Lha sekarang harga 1 kilo garam seribu rupiah!” Pak Sukidi berkeluh kesah tentang sulitnya pemasaran garam yang mereka produksi. “Kami bisa produksi 1 ton garam kasar per bulan, tapi ketika harga garam cuma 1000 rupiah, pendapatan kotor kelompok per bulan hanya 1 juta. Segitu dibagi 24 orang. Belum lagi dipotong operasional produksi. Mboten cucuk, Mas! Dengan tenaga yang kami keluarkan, mending buruh yang lain,” lanjut Pak Sukidi kecut.
Memang produk garam yang dihasilkan oleh Kelompok Petani Garam “Dadap Makmur” masih berwujud garam kasar (uyah-krosok). Uyah-krosok biasanya hanya digunakan untuk ngombor sapi, jarang untuk bumbu dapur. Masyarakat biasa menggunakan garam produksi pabrik yang berbentuk bata atau berkemasan menarik. “Sebetulnya produk garam kami itu bagus, putih warnanya, dan rasanya tidak ada bedanya dengan garam-garam kemasan di pasaran. Tapi ya karena belum ber-merk dan belum dikemas, kami kesulitan di pemasaran, Mas,” Pak Sukidi melanjutkan keluh kesahnya. “Beberapa waktu lalu kami sempat berkoordinasi dengan Deperindag Kabupaten Gunungkidul. Menurut informasi dari Deperindag, dalam waktu dekat kami akan didampingi oleh dinas terkait dalam pengolahan hasil produksi garam, baik itu uji kualitas, kemasan, dan strategi pemasaran. Kami sangat berharap hal itu segera terealisasi,” ujar Pak Sukidi penuh harap.
Pak Sukidi kemudian menerangkan tentang teknis pembuatan garam. Dimulai dari penyedotan di Pantai Dadap Ayam, air laut ditampung di dalam bak bak penampungan yang ditempatkan di elevasi tanah paling tinggi. Kemudian air laut dari bak-bak yang bertempat di ketinggian tadi dialirkan ke tunnel-tunnel yang berada di elevasi lebih rendah. Sebenarnya, membuat garam adalah kerja ‘menuakan air laut’. Caranya dengan menjemur di bawah sinar matahari dan menyaringnya. Ada 5 tahapan ‘penuaan air laut” atau penyaringan air laut agar bisa berubah menjadi kristal garam. Antar kotak tunnel yang ditempatkan urut dari elevasi tinggi ke rendah dihubungkan dengan pipa-pipa untuk mengalirkan air laut. Di dalam pipa diletakkan saringan berujud busa sebagai penyaring air laut. Kombinasi antara pemanasan pada sinar matahari dan penyaringan menghasilkan pengkristalan. Jika penyaringan berhasil maka garam akan bisa tampak bersih. Setelah menjadi kristal, artinya air laut benar-benar sudah menjadi tua dan kasar, garam-kasar diproses dengan penjemuran selama 3 hari. Tujuannya agar garam tampak putih. Sejak dari proses pertama hingga terakhir ini, Pak Sukidi bersama dengan anggota kelompok yang lain harus menunggu satu bulan untuk bisa panen garam. Namun sebenarnya setelah proses penuaan air laut yang pertama kali telah berjalan dan panen, maka untuk berikutnya setiap minggu garam bisa dipanen. Satu kotak pengkristalan garam mampu menghasilkan sekitar 16 Kg garam setiap panen.
Cerita turun-temurun yang pernah didengar oleh Pak Sukidi dari para leluhur di Kanigoro, sebenarnya mereka memiliki sejarah budidaya garam tradisional. “Jare simbah, dulu prosesnya air laut digodok pakai gerabah besar, Mas, di beberapa tempat, yaitu di Pantai Nguyahan, Dadap Ayam, Mbaya, dan Kali Arum (Ngarum), di sisi barat Parang Racuk. Jika ke timur lagi ya di Sepanjang. Di sana, di Kali Arum, masih bisa dijumpai gundukan-gundukan abu bekas pembakaran kayu bercampur pecahan-pecahan gerabah dan pasir berwarna hitam,” begini cerita Pak Sukidi. Dari gambaran Pak Sukidi tentang ‘gundukan-gundukan’ kuno ini, saya membayangkan bahwa proses pembuatan garam secara tradisional tentu sangat panjang. Entah dimulai sejak tahun berapa. Menilik cerita dari simbahnya Pak Sukidi, produksi garam tradisional di Pantai Selatan Gunungkidul sering disetorkan ke Pemerintah Hindia Belanda sebagai upeti. Garam-garam dari Pantai Selatan Gunungkidul diangkut menggunakan kuda.
Dengan garis pantai yang kurang lebih sepanjang 87 Km, Pantai Gunungkidul memang memiliki potensi besar dalam hal produksi garam. Apa yang sudah diinisiasi oleh Gubernur DIY pada tahun 2018 itu, dan telah dilaksanakan oleh Kelompok Petani Garam “Dadap Makmur” di Dusun Gebang Kalurahan Kanigoro, memberi gambaran bahwa masyarakat sebetulnya mampu memproduksi garam tetapi masih terkendala pengolahan pasca produksi dan pemasaran. Dua hal ini tampaknya menjadi permasalahan umum yang sering dijumpai di berbagai program yang dijalankan oleh para petani.
“Kami masih semangat untuk bertani garam sebetulnya, Mas, asal harga jualnya lumayan, tidak sekilo seribu rupiah,” harapan Pak Sukidi di akhir obrolan kami sore itu. Pak Sukidi, yang sehari-hari bekerja di TPI Ngrenehan, memang orang yang hangat dan ramah. Bercerita tentang pertanian garam selama satu jam lebih ia tetap segar, sesegar hidangan teh air hujan dari bak PAH miliknya yang dihidangkan Bu Sukidi kepada saya.
[KH/Edi Padmo]