GUNUNGKIDUL, (KH),– Bisnis atau usaha jasa angkutan umum di Gunungkidul kondisinya semakin memprihatinkan. Layanan angkutan penumpang yang masih jaya era 1990-an hingga 2010-an ini kini mengalami penurunan eksistensi yang drastis.
Kasi Angkutan Dinas Perhubungan (Dishub) Gunungkidul, Priyadi, S.Sos mengungkapkan, usaha jasa yang sempat membuat pemilik armada mengantongi untung besar ini dirasakan surut sejak sekitar 2000-an awal.
Sejak tahun itu penurunan hasil terus terjadi. Klimaksnya, roda usaha benar-benar macet. Tak mampu lagi beroperasi karena tak ada penumpang.
“Untuk angkutan kota (Angkot) mulai surut lalu berhenti beroperasi sejak sekitar 2010-2011. Menurut Perbup no 39 Tahun 2012 tentang Penetapan Jaringan Trayek Angkutan kota Wonosari dan Penataan Arus Lalu Lintas Angkutan Penumpang Umum dan Barang dalam Wilayah Kota Wonosari, dulu ada 5 jalur trayek,” jelas Priyadi belum lama ini.
Sebelumnya layanan angkutan penumpang dengan mobil yang akrab disebut Kobutri itu terbagi menjadi 5 jalur. Jalur A hingga Jalur E. Hampir 10-an tahun kendaraan berwarna dominan biru tersebut tak nampak di seputar kota Wonosari.
Nasib tak jauh beda kondisinya dengan Angkutan Perdesaan (Angkudes). Dari puluhan jalur ijin trayek yang sebelumnya aktif beroperasi, kini tinggal menyisakan belasan saja.
“Sebelum 2012, masih ada 40 jalur trayek yang aktif. Setelah tahun itu tinggal 15 jalur trayek saja yang aktif,” terang dia.
Dari belasan jalur yang aktif itu, sesuai Ijin Trayek tetap (ITT) yang diperpanjang, ada 310 kendaraan mikro bus. Mereka melayani jasa antar pelaku perjalanan dari berbagai wilayah kapanewon ke Wonosari dan sebaliknya. Namun demikian, ia mengakui, di lapangan jumlah kendaraan yang masih beroperasi saat ini jauh lebih sedikit dibanding data yang dia pegang.
Priyadi menambahkan, faktor yang memperngaruhi surutnya usaha tersebut antara lain, mudahnya masyarakat memiliki kendaraan pribadi baik motor dan mobil melalui skema kredit. Kemudian, bisnis semakin tercekik saat layanan Ojek Online (Ojol) muncul.
Lantas belakangan ini, usaha tersebut kembali dihantam pandemi COVID-19. Berbagai pembatasan yang diberlakukan, membuat lembaga yang punya kewenangan melakukan pengaturan sekaligus pemilik armada tak bisa berbuat banyak.
“Benar-benar sepi penumpang. Jaman sudah sangat jauh berubah. Banyak armada tak beroperasi. Sepertinya memang menunggu bom waktu usaha jasa ini berhenti jalan,” ujar Priyadi.
Pantauan di lapangan, penumpang sangat sepi. Yang tersisa, tinggal pedagang yang berbelanja serta berjualan di pasar-pasar tradisional.
Agar armada masih bisa digunakan, banyak diantaranya dimintakan ijin diubah ke plat hitam. Kendaraan angkutan penumpang itu oleh pemilik hendak dimanfaatkan untuk mengangkut barang.
“Beberapa tahun terakhir ada yang minta perubahan status kendaraan. Tiap tahun rata-rata ada 2 permohonan perubahan status kendaraan. Tahun ini bahkan ada 5,” imbuh dia.
Senada dengan Priyadi, pemilik armada Angkudes yang melayani jalur Wonosari-Semin, Dwi Harjono juga menyatakan beratnya menjalankan bisnis angkutan umum. Dirinya menambahkan, selain kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi dan munculnya Ojol, pemerataan pembangunan institusi pendidikan dan hadirnya alat komunikasi HP juga menjadi biangnya.
“Saat hadir HP, penumpang yang turun di terminal atau tempat angkutan ngetem, pelaku perjalanan telepon minta dijemput keluarganya,” tutur Dwi saat ditemui di kediamannya suatu siang.
Bahkan ia juga menyebut kondisi di lapangan sudah sangat jauh berbeda dengan data yang disodorkan Dishub. Contohnya, sesuai data terakhir Dishub, memang terdapat puluhan kendaraan yang memegang ijin melayani trayek jalur Wonosari-Semin. Kini, Dwi mengungkapkan, tinggal 4 armada saja yang masih beroperasi. Hal yang sama ia yakini terjadi di jalur lain. Jumlah kendaraan yang beroperasi pada suatu trayek jauh lebih sedikit dibanding dengan data jumlah kendaraan yang terdaftar di Dishub.
“4 armada itu saja hanya jalan sekali dalam sehari. Itupun karena memiliki langganan pedagang pasar tradisional. Jika tidak ya nganggur,” terang Dwi.
Sebelum melanjutkan penuturan, pelaku usaha sejak 1996 itu menghela nafas. “Mulanya saya menjalankan 3 armada. Kini yang bertahan tinggal 1 armada saja,” keluh Dwi.
Dwi merasakan sendiri sepinya penumpang belakangan ini. Sebab, selain sebagai pemilik armada, dia sendiri terjun langsung menjadi sopir.
Panjang lebar disampaikan, selain pedagang, armada mikrobus Mitsubhisi yang masih digunakan hanya menunggu permintaan carteran masyarakat yang bepergian dengan berbagai keperluan. Mulai dari pernikahan, menjenguk orang sakit hingga takziah.
“Kendaraan angkutan umum dulu ada tiga sekarang tinggal satu yang sesekali masih saya jalankan. Yang tidak beroperasi untuk angkutan penumpang saya ubah menjadi pengangkut barang. Sayang kalau tidak dipakai,” kata Dwi.
Untuk mengisi waktu yang semakin longgar, ia kemudian membuka warung kelontong kecil-kecilan di kediamannya. Usaha tersebut membantu menopang kebutuhan keluarganya.
“Teman-teman kru kendaraan banyak yang beralih profesi, jadi tukang batu, jadi juru parkir dan lain-lain. Ada yang masih nyopir tapi ganti layanan jasa antar paket,” tukas lelaki berperawakan tambun ini. (Kandar)