WONOSARI, (KH) — Bagi masyarakat Gunungkidul yang memiliki rutinitas bepergian menggunakan angkutan umum era 1970-1980-an, tentu mengenal nama-nama Perusahaan Otobus (PO) penyedia jasa angkutan waktu itu. Beberapa di antaranya: adalah Sar Gede, Asri, Muncul Baru, Warga Jaya, Baker, Djangkar Bumi, dan Bagong.
Beberapa PO tersebut saat ini ada yang sudah tidak beroperasi lagi. Salah satu penyedia jasa angkutan yang ikut merintis membuka jasa angkutan umum di Gunungkidul yang masih beroperasi sampai saat ini adalah PO Djangkar Bumi.
Bagaimanakah kisah jatuh bangun Djangkar Bumi dalam melayani transportasi umum terkhusus masyarakat Gunungkidul? Juga bagaimana mereka tetap mampu bertahan hingga saat ini? Anak tertua pendiri Djangkar Bumi, Bowo Pranyoto berkisah kepada KH.
Ayahnya, Sugiyarto (almarhum), sebelumnya adalah seorang sopir. Pada tahun 1955/1956, ia mampu membeli sebuah mobil untuk pertama kali berupa truk. Dengan kendaraan tersebut, ia melayani jasa angkutan barang berupa arang kayu serta hasil bumi dari Gunungkidul menuju Yogyakarta dan juga Solo. Dengan tambahan kursi di bak belakang, terkadang ia juga mengantarkan masyarakat yang bepergian.
Semakin meningkatnya kebutuhan mobilitas masyarakat pada masa itu, maka pada tahun 1968 Sugiyarto mengawali usaha transportasi menggunakan bus berkursi kayu dan berbahan bakar bensin.
“Waktu itu bus berkapasitas 38 orang. Trayek pertama yang dilayani Ponjong- Yogya. Baru pada tahun 1972 angkutan beralih ke kendaraan berbahan bakar solar” tutur Bowo, Rabu, (5/8/2015).
Seiring berjalannya waktu, jumlah armada dan layanan trayek bertambah. Tahun 1980-an, PO Djangkar Bumi mengalami masa yang paling membanggakan dalam menjalankan roda bisnis angkutan di Gunungkidul. Dengan 12 unit armada, perusahaan ini melayani trayek Ponjong-Yogya, Semin- Yogya, Ngawen-Yogya. Lantas berkembang lagi pada jalur Ngrancah-Yogya, Tepus-Yogya, dan juga Panggang – Wonosari-Yogya.
Menurut lelaki ramah berusia 58 tahun ini, usaha bidang transportasi memiliki fungsi sosial, terutama bagi para penglaju, seperti anak sekolah atau kuliah dan pegawai. Kepada mereka, Djangkar Bumi memberlakukan tarif khusus atau tidak sesuai tarif normal.
“Sekitar separuhnya saja, terkadang berapa pun mereka membayarnya tidak menjadi soal,” kenangnya.
Ditambahkan, masa keemasan usaha angkutan umum waktu itu hasilnya cukup menjanjikan. Hasil kru bus tiap orang per hari dapat dibelikan 1 gram emas.
“Waktu itu harga emas Rp 500 /gram. Amat begitu menjanjikan. Ada seorang guru memilih berhenti dan menjadi kru bus, karena tergiur hasilnya,” ungkapnya.
Masih seputar hasil jasa angkutan tahun 1980-an, selain setoran yang diterima tergolong tinggi, sebesar Rp 10.000/ hari, kru dan sopir bus mampu membuat rumah yang tergolong bagus pada masa itu.
Setelah melalui puluhan tahun masa kejayaan, awal tahun 2000-an bisnis angkutan umum berangsur mengalami penurunan hasil.
Banyak faktor yang menyudutkan usaha ini yang berakibat berat untuk dijalankan. Menurut Bowo, di antaranya adanya kebijakan Pemkab maupun Pemprov yang mengeluarkan regulasi berupa larangan bus besar melayani trayek antar kecamatan. Kebijakan tersebut dinilai tidak pas dan cenderung tidak sesuai kenyataan di lapangan.
“Memperpendek jalur layanan, jelas merugikan. Dalam hal ini, penumpang juga mengeluarkan biaya lebih banyak, misalnya dari Ponjong menggunakan mini bus, lantas, jika terus ke Yogya, pindah bus besar. Penumpang membayar dua kali dengan total biaya lebih mahal daripada saat masih sekali jalan dengan satu bus besar,” paparnya.
Pada kenyataannya, lanjut Bowo, hingga saat ini tidak sedikit bus ukuran kecil yang melayani trayek antar kabupaten. Selain hal itu, bebernya, peremajaan kendaraan baru dengan aturan maksimal umur armada 10 tahun cukup memberatkan. Karena hasil semakin berkurang seiring menurunnya jumlah penumpang lantaran kemudahan kepemilikan sepeda motor dengan sistem kredit.
Ditambah lagi, beratnya menjalankan usaha transportasi, karena adanya kenaikan kurs dollar terhadap rupiah yang mengakibatkan suku cadang, seperti ban dan onderdil mesin semakin sulit dijangkau. Terpaksa, untuk bertahan, dari 12 bus yang ada, untuk penggantian onderdil mesin dilakukan dengan cara kanibal.
“Kalau saat ini cukup berat, sehingga upaya mempertahankan usaha, mengenai biaya perawatan armada harus ditambah subsidi dari usaha bidang lain. Bahkan, hasil kru bus bisa dibilang memprihatinkan. Tidak sebanding dengan jerih payah dan resiko kerja. Volume kendaraan bermotor (pribadi) cukup padat di rute trayek,” ujarnya.
Sebelum mengakhiri perbincangan, Bowo secara runtut menyampaikan urutan pemegang manajemen PO Djangkar Bumi, pertama Alm. Sugiyarto ayahnya, lalu adiknya atau anak ke-4 Bimono Prastyo, dan sekarang Doni Prasetyo.
“Saat ini tinggal lima bus yang beroperasi, truk Ford lansiran 1953 cikal bakal usaha PO Djangkar Bumi masih dirawat keluarga kami dengan tambahan perbaikan atau modifikasi,” pungkasnya. (Kandar)