GUNUNGKIDUL, (KH),– UU No. 5 Tahun 1990 berisi tentang aturan bagaimana mengonservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di dalamnya dituliskan batas-batas masyarakat bisa memanfaatkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di samping memanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, diharapkan masyarakat bisa menjaga kelestarian ekosistem sehingga keseimbangan alam akan terjaga dan lestari untuk generasi mendatang.
Akhir-akhir ini perburuan liar semakin marak. Habitat alamiah satwa menjadi terganggu. Rusaknya habitat alami satwa menjadi pemicu utama punahnya berbagai spesies satwa terutama jenis burung. “Anggung (kicauan) burung drekuku di pagi hari susah, Mas, habis ditembak oleh para pemburu,” ujar Slamet, warga Dusun Gerjo Kalurahan Grogol Kapenewon Paliyan. “Saya sering merasa tidak tega bila melihat burung berdarah darah, mati di tembak oleh pemburu. Burung itu salahnya apa? Wong cuma berkicau, dan merdu didengarkan,” imbuh Yastini, seorang kader desa. Senada dengan Slamet, Sri Mardani, Dukuh Karangmojo A, mengatakan bahwa perburuan satwa terutama burung di desanya kebanyakan justru oleh orang dari luar. “Biasanya mereka datang berombongan,” ujarnya.
Keprihatinan warga Grogol tentang perburuan satwa yang marak kemudian ditanggapi oleh kelompok karang taruna. Dimulai oleh kelompok karang taruna 3 dusun, yaitu Dusun Karangmojo A, Senedi, dan Gerjo, di tahun 2016 dimulailah pemasangan papan-papan larangan berburu di Kalurahan Grogol. “Pembuatan papan-papan larangan berburu ini kami lakukan secara swadaya, atas inisiatif karang taruna dan masyarakat,” ujar Nur cahyo, tokoh pemuda dusun Karangmojo A.
Agung Purwanto (Kepala Dukuh Tungu) menambahkan, kesadaran masyarakat terhadap aturan larangan perburuan satwa itu sangat tinggi. Ibu-ibu dan simbah-simbah pun berani memperingatkan jika ada pemburu mereka jumpai masuk ke wilayah mereka. “Kami berharap aturan ini segera bisa dilegalkan dalam bentuk Perdes, kemudian disosialisasikan ke tiap-tiap pedukuhan dan RT sehingga warga berani bertindak jika ada yang melanggar karena telah mempunyai landasan aturan yang jelas,” terangya.
Sementara itu Kalurahan Pampang Kapenewon Paliyan, yang berbatasan langsung dengan Kalurahan Grogol, juga memiliki aturan spesifisik tentang konservasi satwa. “Aturannya untuk yang nekad berburu dan menembak di wilayah kami, satu burung dendanya satu juta,” ujar Suroto, salah satu tokoh pemuda Kalurahan Pampang. “Ceritanya dulu ada seorang warga Pampang di perantauan, namanya Mas Mahmud Arianto. Dia ingin ketika pulang kampung masih bisa mendengar kicauan berbagai burung seperti waktu ia kecil, ketika belum merantau dan masih hidup di desa,” tutur Suroto mengawali ceritanya. “Waktu itu diawali dengan turnamen Badminton yang diadakan oleh Pak Mahmud. Uniknya, pendaftaran ikut turnamen bukan dengan uang, tetapi dalam bentuk seekor burung,” Suroto melanjutkan. Sejak saat itu Pak Mahmud sebagai pioner konservasi satwa di Pampang mulai intens masuk di karang taruna dan masyarakat, mengampanyekan pentingnya perlindungan satwa. “Biar anak cucu tidak bingung dengan hewan yang bernama burung,” harap Suroto.
Akhirnya, Pemdes Pampang menyambut aksi itu dengan menerbitkan Perdes yang mengatur perlindungan satwa. Termasuk di dalamnya adalah larangan menembak burung, serta larangan mulut (menangkap dengan pulut), menjerat, atau mengambil anak burung yang ada di sarang. Perdes tentang konservasi satwa di Pampang disambut antusias oleh masyarakat. Selain konservasi satwa, masyarakat Pampang juga melakukan penanaman pohon-pohon jenis talok di sepanjang jalur pertanian. Hal ini sebagai upaya untuk menyediaan makanan bagi burung-burung. Di berbagai acara Desa Pampang sering pula diadakan pelepas-liaran burung. Burung yang dilepas-liarkan berbagai jenis, ada Kutilang, Trothokan, Jalak, Perkutut, dan lain lain. “Kami tidak main main dengan aturan ini. Siapapun yang melanggar, warga akan benar-benar bertindak. Pernah ada seorang warga kami sendiri yang melanggar. Kami membawanya ke balai desa untuk disidang dan dibuatkan surat perjanjian bermaterai untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi,” Suroto memberi penegasan.
Aturan yang jelas dan tegas tentang perlindungan satwa ditambah kesadaran masyarakat yang tinggi memang sangat jelas terlihat di wilayah Kalurahan Pampang. Kala Kabar Handayani berkeliling di Pampang menjumpai berbagai jenis burung yang manggung (berkicau) dan bersliweran. Burung-burung beterbangan bebas baik di ladang ataupun di halaman rumah warga. Upaya dan inisiatif konservasi satwa yang telah dilakukan dua kalurahan ini, yakni Grogol dan Pampang, sudah sepatutnya mendapat apresiasi dari Pemkab Gunungkidul melalui dinas terkait sehingga kesadaran konservasi alam di dua wilayah ini bisa ditularkan ke desa-desa lain di seluruh wilayah Gunungkidul. Dengan demikian, amanat UU No. 5 Tahun 1990 telah dimaknakan secara nyata, bahwa sebuah wilayah desa beserta warganya memberi tempat hidup bagi burung-burung. Burung mempunyai hak yang sama dengan warga desa untuk hidup dan berkembang biak. Hal ini merupakan bentuk keserasian dan keseimbangan alam.
[KH/Edi Padmo]