(In Memorial) Intan GS Bono, Maestro Pelukis Kehidupan

oleh -1225 Dilihat
oleh
Potret Diri Intan GS Bono; lukisan
Potret Diri Intan GS Bono; lukisan

Mengenang almarhum Intan GS Bono bagi saya seperti mengaduk lelakon perjalanan panjang. Laku yang saya maksud adalah pencarian jati-diri di rimba raya ragam, bentuk, dan spritualitas seni lukis. Intan GS Bono lahir di Gunungkidul 22 Mei 1961. Beliau terlahir dengan nama asli Subono. Beliau menambahkan akronim “intan GS” di depan nama “Bono”, kepanjangan dari “indahnya tanpa guru Subono”.

Saya mengenal Beliau sekitar tahun 1997, waktu ketika cat minyak Maries Tube 12 warna seharga 12.500 rupiah. Itu pun para pelukis harus membelinya di kawasan Malioboro. Kurun waktu 90-an, nama pelukis Intan GS. Bono sudah lumayan berkibar khususnya di Ibu Kota. Atas fasilitasi Kementrian Sosial RI, Intan GS Bono sering mengikuti pameran seni rupa nasional maupun internasional.

Karya-karya Intan GS Bono yang sekarang diurusi keponakannya, Julian Arief Umar.[Foto:Padmo]
Karya-karya Intan GS Bono yang sekarang diurusi keponakannya, Julian Arief Umar.[Foto:Padmo]
Di tahun 1997 itu lah saya terdampar di sanggarnya. Ibarat seorang pengelana saya “nunut ngeyub”,  ikut nyantrik di Sanggar Seni Lukis Intan GS Bono. Sepanjang puluhan tahun, di rumahnya, yaitu di Dusun Kernen Kalurahan Ngunut Kapanewon Playen, yang sekaligus digunakan sebagai Sanggar Lukis oleh Beliau, bersama beberapa teman yang menyenangi dunia seni rupa “absurd” saya merangkai berjuta cerita. Di dalam hubungan kekerabatan Intan GS. Bono, saya sudah dianggap seperti “keluarga sendiri” sehingga saya terbiasa memanggil Intan GS Bono dengan panggilan “Pakdhe”.

Intan GS Bono adalah seniman otodidak, bahkan murni otodidak. Keotodidakan Beliau tak hanya dalam hal melukis, namun juga menulis dan membaca. Sejak lahir Pakdhe memang ditakdirkan memiliki fisik yang tidak sempurna atau (maaf) dalam keadaan cacat. Anatomi tubuhnya tidak berkembang secara sempurna. Hingga memasuki masa dewasa Pakdhe hanya memiliki tinggi badan sekitar 60 Cm. Tak mengherankan waktu itu tidak ada satupun sekolah formal yang mau menerima Beliau sebagai murid. Untuk mengenal huruf dan angka, Beliau “niteni” gambar wayang kecil-kecil (gambar templek) yang dulu umum menjadi mainan anak-anak seusianya. Dari kegiatan niteni visual tokoh wayang yang tergambar di gambar temple itu, Pakdhe  belajar mengenal angka dan huruf satu per satu.

Ratu Kidul; Karya Mistik Intan GS Bono.[Foto:Padmo]
Ratu Kidul; Karya Mistik Intan GS Bono.[Foto:Padmo]
Beliau mulai belajar menulis menggunakan media apapun yang ada. Karena keterbatasan kertas, Subono kecil sering memanfaatkan kertas bekas bungkus teh. Almarhumah Mbah Karto (ibu Intan GS Bono) menceritakan suka-duka mengasuh Pakdhe sejak kecil. Pakdhe pernah meminta dibelikan secarik kertas dan pensil untuk berlatih membuat gambar vignet (ilustrasi dekoratif yang umum tampil di majalah-majalah tahun 80-an). Justru dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya Pakdhe tidak pernah menyurut semangatnya dalam berkarya.

Perjuangannya di dunia seni rupa dimulai dengan sekedar orek-orekan di kertas. Awalnya Beliau malu hasil karyanya dilihat orang lain sehingga seringkali Beliau “unthel-unthel” dan sembunyikan di sembarang tempat. Almarhumah Mbah Karto sering berkata, “Kaya susuh tikus (seperti sarang tikus),” Kisah itulah, cerita Pakdhe pada saya, mendasari Pakdhe membuat penanda di setiap lukisannya dengan menggunakan tanda-tangan berbentuk hewan tikus. Simbol tikus juga Beliau abadikan sebagai tato kecil di dagunya.

Seiring berjalannya waktu, aksi menggambar di kertas lantas Pakdhe kembangkan dengan memainkan warna, baik pastel maupun cat minyak. Mulai ada perhatian dan apresiasi publik terhadap karya-karyanya. Pameran perdananya terselenggara tahun 1986 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta kemudian tahun 1987 di Gedung Purna Budaya Yogyakarta. Tahun 1989 karya-karya Pakdhe lolos dalam seleksi Lawatan Eksebisi Seni Rupa ke beberapa negara, antara lain: Malasyia, Singapura, Belanda, dan Amerika.

Walaupun lolos namun Pakdhe tidak mengikutinya karena saat itu Mbah Karto tidak memberi ijin. Mbah Karto tidak tega jika anaknya melawat ke luar negeri. Mbah Karto takut tidak ada yang bisa mengurus Pakdhe dengan kondisi seperti itu. “Sapa sing rep ngurus, mesakne ngko ndhak gur di siya-siya,” saya ingat ucapan Mbah Karto seperti ini waktu Pakdhe mau diajak ke luar negeri untuk pameran. Almarhum Mbah Karto memang seorang petani ndesa yang lugu. Totalitas, perjuangan, dan kasih sayang Mbah Karto dalam mengasuh dan melindungi Pakdhe sedari kecil memang luar biasa. Walaupun Pakdhe tidak bisa melawat ke luar negeri, tetapi sponsor memamerkan karya-karyanya ke beberapa negara.

Akhirnya Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Sosial mulai melirik keberadaan Pakdhe sebagai seorang seniman difabel yang mempunyai potensi dalam bidang seni rupa. Sejak 90-an banyak sekali perhelatan seni rupa yang diikuti olek Pakdhe, seperti: pameran di Ramaplaza Pondok Gede Jakarta,  Pameran di Gedung Sekertariat ASEAN, Hotel Woman dan Hotel Santika Bandung, dan lain lain. Di tahun-tahun itu Intan GS Bono mulai terkenal sebagai pelukis asli Gunungkidul yang berhasil mengukirkan karier kesenimanannya di Ibu kota.

Lukisan Cat Air 'Uang Kertas'; karya Intan GS Bono.[Foto:Padmo]
Lukisan Cat Air ‘Uang Kertas’; karya Intan GS Bono.[Foto:Padmo]
Sejak saat itu Beliau mulai mendirikan sanggar Sanggar Lukis “Intan GS. Bono” di rumah kelahirannya, di Padukuhan Kernen Kalurahan Ngunut Kapanewon Playen Kabupaten Gunungkidul. Di sanggar lukisnya yang terbilang sederhana, Pakdhe banyak menerima murid. Siapapun yang tertarik dengan dunia seni rupa boleh bersama-sama belajar di sana. Tidak ada hal yang bersifat formal di sanggar itu. Mengobrol, wedangan, ataupun berkarya menjadi rutinitas kami bertahun tahun. Saya pun masih mengingat teman-teman angkatan kamin yang “wedangan bareng” di Sanggar Pakdhe: Windarto, Parno, Hardi, Barek (almarhum), Iba ibok, Iwan, Ima, dan beberapa teman yang lain. Dalam perjalanan waktu banyak yang masih meneruskan berkarier di dunia seni, tetapi ada juga yang memilih untuk mencari nafkah di bidang lain.

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa sejak dulu Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu kiblat seni rupa nasional. Dengan iklim seni rupa yang gayeng dan dinamis, Gunungkidul adalah salah satu dari 4 Kabupaten-Kota di wilayah DIY. Jarak tempuh Gunungkidul-Yogyakarta tidak lebih dari 35 km. Kedekatan jarak dan kesatuan wilayah tidak serta merta membuat seni rupa Gunungkidul bernasib sama dengan Kota Yogyakarta. Dinamika seni rupa di Gunungkidul berjalan sangat lambat. Apresiasi masyarakat dan pemerintah masih sangat rendah. Profesi seniman, terutama seni rupa, bukan hal yang menjanjikan. Tak heran banyak seniman potensial asli Gunungkidul yang memilih merantau dan berkarier ke wilayah lain.

Kenyataan itu mempertemukan beberapa seniman Gunungkidul untuk membuat sebuah wadah, mendijadikannya wahana bersama untuk memperjuangan seni rupa Gunungkidul. Tahun 2012 terbentuklah Ikatan Perupa Gunungkidul (IPG). Salah satu penginisiasi terbentuknya IPG adalah Intan GS Bono. Di berbagai pameran IPG Pakdhe selalu ikut berpartisipasi sejak persiapan hingga penyelenggarakan pameran. Konsistensinya dalam memperjuangkan seni rupa Gunungkidul memosisikan Pakdhe sebagai salah satu senior dan pioner seni rupa Gunungkidul.

Tahun 2012 Bupati Gunungkidul menganugerahkan piagam penghargaan kepada Intan GS. Bono sebagai seniman Gunungkidul yang berjasa dalam bidang seni rupa. Penganugerahan pada Intan GS. Bono bersamaan dengan almarhum Manthous di bidang Seni Campursari. Saya ingat waktu itu Pakdhe guyonan dengan saya bahwa semua seniman yang mendapat penghargaan sudah almarhum. Beliau adalah satu satu penghargaan yang masih hidup. Pakdhe juga mengatakan bahwa Beliau bisa mencapai umur 50 tahun adalah anugerah yang lebih.

Intan GS Bono.[Foto:Padmo]
Intan GS Bono. Repro. [Foto:Padmo]
Bulan April 2013 Pakdhe Bono menggelar pameran tunggal di Pendapa nDe Luweh Kota Gede Yogyakarta. Itu adalah pameran terakhir Intan GS. Bono di masa hidupnya. Tanggal 15 September 2013 jam 10 pagi Pakdhe menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau dimakamkan di TPU Kalurahan Ngunut. Oleh para seniman Gunungkidul pemakamannya diiringi arak-arakan karya-karya lukisannya, sebagai bentuk penghargaan terakhir bagi Beliau atas dedikasinya dalam perjuangan seni rupa.

Publik dan seniman Gunungkidul mengenang beliau sebagai sosok pejuang seni rupa yang konsisten sampai akhir hidupnya. Kami, orang-orang yang pernah “dekat” dengan Beliau, sungguh merasa kehilangan sosok Beliau sebagai seorang guru, teman, kanca wedangan, kanca ngobrol dalam segala hal, tidak melulu seni rupa tetapi bahkan pemahaman tentang arti hidup yang sesungguhnya.

“Dengan segala keterbatasan fisikmu Engkau mampu mencapai hal hal yang kadang melebihi kami yang berfisik normal. Selamat jalan, Pakdhe!  Perjuanganmu itu kini kami yang harus meneruskan.”

[Edi Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar