Para ksatria, pada dasarnya, turunan (titisan) Bathara Surya, atau Bayu, atau Wisnu, atau yang lain. Bersamaan dengan para putri (permaisuri; pasangan abadi) sebagai turunan (titisan) Bathari Sri, Widowati, dan seterusnya. Bathara Guru pengatur rodanya.
Variasi cerita Bancak (abdi) yang menginginkan ‘menyatu’ dengan bendara putrinya, katakanlah tokoh seperti Tamioyi (dalam logika penokohan, sang tokoh bisa berbeda nama di versi cerita lain; biasanya cenderung ke motif, atau mitem [aksi pokok] si tokoh; sebagai titisan Bathari Sri), barangkali juga seperti Anoman terhadap Shinta (Widowati), mengungkapkan hasrat purwa yang terpendam bahwa persatuan-kosmis memang dikehendaki oleh semua turunan langit. Tak hanya ksatria, namun juga termasuk para abdi.
Kelak, para ksatria, pada penggal adegan lain, pun demikian sebaliknya: menghendaki persatuan kosmis dengan pasangan abadinya. Dalam laku pencarian atau persatuan dengan pasangannya, para ksatria (yang bahkan keturunan dewa/bathara) menemui kesulitan. Mereka mengaduh (sambat) kepada para abdi.
Adegan seperti ini menggambarkan sebuah tragedi (gara-gara): terpisahnya para pasangan, tercerai berainya keluarga Panji (manusia). Namun persatuan (kembali) dengan pasangan abadi tak mungkin tergapai tanpa perpisahan: pembentukan diri (tubuh) baru yang secara genetik merupakan ‘diri’ yang lama; lebih purwa. Tragedi terpisahnya tuan dan putrinya didampingi keberadaan para abdi. Para abdi menghiburnya. Para abdi memberikan petunjuk: para ksatria harus bagaimana.
Arkeo-narasi (narasi arkais, narasi arkeologis) cerita Panji meninggalkan artefak (arketip). Kayu-cerita (babon) berkorelasi dengan carangan-cerita (anak). Jika pencarian Panji untuk meraih hasrat persatuan abadi dengan pasangan hidupnya dianggap sebagai babon, maka pola pencarian Bancak dalam bungkus ‘abdi’ merupakan carangan. Namun demikian, pusat cerita justru jatuh pada pencarian jati diri Bancak, bukan Panji. Triangulasi Bathara Guru (Pengatur), Bathara Ismaya dan Bathara Antiga (Pembimbing, Pendamping) tampaknya merupakan pola purwais yang diulang dalam pencarian jati-diri tokoh Bancak.
Bathara Guru (melalui wakil kepala kahyangan, Narada) memengaruhi kelas ksatria, memunculkan kelas ‘bendara‘ berwujud satriya bagus; sementara Bancak dan Doyok mewakili presentasi Bathara Ismaya dan Antiga; kelas abdi.
Maka dari itu, Dewi Tamioyi berkehendak terhadap Bancak yang Doyok (Ismaya yang Antiga), jika dan hanya jika Bancak adalah seorang raja, ksatria. Motif persatuan purwa yang dimisikan oleh Bancak, atas ‘campur-tangan’ (di tataran permukaan disebut bantuan) dunia atas (dewa, bathara) harus gagal. Penggagalan hasrat menyatu dengan sang putri (pasangan kosmis sang ksatria) yang ingin dilakukan oleh Bancak pun harus memenuhi prasyarat (nalar ordinasi) bahwa, bagaimanapun, Bancak adalah rowang, kawan, abdinya para ksatria (titisan dewa/bathara Ismaya Antiga). Kehadiran Bancak dan tokoh-tokoh semacamnya merupakan aksi arkais dalam rangka “nggelarke klasa“, bagi aksi penyatuan sang ksatria dengan sang putri (logika Platonik kahyangan). Langit (melalui bathara Narada) yang mengubah Bancak menjadi seorang ksatria (tubuhnya)