Legenda “Joko Galing” Dipentaskan Siswa SMKN Purwosari

oleh -7839 Dilihat
oleh
Pentas Kethoprak "Joko Galing" di Desa Giriasih Purwosari. KH/Edi.
Pentas Kethoprak "Joko Galing" di Desa Giriasih Purwosari. KH/Edi.
Pentas Kethoprak “Joko Galing” di Desa Giriasih Purwosari. KH/Edi.

PURWOSARI, (KH). — Siswa SMKN Purwosari beradu peran dengan para pemuda Desa Giriasih dalam pertunjukan Kethoprak di Balai Desa Giriasih, Kecamatan Purwosari. Malam gelar seni Kethoprak yang bertajuk Penutupan HUT RI 70 dan Gelar Budaya ini diprakarsai oleh Pemerintah Desa Giriasih pada Minggu (1/09 /2015). Sebagian besar pemain kethoprak ini merupakan anak-anak muda dari Desa Giriasih.

Ketua Panitia Ngatijo mengungkapkan, dalam pentas Kethoprak kali ini sebagian besar pemainnya generasi muda asli Giriasih dan siswa-siswi SMKN Purwosari. Ini sengaja dilakukan sebagai upaya regenerasi anak-anak muda agar semakin mencintai kesenian tradisional yang dahulu sangat populer di desa ini.

Margi Wibowo (45), sutradara pertunjukan mengungkapkan, lakon Kethoprak yang digelar adalah “Joko Galing”. Lakon tersebut menceritakan peristiwa di Kabupaten Tandes wilayah Surabaya ada seorang Adipati Gendro Sekti yang memiliki istri bernama Puspa Ningrum. Istri adipati tersebut merupakan putri dari Raja Majapahit Brawijaya.

Di sisi lain, Adipati Gendro Sekti memiliki kegemaran seni hiburan berupa ledhek. Dikisahkan ada seorang ledhek yang bernama Sariti yang membuat sang adipati kepencut. Lantas kemudian, ledhek tersebut dijadikan istri selir. Dalam perjalanannya kemudian, ledhek Sariti menginginkan jadi istri prameswari, dan meminta kepada Adipati Gendro Sekti agar Puspa Ningrum diusir dari Kadipaten Tandes.  Akibatnya kemudian, terjadilah kegaduhan di Kadipaten Tandes.

Adipati Gendro Sekti suatu ketika bermimpi ada percikan api kecil yang melalap istana Kadipaten Tandes. Sang Adipati menjadi galau pikirannya, ia kemudian bertanya kepada Begawan Ciptaning, salah satu guru spiritualnya. Begawan Ciptaning mengartikan bahwa ada  percikan api kecil melalap istana kadipaten tersebut adalah perlambang ada orang-orang yang membuat provokasi untuk menguasai pemerintahan Kadipaten Tandes.

Kegaduhan ini akhirnya dapat diredam oleh seorang putra Majapahit Joko Galing. Makna yang bisa diambil dari kisah ketoprak tersebut adalah dalam menjalankan pemerintahan sangat diperlukan kehati-hatian, sangat mungkin ada pihak-pihak yang berusaha merusak situasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang dapat menjungkalkan amanat menjadi pemimpin.

Para peraga ketoprak di Giriasih ini rata-rata masih berusia muda. Seperti Nina Astuti (18), Nina Cahyanti (16), dan Ana Fitara (17). Mereka bertiga merupakan siswi SMK Purwosari. Mereka mengaku senang dengan seni Kethoprak. Dengan bermain ketoprak, mereka bisa menjadi fasih berbahasa Jawa Kromo Inggil.

Mereka juga menuturkan, saat ini di sekolah ada ektrakurikuler Kethoprak yang diikuti 21 siswa. Pelatih ekstra kurikulernya Suntono. Pada bBulan September ini, SMK Purwosari dan para pemuda desa se-kecamatan Purwosari juga akan mewakili kontingen Kecamatan Purwosari dalam mengikuti lomba kethoprak tingkat Kabupaten Gunungkidul.

Camat Purwosari Sukis Heriyanto, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa UU Keistimewaan DIY salah satunya memuat kebudayaan. Menurutnya, kegiatan ini sangat bermanfaat untuk pelestarian budaya. Upaya berkesenian kethoprak yang melibatkan para pemuda ini merupakan salah satu cara menjaga budaya.

_____

Kiriman artikel dari Edi Setiawan di Purwosari.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar