
WONOSARI, (KH)— Pasca beredarnya isu keberadaan daging sapi yang dicampur daging celeng, masyarakat dibuat resah dan perlu lebih teliti dalam memilih daging yang baik untuk dikonsumsi.
Penggunaan daging babi sebagai campuran biasanya diterapkan untuk bahan bakso. Hal ini tentu sangat merugikan, terutama bagi umat muslim. Sebagaimana yang kita ketahui, memakan daging babi adalah hukumnya haram.
Untuk menghindari kemungkinan dari mengonsumsi bakso daging babi, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui dan membedakan antara bakso daging sapi asli dengan bakso yang menggunakan campuran daging babi.
- Aroma
Pada saat bakso direbus, maka akan ada aroma khas yang keluar. Umumnya bakso daging babi beraroma lebih amis bila dibandingkan dengan bakso daging sapi. Maka dari itu, anda perlu mewaspadai bila anda mencium aroma bakso yang mencurigakan tersebut.
- Tekstur bakso
Daging babi memiliki tekstur lebih kasar. Karena itu, bila dibuat menjadi bakso, maka akan mudah pecah bila ditusuk sendok. Bila anda memakan bakso yang sudah terlihat seperti itu, maka lebih baik anda berhenti memakannya. Karena bisa jadi bakso yang anda makan memang dicampuri dengan daging babi.
- Rasa yang berbeda
Bakso yang menggunakan campuran daging babi biasanya akan memiliki rasa yang lebih gurih. Namun demikian, ada juga pedagang bakso yang licik dengan menambahkan bawang putih untuk menghilangkan ciri khas bau daging babi tersebut.
- Harganya lebih murah
Bila anda mendapati sebuah warung bakso yang rasanya enak namun harganya sangat murah, maka anda perlu mewaspadai akan komposisi dari bakso yang digunakan. Perlu diketahui bahwa harga daging babi lebih murah dari daging sapi, maka bila menggunakan daging babi ini akan membuat penjual bisa menjual bakso dengan harga yang lebih murah namun tetap mendapatkan untung yang besar.
Namun bila anda tetap merasa ragu-ragu akan bahan yang digunakan untuk membuat bakso yang dijual, sebaiknya belilah bakso dari pedagang yang sudah benar-benar anda percayai, Itu akan lebih menjamin terhadap bakso yang dikonsumsi. (Maria Dwianjani)