Kenapa Prestasi Pendidikan Gunungkidul Rendah?

oleh -8698 Dilihat
oleh
Pelajar salah satu SMP di Gunungkidul, Foto: Dok. KH
Pelajar salah satu SMP di Gunungkidul, Foto: Dok. KH
Pelajar salah satu SMP di Gunungkidul, Foto: Dok. KH

WONOSARI, (KH)— Pemberlakuan Jam Belajar Masyarakat (JBM) sempat berdampak positif kira-kira pada tahun 1998 silam, bahkan memiliki peran yang sangat signifikan terhadap prestasi belajar siswa waktu itu. kini, rasa-rasanya tinggal plang dan tanda saja yang terpajang disudut-sudut wilayah Padukuhan di Gunungkidul.

Hal tersebut diungkapkan Kasi Bina Pendidikan dan Kurikulum Disdikpora Gunungkidul Sumarto MPd mendampingi Kabid Pendidikan Lanjutan Pertama (PLP) Drs Kusmanto, beberapa waktu lalu di kantornya. Menurutnya prestasi pelajar di Gunungkidul hapir disemua jenjang dipengaruhi oleh beberapa kendala, diantaranya yang berasal dari keluarga dan lingkungannya.

Sebelum lebih jauh membicarakan berbagai penghambat prestasi pendidikan, Dirinya mencontohkan, sebenarnya prestasi hasil belajar secara individu, misalnya untuk anak SMP di Gunungkidul tidak begitu kalah dengan pelajar di DIY, seperti misalnya pada Tahun 2014 lalu, salah satu siswa SMP nilai UN menduduki peringkat tertinggi se-provinsi.

Tetapi memang untuk rata-rata keseluruhan, Gunungkidul masih paling rendah dibanding kabupaten/ kota yang lain. Disampaikan Kusmanto, target tahun ini nilainya diharapkan meningkat, tidak berada pada posisi terendah.

“Target tentunya secara umum nilainya agar selalu meningkat,” Ujar Kusmanto.

Pihaknya berharap ada kerjasama berbagai unsur, terutama antara masyarakat atau wali dengan sekolah atau Disdikpora. Menurutnya, fasilitas pendidikan untuk jenjang lanjutan pertama/ SMP sudah cukup memadahi bahkan saat ini banyak dukungan baik program maupun dana yang melekat pada masing-masing siswa semata demi mendorong keberhasilan belajarnya.

Untuk dukungan dana pendidikan, lanjutnya, ada beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) menyasar 11.232 siswa besarannya Rp. 750 ribu per tahun, beasiswa pemegang Kartu Cerdas sebesar Rp. 1.260.000 per tahun untuk 475 siswa.

“Masih ada lagi bakat prestasi dari Provinsi Rp. 1.800.000, APBD sebanyak Rp. 300 ribu dan dari Pusat Rp. 200 ribu,” rinci Kusmanto.Sehingga, tandasnya, permasalahan biaya bukanlah yang utama sebagai penghambat prestasi siswa.

Untuk prasarana, jelas Kusmanto, mestinya juga tidak ada masalah karena semua SMP sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) bahkan lebih, tinggal optimalisasi pemanfaatannya saja. Bahkan belum lama ini bersama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) telah menerbitkan rangkuman materi dan bank soal atau soal-soal latihan jenjang SMP, menyatu di web Disdikpora.

Perkembangan Gadget mestinya tidak sekedar untuk gaya hidup, mengikuti tren. “tetapi bagi pelajar dapat memanfaatkannya untuk sarana belajar juga,” Ujar Sumarto melengkapi.

Dukungan lain yang sudah dilakukan yakni, pendampingan kepada masing-masing sekolah, apa yang menjadi kendala diupayakan solusi pemecahannya.

Setiap menjelang UN diadakan pertemuan, demi sukses UN musyawarah melibatkan sekolah, pengawas, orang tua, dan komite serta Disdikpora dengan harapan saling mendukung dengan prioritas siswa mendapat nilai maksimal.

“Setiap masalah sekolah satu dengan yang lain beda-beda, dengan pengalaman-pengalaman yang sudah dialami sekolah lain maka bisa diterapkan di sekolah yang bersangkutan,” Imbuh Sumarto.

Berdasar hasil pengamatan, pihaknya menilai belum adanya konsekuensi bersama yang dipegang terus menerus oleh masyarakat untuk terus membantu dan memberikan dukungan kepada Disdikpora maupun sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Padahal, faktor lingkungan dan keluarga itu cukup menentukan.

Masyarakat luas terkadang tidak mau tahu seperti apa upaya yang dilakukan pihak-pihak terkait, tetapi ketika hasil masih belum sesuai harapan, peringkat rendah dan sebagainya, sekolah atau Disdikpora menjadi perbincangan.

“Menurut kami, ajakan untuk bersama meningkatkan nilai sudah kita kejar, beberapa temuan siswa itu menganggap sekolah tidak terlalu penting, malas berangkat, apalagi belajar, menghadapi UN juga dianggapnya biasa-biasa saja, motivasi prestasi sekolah itu rendah” keluhnya.

Faktor lain, adalah pengawasan dari keluarga, orang tua/ wali, mereka terkadang mengkesampingkan perkembangan pendidikan anaknya, karena kesibukan, permasalahan ekonomi, tertinggal dengan perkembangan dan lainnya.

“Mohon maaf, meski tidak semua tetapi ini kita temui kebanyakan di daerah pinggiran, siswa yang prestasinya rendah biasanya ada faktor dari keluarga, entah ditinggal merantau, sehingga ikut nenek atau saudara, atau di rumah tinggal hanya dengan salah satu orang tuanya saja, tidak mutlak demikian tetapi fakta ini benar-benar terjadi,” beber Sumarto.

Hal tersebut tepatnya adalah perhatian, urai Sumarto, sebenarnya seperti apapun kondisi keluarga jangan sampai lali memperhatikan perkembangan pendidikan putra-putrinya. “kita tidak menyalahkan, tetapi bagaimana bersama mau menciptakan kultur belajar baik di keluarga dan lingkungan masyarakat ini yang perlu diperhatikan, jangan diserahkan sepenuhnya ke sekolah, di jenjang SMP demikian, bisa saja sama dengan jenjang yang lain” urainya. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar