Menurutnya, tidak ada perantau yang tidak ingin mudik, tapi terkadang situasi dan kondisi mengharuskan perantau menunda mudik. Tapi kapanpun seorang perantau pasti akan mudik untuk berkumpul berlebaran bersama keluarga.
Inug adalah satu dari ribuan perantau asal Gunungkidul yang mengadu nasib di kawasan ibukota Jakarta. Sejak awal 2018, ia bekerja di sebuah perusahaan yang mengelola property di kawasan Jakarta Selatan. Ia menyadari, menjadi pekerja memang harus disiplin waktu mengikuti peraturan perusahaan, sehingga tidak bisa sembarang waktu untuk pulang kampung. Menurutnya, merantau menjadi pilihannya untuk mengembangkan diri.
Sebelum merantau ke Jakarta, Inug telah menjalani berbagai pekerjaan. Di kampung halaman, ia pernah menjadi tenaga honorer administrasi MTsN Nglipar selama 7 tahun (2007-2014). Pernah juga menjadi tenaga ajudikasi di BPN Gunungkidul selama setahun. Inug juga pernah mengikuti kontestasi pilkades di desanya pada tahun 2015, namun ia kalah suara dengan calon lainnya.
Tidak mau berkutat pada kegagalan pilkades tersebut, selama 2 tahun (2016-2017), Inug merantau ke Kalimantan Tengah, ia mengadu peruntungan bekerja sebagai sopir tronton pengangkut batubara. “Ya, pokoknya harus berjuang demi hidup dan tidak boleh larut dalam kegagalan di Pilkades itu,” ujarnya.
“Ya, sedih rasanya tahun ini saya tidak bisa mudik lebaran karena tanggung jawab kerja. Maklumlah baru 9 bulan saya bekerja di tempt kerja saya yang sekarang, dan kebijakan perusahaan pun belum memberikan cuti hari raya. Namun, saya mesti menghadapinya sebagai tantangan untuk maju dan lebih baik,” ungkap Inug.
Sebagai pekerja rantau, Inug merasakan bahwa ritme kerja di Jakarta berbeda dengan ritme kerja di daerah, apalagi di kampung halaman. “Saat ini saya benar-benar merasa dituntut harus mandiri. Harus bisa bertanggung jawab dalam segala hal. Saya juga harus cepat bisa beradaptasi dengan berbagai latar belakang dan karakter orang yang saya temui,” ujarnya. (Tugi).