Bernard Wora Wari: Perupa Asal Jogja Berspirit Gunungkidul

oleh -
Bernard Wora Wari
Bernard Wora Wari

Tersebutlah Alas Wora Wari: sebuah alas yang terletak di Dusun Banyumeneng, Kalurahan Girisuko, Kapenewon Panggang. Tutur cerita, wora-wari adalah sebuah pohon yang jika di waktu malam terkena cahaya akan memantulkanya. Alas (hutan) dimana pohon wora-wari tumbuh di kemudian hari disebut Alas Wora Wari. Di waktu dulu Alas Wora Wari sering dijadikan patokan arah bagi para pejalan malam. Di tengah Alas Wora Wari terdapat sebuah padepokan spiritual bernama Padepokan Ngesti Raharjo. Padepokan Ngesti Raharjo didirikan oleh Bapak Sunardi Gardowinarto (wafat tahun 2015 ). Sekarang padepokan ini dikelola oleh Andreas Bernardi, murid sekaligus anak angkat Bapak Sunardi Gardo Winarto.

Padepokan Ngesti Raharjo di Alas Wora Wari.[Foto:Padmo]
Padepokan Ngesti Raharjo di Alas Wora Wari.[Foto:Padmo]
Andreas Bernardi adalah seorang seniman seni rupa Gunungkidul. Memasuki padepokan tempat tinggal perupa ini, suasana spiritual-mistis langsung kental terasa. Tiga pohon jati berukuran besar, yang sudah menjelma resan, tampak kokoh berdiri menjulang di sela-sela bangunan padepokan. Beberapa pohon beringin rimbun dengan akar-sulurnya, menambah suasana mistis semakin kuat. Sebuah patung arca setinggi 5 meter yang menyerupai “Mbah Semar”, tangan kirinya menyangga guci dan tangan kanannya menelunjuk, duduk kokoh di halaman samping padepokan. Di bawah patung yang sedang duduk ini dituliskan empat larik prasasti beraksara Jawa dan Latin yang berbunyi, “Kabeh manungsa samya ngupaya rahayu; Mula sira kabeh kudu manembah; Mring Gusti Kang Murbeng Jagad; Tansah eling mula bukane.” Semerbak hio terbang bersama sepoi angin, mengajak yang bertandang ke sana untuk masuk ke “dunia lain”.

Andreas Bernardi, pria berperawakan kecil yang biasa disapa Bernard ini, membuka obrolan dengan kami sambil mengaduk kopi hitam yang disuguhkan kepada KH siang itu. “Almarhum Bapak (Sunardi Gardo Winarto) memberikan wasiat agar saya meneruskan padepokan ini,” ia memulai ceritanya. Ceritanya mengalir ditemani aroma kopi dan angin semilir siang itu. Bernard berkisah bahwa ia memulai karir kesenimanannya sekitar tahun 2007. Bernard dulunya adalah seorang tukang kayu. Ia bekerja di sebuah pabrik mebel di Yogyakarta. “Ada sebuah kegelisahan batin yang selalu hadir waktu saya bekerja sebagai tukang kayu. Semacam kegelisahan tentang pencarian hidup,” Bernard bercerita bagaimana awal mula ia beralih ke dunia seni rupa dari seorang tukang kayu.

Sebuah Patung di sisi kanan padepokan.[Foto:Padmo]
Sebuah Patung di sisi kanan padepokan.[Foto:Padmo]
Dengan bimbingan almarhum Marsudi (seniman patung) dan almarhum Prapto Budiharjo (spiritualis), Bernard memulai mencari akar kegelisahan jiwanya. Ia mencoba menerjemahkan dan mewujudkan kegelisahan-kegelisahannya itu dalam bentuk karya-karya lukisan dua dimensi.  Bernard melanjutkan ceritanya, “Pencarian dalam seni rupa adalah sebuah laku spiritual. Dalam menjalankan laku spiritual, saya memilih dua jalan, yaitu laku prihatin dan laku ziarah. Laku saya sampai ke Alas Wora Wari dan bertemu dengan Almarhum Pak Sunardi adalah sebagian dari laku ziarah saya.”

Dengan bimbingan Bapak Sunardi, Bernard mulai memperdalam laku batinnya kemudian mengaktualisasikannya dalam bentuk karya lukisan. Hingga pada suatu waktu Bernard ditanting oleh Pak Sunardi untuk memilih: “Kamu ingin hidup dengan proses seperti apa? Menjadi tukang kayu atau seniman? Bernard memutuskan memilih seniman sebagai jalan kehidupannya. Konsekuensinya,  totalitas dan kesungguhan amat dibutuhkan dalam menjalani pilihannya.

Perupa kelahiran 1973 di Jogja ini benar-benar total dalam berproses di dunia seni rupa. Ia selalu mengenakan sarung. Rokok ‘tidak pernah lepas’ dari bibirnya. Rambut dan jenggotnya memanjang, mulai memutih. Penampilannya yang demikian memperkuat kesan totalitasnya sebagai seorang perupa. Walaupun sesungguhnya tidak hanya soal penampilan, puluhan karya Bernard yang terpampang memenuhi ruang padepokan sangat kuat karakter visualnya. KH melihat dan merasakan, karya-karya Bernard tidak hanya lahir dari suatu ekspresi sesaat tetapi bermula dari kedalaman makna. Apa yang ingin Bernard sampaikan lewat karya-karyanya terlihat sebagai hasil dari proses kontemplasi dan perenungan yang panjang.

“Ini ruang meditasi, Mas, ruang semedi. Maaf Njenengan tidak bisa saya-ajak masuk. Ruang ini sangat personal,” sergah Bernard sambil mengantar KH mengelilingi ruang padepokan yang ia-jadikan tempat memajang karya. Sambil berkeliling melihati karya-karyanya, Bernad melanjutkan cerita bahwa ada 3 hal sebagai sumber inspirasinya dalam berkarya: pertama cerita pewayangan, kedua muatan-muatan sejarah dengan segala ‘idiom-idiom’nya, dan yang ketiga pemahaman Bernard tentang keagamaan Katolik. “Tiga sumber ini tidak akan pernah habis sayadalami sampai kapan pun,” tegasnya.

“Tujuan saya berkesenian adalah untuk mencari kepuasan batin, Mas. Terus terang ini sudah saya jadikan sebagai profesi,” Bernard melanjutkan. “Saya asli kelahiran Jogja, dan lama berkesenian di Kota Jogja. Tetapi dalam laku spiritual saya, saya mendapat petunjuk untuk menetap di Gunungkidul. Termasuk saya diangkat sebagai siswa dan dijadikan anak-angkat oleh Bapak. Akhirnya saya harus meneruskan padepokan tinggalan Bapak. Sekarang ini saya lebih dikenal dengan nama Bernard Wora Wari,” ujarnya sambil terkekeh.

Bernard Wora Wari sedang menunjukkan lukisannya.[Foto:Padmo]
Bernard Wora Wari sedang menunjukkan lukisannya.[Foto:Padmo]
Keputusan Bernard untuk menetap di Gunungkidul bukan tanpa alasan. Ia menjelaskan, dalam laku spiritualnya Bernard menemukan bahwa Gunungkidul adalah suatu daerah tua. Bukan hanya dari sisi alamnya, tetapi dari sejarah dan kebudayaannya. “Untuk sebuah laku pencarian jati-diri, Gunungkidul adalah tempat yang pas. Saya menyebutnya sebagai kawah-candradimuka. Sementara Kota Jogja adalah kawah candradimuka untuk pertarungan karya. Di sana iklim seni rupa lebih kompleks,” begini Bernard berargumen.

Konsekuensi logis atas pilihan Bernard untuk “bertapa” di tengah Alas Wora Wari  adalah tidak merasakan jangkaun listrik PLN. Tempat tinggalnya jauh dari rumah penduduk, sepi, dan terkesan “angker”. Ini bukti nyata bahwa Bernard tidak ‘main-main’dalam dunia seni rupa Gunungkidul. Seni rupa, oleh Bernard, diekspresikan berdekatan sekali dengan laku spritualitas. Ia hanya makan seadanya. Ia sering berpuasa. Ia ditemani penerangan lampu bolam dari gas elpiji, hanya di waktu-waktu penting saja ia menghidupkan penerangan listrik dengan menghidupkan genset.

Setelah bercerita dari siyang hingga rembang petang, KH menangkap semangat dari seorang perupa asli kuthapraja untuk membangun seni rupa Gunungkidul. “Bumi Gunungkidul mempunyai spirit yang tidak dimiliki oleh Jogja, dan ini harus kita bangunkan dan munculkan bersama. Bagaimana kita bersama-sama mengenalkan spirit kesenian Gunungkidul agar bisa menjadi magnet yang akan menarik orang luar untuk melihat Gunungkidul sebagai wilayah yang luar biasa,” begini ajakan Bernard Wora Wari dari Alas Wora Wari kala petang itu.

[KH/Edi Padmo]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar