Lumbung Kawruh

oleh -3096 Dilihat
oleh
Perpustakaan Lumbung Kawruh; Dusun Ngurak-urak Desa Petir Kecamatan Rongkop
Perpustakaan Lumbung Kawruh; Dusun Ngurak-urak Desa Petir Kecamatan Rongkop

Salah satu sesepuh Ngurak-urak, Mbah Waso, berperan sebagai tokoh yang nggebrakke Lumbung Kawruh. Kala nggebrakke ini Mbah Waso menuturkan ‘sejarah’ Ngurak-urak. Harapannya, anak-anak, pemuda-pemudi, bisa mengetahui dan mengerti sejarah dusunnya seperti apa. Hal seperti ini, menurut Ribut, jarang dilakukan oleh para sesepuh di dusun lain. Terkadang, hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dusun itu tabu untuk diceritakan. Sementara anak-anak atau pemuda-pemudi takut bertanya. Ribut melakukan suatu tindakan sesuai dengan keinginan dan perasaannya sebagai keturunan Ngurak-urak. Ketika mengomunikasan kepada sesepuh Ngurak-urak, Mbah Waso ini, Ribut merasa memiliki kesamaan pandangan dengannya.

Sebelum Lumbung Kawruh digebrakke dalam acara “Sedekah Nada”, Ribut sowan ke beberapa sesepuh baik yang masih sugeng maupun sudah meninggal. Ribut sowan kepada leluhur Ngurak-urak yang berada di sebuah resan. Hal ini ia-maksudkan, sehubungan dengan niatnya untuk gawe-apik melalui komunitas Lumbung Kawruh, benar-benar mendapatkan jalan lurus dan lancar atas dukungan dan doa dari mereka pula.

Meskipun kita hidup di alam modern namun kita tetap menggunakan ‘tata-krama’ dan ‘kula nuwun’ kepada para sesepuh dan roh leluhur yang telah berjuang mendirikan desa.

Sebuah resan yang berada di Gunung diyakini oleh sesepuh Ngurak-urak merupakan tempat tinggal leluhur yang sudah meninggal. Seperti yang dituturkan Mbah Jarwa: Pohon Ipik nama resannya. Dari waktu ke waktu resan di gunung kecil itu sudah berganti-ganti jenis pohonnya. Sebelumnya, jenis kayu-nya (baca: pohonnya), yaitu pohon yang hidup sebagai resan, adalah Kayu Gelap. Tinggi-besar dan ngrembuyung dahan rantingnya. Saking tuanya, pohon itu rungkat atau jungkar kurang lebih 5 tahun yang lalu. Resan yang nggajuli (menggantikan) bernama Pohon Ipik, namun masih tergolong muda umurnya. Tak tahu bagaimana logika ilmiah-alamiahnya, pohon pengganti ini (Ipik) cepat sekali proses tumbuhnya. “Lha kantenan, sing gedhe rungkat lajeng sing cilik bredhel tuwuh ngaten mawon,” seorang sesepuh Ngurak-urak, Mbah Jarwa, memberi penjelasan. Pohon Ipik menggantikan pohon-pohon sebelumnya yang berperan sebagai resan dusun. Leluhur Ngurak-urak yang terakhir yang menempati resan itu bernama Mbah Sa Kriya; leluhur Ribut. Mbah Sa Kriya dipercaya ngawat-awati wilayah sekitar Ngurak-urak. Sementara leluhur yang mbabad dan mbukak daerah Ngurak-urak adalah Nyai Kithi dan Kaki Kithi. Sejak awal keberadaan Ngurak-urak Nyai Kithi lan Kaki Kithi memiliki kapitadosan (kepercayaan) bahwa semua tokoh yang ngreksa (menjaga) atau ngemong (memelihara) wilayah Ngurak-urak diunggahke lumbung (dikumpulkan dan disimpan) di resan itu, termasuk Mbah Sa Kriya. Kepercayaan ini ‘dituturkan’ turun-temurun. Berkumpulnya pangreksa atau pamong dusun ditandai dengan keberadaan pohon-pohon besar yang hidup di sana: laksana lumbung pohon-pohonan. Lumbung pepohonan adalah resan. Sementara itu resan adalah lumbung kawruh.

Sedaya sing boten katon ing wewengkon riki niki (Ngurak-urak), kabeh dilumpukke ing riku niku (resan Pohon Ipik), supados ngreksa wilayah ngriki. Amargi wilayah riki badhe dipundamel dhusun, naminipun Ngurak-urak. [Mbah Jarwa]

Mengulangi kisah yang dituturkan Mbah Jarwa: ‘sejarah’ Ngurak-urak berhubungan dengan Dusun Watu Mengkurep dan Dusun Ngelo, yang ketiganya memiliki kekerabatan dengan kisah terjadinya Dusun Dadapan, yaitu dengan adanya tokoh Randha Dhadhapan. Dulu ada seorang prajurit (keturunan) Majapahit yang ikut melamar Randha Dhadhapan tetapi ditolak. Ia kemudian berjalan sampai wilayah Watu Mengkurep sekarang. Di sana, saking bersedihnya, ia ungkeb-ungkeb (menangis dengan menutupi muka), mengkureb (tengkurap) di atas sebuah batu. Kelak, wilayah ini disebut Watu Mengkurep. Setelah itu ia berjalan ke arah utara sampai wilayah Ngurak-urak sekarang. Di Ngurak-urak ia disuraki (disoraki) oleh brayat Nyai Kithi dan Kaki Kithi. Ia berkata dalam hatinya: ada orang ditolak lamarannya kok malah disoraki. “Kene iki nek ana rejaning jaman banjur dinggoni sapa wae dijenengke Dusun Ngurak-urak,” Mbah Jarwa meriwayatkan. Ia melanjutkan perjalanan kembali. Sesampainya di suatu tempat, ia ditanyai oleh uwong-uwong (orang-orang), tetapi ia tanpa sedikitpun candhuk-lawung (berkata-kata, bertegur sapa). Orang-orang di sekitar tempat itu paham benar bahwa dari gelagatnya ia adalah seseorang yang sedang sungkawa (bersedih hati) hingga ngeluh-luh (bercucuran air matanya). Maka daerah itu pada akhirnya nanti dinamakan Dusun Ngelo, derivasi dari kata ngeluh-luh.

Keberadaan bethek (anyaman bambu) yang digunakan untuk memagari Resan Pohon Ipik pada waktu pelaksanaan Rasulan tahun ini diperbaharui. Bethek dibuat oleh kelompok RT di lingkungannya masing-masing, kemudian dibawa ke lingkungan resan yang berada di ketinggian untuk dipasang. Fungsi bethek pagar resan adalah agar tempat dimana resan berada aman dari gangguan. Dengan kata lain, bethek adalah pengaman. Misal ada masyarakat yang opek pakan (mencari pakan) dan mengambil pakan dari pohon itu tidak diperbolehkan. “Njupuk pakan saking kayu niku boten dikeparingke,” Mbah Jarwa memberi alasan. Meskipun telah ada cerita tutur seperti ini dari dulu namun banyak anak yang tidak tahu cerita tentang keberadaan resan dan sejarah dusun Ngurak-urak. Beberapa orang tua pun jika ditanyai tidak selalu mengetahui. Mbah Jarwa menegaskan kawruh-nya (pengetahuannya), “Nek kula keleresan diparingi weruh saking sesepuh ingkang sampun swargi.”

Mendekati pelaksanaan upacara “Nggebrakke” dan pengisahan ‘sejarah’ Ngurak-urak usai, Mbah Waso mengharapkan, “Muga-muga lumantar anane Lumbung Kawruh apa-apa kang diajab para anak putu dadia kasunyatan sing bener-bener dipengini.” Mbah Waso berterima kasih kepada para anak-cucu yang telah membentuk Lumbung Kawruh. Dengan kehadirannya di Ngurak-urak paling tidak beberapa kebudayaan tinggalan leluhur tidak akan ‘cepat’ hilang. Ia beramanat, “Sakpengker kula mbenjang, sinaosa jaman majenga kaya napa, sedaya tilaranipun sesepuh lan para piyayi ingkang sampun pinundhut dening Ingkang Akarya Gesang, menika saksaged-saged dipunlestantunaken.” Selaras dengan amanat sesepuh Ngurak-urak ini, Ribut juga merasa prihatin karena banyak anak dan pemuda lebih “termakan” kemodernisasian dan lupa akan sejarah dusunnya. Sementara bagi Ribut sejarah adalah tolok ukur kemajuan. Kemajuan bisa diukur jika masyarakat Ngurak-urak khususnya tahu tentang sejarahnya sendiri. Jika suatu saat para anak dan para pemuda kemajon, terlalu miring nengen atau miring ngiwa, dengan ‘tahu sejarah’ maka bisa “meluruskannya”. Sebaliknya, jika para anak dan para pemuda tidak tahu sejarah akhirnya ngudung kaya sapi bigar (berjalan-berlari cepat tanpa aturan dan tujuan yang jelas). Yang dikhawatirkan, para anak dan para pemuda bertindak keladuk.

Maka dari itu Ribut Eugh, yang pernah tumbuh di Tangerang dengan komunitas reggae Kastam Varespa dan sekarang Mbako Ijo di Gunungkidul, ikut menitipkan pesan: ada kalanya kita belajar kepada sesepuh dan leluhur, ada kalanya kita belajar kepada adik-adik yang lebih muda. Kebo nusu gudel: mungkin unen-unen ini cocok untuk mendeskripsikan salah satu prinsip yang coba diusung oleh Lumbung Kawruh. Belajar kepada dan bersama anak-anak bukan lah hal tabu yang bisa dilakukan. Sangat mungkin, seperti halnya para sesepuh dan leluhur merupakan pahlawan bagi dusunnya, anak-anak pun memiliki khasanah ilmu. Anak-anak layak disebut pahlawan bagi keluarganya dan jamannya.

Perpustakaan Lumbung Kawruh. KH/WG.
Perpustakaan Lumbung Kawruh. KH/WG.

Dan mungkin saya, yang pernah datang ke Lumbung Kawruh sekali, juga akan mengatakan demikian: Ribut, beserta anak-anak dan sanak-saudara Lumbung Kawruh serta segenap warga Ngurak-urak, adalah pahlawan bagi lingkungannya sendiri. Lumbung Kawruh adalah sebangsa tenggok, tomblok, senik, atau srumbungan lain, sebagai wadah pala-nya keluarga Ngurak-urak berupa sejarah, ilmu pertanian, yang terikat kuat dengan unsur-unsur kebudayaan lain seperti aksara, seni, upacara, dan sebagainya. Lumbung Kawruh adalah penghasil pala-palanan kehidupan di wilayahnya sendiri. Menirukan kata-kata Resan Blues yang ikut mengisi acara “Sedekah Nada” dan Nggebrakke Lumbung Kawruh kala itu: “Tidak usah jauh-jauh, resan para leluhur adalah pahlawan, petani adalah pahlawan, acara ini adalah pahlawan, Lumbung Kawruh adalah pahlawan.”

Orang-orang yang menggelorakan semangat kembali kepada ilmu pengetahuannya sendiri dan kawruh leluhurnya sendiri adalah pahlawan, bukan?

Nyai-Kithi Kaki-Kithi, Mbah Sa Kriya, Mbah Waso, Mbah Jarwa, Trisno Rejo, Wartiyem, Parsa, Ribut, Beno, Suhar, Tola, Tari, anak-anak seperti Panji, Iyan, Deva, Aji, dan seluruh keluarga Lumbung Kawruh di Ngurak-urak beserta saudara-saudara jejaringnya dimana pun berada (Karawang, Bantul, Yogya, Magelang, dll.), bertindak untuk menghasilkan pala: yaitu kawruh kebudayaan dusun-desa. Mereka menyimpan pala atau kawruh ke lumbung, dan suatu saat mengambilnya lagi dari lumbung. Mereka belajar bersama (sinau-bareng), bersama-sama belajar (bareng-bareng sinau); mereka bermain; mereka bergembira. Mereka ibarat batur kebudayaan yang beraksi tanpa pamrih. Justru karena mereka semua menggelorakan semangat batur dan tanpa pamrih, semoga mereka tak ikut-ikutan menjadi pitik trondhol saba ing lumbung: orang-orang ‘nir-dana’ yang (tiba-tiba) diamanahi memegang banyak uang untuk mengembangkan kebudayaan. Karena telah memilih jalan sebagai batur, jalan yang sepi, semoga status mereka tak secara euforis diunggahke lumbung: dinaikkan kepangkatannya dengan pesta-dana. Meskipun ‘hanya’ batur, semoga mereka seperti kurung munggah lumbung, batur (pembantu) yang atas aksi-nyatanya (bukan pamrihnya, bukan sok-sokan menjelma kaum milenial “aleman” kata Ribut) didaku oleh pamong kebudayaan di Gunungkidul (Kundha Kabudayan) sebagai ‘istri’, sebagai pasangan-pelengkap, dalam aksi kerja-bersama (tembayatan) mencari, merumuskan, menghadirkan-kembali, menjaga dan melestarikan aneka kebudayaan peninggalan leluhur Gunungkidul.

Semoga mereka, juga komunitas-komunitas tipe ‘batur’ lain di Gunungkidul, menjelma lumbung kawruh yang sesungguhnya!

[wg]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar