GUNUNGKIDUL, (KH),– Ahmad Subono, keluarga terpandang di Desa Giriwesi, Gunungkidul memiliki 2 anak kembar dampit, Nareseworo Dyan Benowo, laki-laki, sang adik dan Nareswari Damayanti, perempuan, sang kakak. Kaur Desa, keluarga terpandang, keluarga harmonis, kaya, rasa sosial di tengah masyarakat yang tinggi, kepedulian kepada lingkungan hidup khususnya pantai yang saat ini hampir sulit kita temui, tokoh masyarakat dan dari silsilah keluarga relijiyus. Bagaimana tidak, ayah dari Ahmad Subono adalah Kyai Tulkandha yang sangat dihormati masyarakat. Kondisi demikian mestinya bisa mempermudah setiap jalan hidup di pedesaan yang mereka jalani. Mereka tingal di Padukuhan Klampisireng.
Konflik novel berbahasa Jawa dengan judul Podhang Ngisep Sari ini berawal di saat Ahmad Subono atau lebih dikenal dengan Pak Bono menjadi salah satu calon kepala desa Giriwesi. Cita-citanya luhur untuk semakin memajukan warga dan desannya. Bermodalkan kondisi keluarga, perekonomian dan silsilah keluarga yang tidak perlu diragukan Pak Bono berjibaku dalam kontestasi Pilkades Giriwesi. Sebagai seorang Kaur Kesra banyak orang-orang terutama kasepuhan menginginkan Pak Bono jadi Kepala Desa. Trik dan intrik politik pada kelas pemilihan kepala desa dia lakukan. Bahkan money politik melalui serangan fajarpun dia lakukan untuk mengalahkan lawan yang di anggap enteng.
Larman, pecatan PNS dari Jakarta yang kemudian tingal bersama mertuanya di Padukuhan Klampisputih, tak fasih berbahasa Jawa, belum banyak yang mengenal sosok Larman yang belum lama tingal di wilayah Desa Giriwesi. Diatas kertas mestinya tak banyak yang akan memilih Larman ini. Tapi dukungan kakak Larman yang pengusaha besar di Jakarta ternyata adalah ancaman. Lalu apa yang membuat ketenaran Pak Bono lumpuh bagaikan Wayang Kulit Hilang Cempuritnya? UANG! Money Politik. 42 suara terpaut untuk kemenangan Larman.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kekayaan ludes, hutang menumpuk harus dialami keluarga Ahmad Subono ini. Bahkan rumah besar satu-satunya hampir saja pindah tangan. Kegigihan dan keteguhan Bu Bonolah yang mampu mempertahankan kekayaan yang tinggal satu-satunya itu. Ada satu lagi yang tertinggal, motor pitung.
Dalam keadaan jiwa yang rapuh demikian Kyai Adullah Izis dari Pesantren Klapanduwur menjadi tokoh spiritual tempatnya bersandar. Hingga lelaku dijalani di Gua Langse ditemani sang anak lelakinya Benowo. Benowo remaja justru mendapatkan kitab langka melalui mimpinya. Kitab itu adalah kitab stambul yang kelak akan membawanya mondok di pesantren milik Kyai Haji Asrori putra dari KH. Ustman di Ponpes Kedhindhing. Dari sinilah Benowo menjalani laku tirakat santri pilihan.
Dalam kondisi keluarga yang belum tegak benar itulah, Benowo dan Yanti si kembar dampit, siswa kemaritiman SMK Tanjungsari menuruti cita-cita bertualangnya. Menuruti adrenalin yang membara khas anak muda. Yanti yang memiliki kepedulian lingkungan hidup mirip ayahnya, Pak Bono merasa perlu mencari tahu siapa gerangan pembuang sampah-sampah plastik di laut sana yang akhirnya mengumpul dibibir-bibir pantai terbawa menepi ombak. Atas kebaikan Lek Minthi, seniman lukis yang memilih bersanggarkan di bukit pingir pantai itulah cita-cita Yanti terwujud. Ditemani adik kembarnya, Benowo. Yanti dan benowo serta Lek Minthi akhirnya bisa menjangkau perairan yang jauh. 25 mil dari pantai menggunakn kapal milik pengusaha Jakarta, kolektor dan broker lukisan kolega Lek Minthi. Namanya Pak Syarief.
Kapal boat mewah yang spesisikasinya hanya boleh menjangkau titik terjauh 10 mile dari bibir pantai, ternyata semakin menjauh dari ketentuan. Badai ditemui ditengah laut, mesin mati total, kompas rusak, hilang kendali dan arah. Beruntung Kapal Rainbow dalam misi meneliti biota laut menemukan mereka. Diselamatkan dan dirawat berapa hari di atas kapal berteknologi modern memberi pengalaman yang luar biasa bagi anak-anak desa seperti Benowo dan Yanti. Mereka selamat.
Bahwa akhirnya mereka di Kapal Rainbow itu ternyata tidak terkomunikasikan dengan baik ke daratan. Khususnya Polair dan SAR pantai-pantai di Gunungkidul. Pak Bono dan Bu Bono serta masyarakat pesisir geger, gundah gulana. Membuat Pak Bono harus ikut dalam tim pencarian. Berhari-hari Pak Bono mengikuti pencarian bersama tim SAR. Hingga kecelakaan laut terjadi di perairan Kulon Progo. Di Glagah Indah tepatnya. Ombak yang datang tiba-tiba mementalkan Pak Bono dari perahu SAR Glagah Indah, tim yang tidak berani gegabah memberi pertolongan, menunggu ombak mereda. 15 menit Pak Bono mencoba bertahan dari gulungan ombak pantai selatan yang terkenal ganasnya. Selamat dalam keadaan kritis.