Penulis: Stefanus Sujoko
KABARHANDAYANI,- Sekitar tahun 1892 di saat Gunungkidul masih dikenal dengan nama Kadipaten Redi Kidul. Gunungkidul saat itu dipimpin oleh seorang tumenggung yang bernama Raden Tumenggung Cakranagara. Ada 3 demang yang memimpin 3 wilayah pademangan. Pembagian wilayah disepakati, Mas Demang Mangun Kartiko memimpin Pademangan Bumi Siono dan Mas Demang Wongso Wirana memimpin wilayah Pademangan Kepil yang meliputi Tlatah Pager dan Tlatah Plembon. Aliran sungai menjadi batas wilayah kedua pademangan ini. Mas Demang Mangun Taruna memimpin wilayah Pademangan Piyaman.
Tersebutlah Alas Jatiwayang sebagai perbatasan antara kedua pademangan ini dengan Pademangan Piyaman yang kala itu dipimpin oleh Mas Demang Mangun Taruna. Alas Jatiwayang ini dikenal angker dan berbahaya. Selain memang menjadi kerajaan makluk halus, para pemberontak, begal, dan penjahat bermukim di tempat ini. Mereka adalah para pemberontak yang tidak mau memilih bergabung pada salah satu pedemangan dalam pemerintahan Kadipaten Redi Kidul Pimpinan Raden Tumenggung Cakranagara. Mereka memilih untuk menguasai perbatasan ketiga pademangan, yaitu Pademangan Piyaman, Pademangan Bumi Siono, dan Pademangan Kepil.
Keberadaan para pemberontak yang bermukim tepat di batas wilayah ketiga pademangan ini membuat hubungan ketiga pademangan selalu mendapat halangan di wilayah Alas Jatilawang. Warga Pademangan Kepil dan Pademangan Siono selalu dihabisi di tempat ini. Mereka dirampok dan dibunuh di Alas Jatiwayang. Mayatnya dibuang di aliran sungai yang berdekatan dengan Alas Jati Wayang.
Dikisahkan, saat pertemuan rutin tahunan, para demang se-Kadipaten Redi Kidul membahas tentang keamanan dan pengembangan wilayah. Dalam pertemuan tahunan itu diputuskan untuk melakukan perang terbuka menumpas para pemberontak dan perampok di masing-masing wilayah.
Demang Mangun Kartika dan Demang Wongso Wirana dalam pertemuan tersebut memohon ijin untuk menumpas para pemberontak dan penjahat yang bermukim di Alas Jati Wayang. Karena memang dirasa perlu, Raden Tumenggung Cakranagara yang berkuasa di Kadipaten mengijinkan kedua demang itu untuk menyusun rencana perang guna menumpas para pemberontak di Alas Jati Wayang.
Mas Demang Mangun Kartika dan Mas Demang Wongso Wirana mengatur strategi untuk menyerang dari dua arah. Demang Wongso Wirana menyerang dari arah barat dan Demang Mangun kartika menyerang dari arah timur. Rencana pun diputuskan untuk menyerang pada hari Kemis Kliwon dini hari. Pemilihan waktu penyerangan pada dini hari, karena pada malamnya para pemberontak pasti berpesta pora. Ketika mereka beranjak untuk istirahat tidur, waktu ini adalah waktu yang tepat untuk menyerang.
Disepakati, ketika ayam jantan berkokok pertama kali, penyerangan dilakukan oleh Demang Mangun Kartiko dari arah timur atau tenggara. Lalu, penyerangan dari arah barat dipimpin Demang Wongso Wirana ditandai dengan berkokoknya ayam jantan yang kedua kalinya. Direncanakan ketika ayam berkokok yang ketiga kali, maka penyerangan besar-besaran dari kedua arah harus dilakukan. sebelum matahari terbit para pemberontak harus sudah ditumpas.
Tiba pada hari yang telah ditentukan, semua prajurit telah disiagakan. Sambil menanti ayam jantan berkokok, semua prajurit dari kedua pademangan menyiapkan segala sesuatunya dan mengatur penyerangan.
Ayam jantan berkokok pertama kali, penyerangan dilakukan oleh prajurit Demang Mangun Kartiko. Penyerangan mendadak itu membuat para pemberontak kalang kabut, lari tunggang langgang. Mereka melakukan perlawanan yang sama sekali tidak berarti. Mereka sengaja dipukul mundur ke arah barat. Dengan harapan pasukan Demang Wongso Wirana telah siaga untuk menyambut para pemberontak itu. Perencanaan menumpas pemberontak yang tepat dan jitu.
Pasukan pemberontak yang kocar-kacir itu menuju arah barat. Sementara itu ayam jantan berkokok untuk yang kedua kalinya, pertanda pasukan Demang Wongso Wirana menyerang dari arah barat. Pasukan dari Kepil inipun membabi buta melihat para pemberontak lari tunggang langgang dari arah timur. Para pemberontak itupun tak mampu melakukan banyak perlawanan. Mereka mencoba bersembunyi di hutan yang dikenal sebagai Alas Lo.
Alas Lo ini dikuasai oleh makluk halus bernama Roro Kuning dengan pembantu setianya Rumpeni. Alas Lo adalah wilayah tak bertuan yang tak seorangpun mampu menjamah, karena keberadaan kedua makluk “sing mbaurekso” itu. Hutan ini lebih sering digunakan oleh para pemberontak dan penjahat untuk mengakhiri pengejaran korban.
Alas Lo yang angker dan lebat ini menjadi ajang pembantaian tanpa ampun. Para pemberontak tak mampu lagi bergerak di Alas Lo ini. Mereka mencoba melawan sebisanya. Namun tak berdaya, karena kedua pasukan dari kedua pademangan ini mengepung dan membantainya.
Tepat sebelum matahari terbit, semua pemberontak ditumpas habis di Alas Lo ini. Demang Mangun Kartiko pun menemui Demang Wongso Wirana. Mereka bersalaman merayakan kemenangan ini.
Kabar keberhasilan penumpasan para pemberontak ini segera disampaikan ke Kadipaten. Lalu Raden Tumenggung Cakranagara bersama prajurit dan beberapa senopati perang Redi Kidul mengunjungi kedua demang untuk memberi ucapan selamat dan memberikan hadiah kepada kedua Demang ini. Raden Tumenggung Cakranagara-pun memilih Alas Lo sebagai tempat untuk merayakan kemenangan melawan pemberontak ini.
Pesta rakyatpun digelar di tenggah lebatnya Alas Lo berhari-hari. Pertunjukan berbagai kesenian digelar sebagai perwujudan terimakasih kepada kedua demang dan ucap syukur karena terbebas dari para penjahat yang sangat meresahkan kedua warga pademangan tersebut.
Raden Tumenggung Cakranagara-pun menyampaikan ucapannya, “Kalian para demangku yang pemberani Mangun Kartiko dan Wongso Wirana. Sebagai ucapan terimakasihku kepada kalian, maka kalian kuangkat sebagai senopati dan bertugas di Kadipaten. Lalu selanjutnya kedua pademangan ini menjadi satu dan akan dipimpin oleh seorang anak muda ksatria kepercayaanku.”
Maka, Alas Lo inilah tetenger yang menyatukan kedua wilayah. “Alas ini akan kujadikan nama wilayah pademangan baru. Pohon Lo yang bergandengan itu juga yang akan selalu dijadikan tetenger anak-cucu kita kelak. Bahwa pademangan ini adalah Pademangan Logandeng. Di Alas Lo ini kita disatukan, maka untuk memimpin wilayah baru ini kuangkat anak muda pemberani dan berwatak ksatria kepercayaanku. Dia masih berumur 19 tahun, dia Demang baru di Pademangan Logandeng ini. Segala sesuatunya akan diurusi oleh Demang Logandeng yang bernama Ki Demang Mangun Wirana,” kata Tumenggung Cakranegara.
Merasa heran atas keputusan Sang Adipati karena mengangkat seorang anak muda yang baru saja akil balik, kedua demang itu berkata, “Demi bumi perdikan ini kami bersedia mengemban tugas seberat apapun. Tetapi, menyerahkan kepemimpinan pada anak muda yang baru saja akil balik, adalah sangat mengkhawatirkan kami. Apalagi wilayah pademangan ini menjadi sangat luas. Pilihlah saja salah satu dari kami untuk memimpin pademangan baru ini” ujar Demang Mangun Kartika.
“Hutan-hutan yang masih angker dan lebat, aliran sungai yang sangat melimpah airnya, tanah yang subur, akan sangat berbahaya jika diserahkan pada anak muda yang belum berpengalaman di medan perang dan pemerintahan” timpal Demang Wongso Wirana.
Mendengar masukan dari kedua Demang itu, Raden Tumenggung Cakranagara pun mengajukan syarat kepada Mangun Wirana muda.
“Sanggupkah engkau menjejakkan setapak demi setapak kakimu menyusuri sungai dari Sepat sampai Alas Gambir. Buatlah tetenger tapal batas wilayah yang engkau sanggupi untuk kau pimpin dalam satu malam tanpa menyiksa alang-alang dan membunuh hewan sekecil apapun yang akan menempel di tubuhmu? Jika engkau mampu membuktikan, tampuk pimpinan Pademangan Logandeng ini akan kuserahkan sepenuhnya padamu” demikian syarat yang diajukan sang Adipati Sumingkar.
Dengan gagah berani Mangun Wirana pun menyanggupinya. Mangun Wirana melaksanakan tugas itu disaat semua rakyat masih berpesta pora di Alas Lo. Selanjutnya Pademangan baru yang bernama LOGANDENG dipimpin seorang lelaki muda sakti mandra guna berwatak ksatria bernama Mangun Wirana. Lalu Ki Mangun Kartiko dan Ki Wongso Wirana pun bertugas di Kadipaten sebagai Senopati di sana. * Catatan: Beberapa sumber menyatakan bahwa Ki Mangun Wirana berasal dari Nglipar. (Stefanus Sujoko/Tty).