Na: demikianlah, seperti itu kejadiannya. Ngka: di sana, di tempat itu, pada waktu itu. Dunia menjadi. Karena na dan ngka bersatu. Dunia berasal dari dalam dandang semesta yang beragi, dalam balutan nangka: lembar-lembar daun nangka.
Di waktu-waktu adi seperti Riyaya Idul Fitri, Natalan, Paskahan, Nyepi, Rasulan, Bersih Kali, Grebeg, Apeman, dan lainnya, masyarakat Gunungkidul atau masyarakat Jawa umumnya membuat produk panganan yang bernama apem. Saking lekatnya panganan ini di hati masyarakat, meskipun gempuran panganan-panganan kemasan luar-biasa gencarnya, setiap peringatan Hari Adi itu apem tetap diusahakan ada.
Meskipun jumlahnya sedikit, apem tersedia di meja jamuan bersama yang lain. Namun, ia menyendiri di pojokan. Banyak anak yang tidak tertarik memilihnya untuk dicemil. Barangkali karena ada aneka cemilan yang ‘tampak’ lebih enak. Lebih elit, lebih modern. Yang dewasa pun demikian. Barangkali karena pilihan kepada makanan itu memang selera, juga ikatan, lilitan, atau relasi-arkais antara manusia dengan makanan apa yang dikonsumsinya. (Surga pun digambarkan dengan makanan dan minuman; sebuah alegori yang membikin ngeces). Atau barangkali orang-orang telah lupa pada apem. Sampai beberapa hari selama perayaan Hari Adi berjalan, apem dingat-nget saja, didang oleh Si Simbok, disajikan lagi sebagai jamuan. Paling-paling yang memakan ya para orang tua yang bertamu. Karena jauh-tertelungkup di kedalaman nalar orang-orang tua, pada waktu-waktu yang dianggap adi dalam perjalanan hidupnya, apem itu gambaran terjadinya dunia.
Konon, ‘sejarah’-nya, budaya apem disebarkan oleh Ki Ageng Gribig, sepulang dari Mekah mampir ke India, kemudian belajar tentangnya, dan diluaskan di Jawa. Bagi Muslim-Jawa, yaitu orang yang laku hidupnya telah islamiah (merasuk agama terasa lebih pas dideskripsikan sebagai mempraktekkan sifat-sifat ketuhanan dari pada kebendaan, apalagi lembaga, bahkan negara) dan mereka hidup dalam semesta kebudayaan Jawa, apem merupakan simbol keagamaan: tentang hal-hal yang berhubungan dengan permaafan, derivasi kata afwan, afuan (Arab). Toh, Ki Ageng Gribig gelarnya adalah Ki, ditambah Ageng juga. Ia seorang ajar, bukan Syech, atau yang lain. Artinya, Ki Ageng Gribig adalah ilmuwan-lokal yang membawa oleh-oleh ilmu dari perjalanannya yang jauh, dari dialog ilmu di suatu wilayah yang identik dalam hal kosmos dal logos-nya dengan Indonesia, yaitu India. India dan Indonesia itu satu keturunan, satu wangsa. Mbuh yang mana yang lebih tua, yang lebih dipundhi. Ini hanya masalah ordinasi saja. Sementara kebiasaan orang Jawa adalah rebut-asor. Memilih di bawah. Dan Ki Ageng, sebagai seorang ilmuwan, tentu sangat paham siapa yang lebih muda. Beliau tak mengungkit siapa yang di atas atau di bawah; siapa pencetus atau pengikut. Barangkali hal ini juga diyakini oleh para penyebar apem yang lain dengan latar dakwah Islam, yaitu para Wali. Hirarki itu bukan untuk melanggengkan kekuasaan, hirarki itu untuk menihilkan kekuasaan atas yang lain; begitu filosofi ke-Jawi-an sering terdengar.
Yang di atas bisa jadi yang bawah, atau sebaliknya. Yang belakangan datang, atau dibawa sebagai oleh-oleh ketika ‘pulang’, yang tampak sebagai sesuatu ‘yang baru’ sebagai buah tangan pengembaraan, bisa jadi sebaliknya. (Seperti orang Gunungkidul membawa oleh-oleh roti berbahan tela dari Yogya). Apem itu produk olahan manusia berbudaya tanam. Jika Ki Ageng Gribig penyebarnya, atau para Wali, tentu mereka menguasai ngelmu pertanian (seperti para leluhurnya yang bergelar tompotani, yaitu profesor pertanian dari Nusantara yang mengajarkan ilmu pertaniannya ke luar Nusantara, sebelum Masehi). Tidak baen-baen. Apem diolah dari hasil tetanen bernama pari. Pari, yang setelah ditutu menjadi beras, dalam sistem nalar masyarakat tradisional adalah makanan pokok. Makanan utama. Ia luhur dan suci. Maka, segala prosesi yang berhubungan dengan beras atau pari sangat dijunjung tinggi. Masyarakat menghormati Bathari Sri; Dewi Padi.
Membincang siapa yang menciptakan atau merintis difusi apem di Jawa seperti berbusa-busa beradu argumen tentang ‘sejarah’; semua merasa memiliki data dan rujukan. Namun yang jelas, apem adalah panganan yang dibuat dari beras, santen, gula, ragi (tape), dan parutan kelapa. Ada yang menambahkan banyu klapa. Beras di apem berbentuk tepung. Beras yang ditepungkan disebut glepung. Glepung itu bentuknya seperti bedak, atau debu. Maka, glepung itu debunya jagad, debu semesta. Seperti sebuah gunung-api, ketika erupsi ia akan menutupi bumi dengan debu, berbarengan dengan lelehnya lahar. Lahar lah si santen. Santen disebut kalpa-ksira: susu dari kalpataru (pohon yang menghasilkan buah kehidupan, pohon kehidupan). Santen; air perasan dari daging buah kelapa (lebih khusus lagi kelapa gading), atau susu dari buah kehidupan, akan nguleni glepung; buah dari tanah kehidupan. Apalagi kalau santen yang digunakan santen kanil (santan yang kental sekali), maka apem yang dihasilkan akan luar biasa. Santen juga merupakan istilah yang digunakan untuk menamai sari pati bunga. Dan, santen dalam apem merupakan simbolisasi blandar, yaitu penyangga kerangka dunia: kerangka adonan dunia.
Simpulnya, bahan pembuatan apem adalah padi, tela, dan klapa. Ini tanaman-tanaman ‘surgawi’. Padi adalah pari; tanaman mitis dunia agrikultur. Padi yang digunakan adalah setelah berbentuk glepung. Kelapa itu turunan kata kalapa (Jawa Kuna), yaitu pohon yang lahir pada ‘waktu-ketiga’, pada waktu mitis, sebagai gambaran-bentuk (kalpana, perwujudan material) atas tata-cara suci (kalpa). Dari cerita-cerita kuna, wujud pohon kelapa dihubungkan dengan salah satu kalpataru, yaitu pohon suci, pohon kehidupan, yang menghasilkan buah kehidupan. Kelapa diambil santen, parutan daging, dan airnya. Tela diambil gula dan raginya (tapenya). Bahan-bahan tadi kemudian diaduk di suatu wadah, dibuat jladren (adonan). Jladren itu dari morfem {jaladri} ditambah morfem {-an}. Jaladri adalah ‘samudera’ (sumber air kehidupan yang luas), maka jladren bermakna adonan yang meniru rupa samudera. Bagi yang suka, jladren ditambahi prambus (pewangi makanan buatan) sedikit, kemudian dienengke (didiamkan) beberapa waktu. Kata para pembuat apem, biar meneb, ngembang jika nanti didang. Semua itu, jladren yang ngembang, bisa terjadi berkat proses penting dalam kehidupan yang disebut: peragian (fermentasi). Dan hingga kini, teori tentang kosmos yang berupa debu yang mengembang pun masih dianut.
Karena yang dibicarakan kali ini adalah apem-conthong, maka wadah jladren apem yang akan digunakan ketika apem didang adalah bentuk conthong, sebentuk kerucut dalam geometri. Godhong nangka adalah bahannya; yang nantinya digunakan sebagai wadah jladren apem. Conthong adalah simbol wadah yang dimiliki wanita. Wanita itu wadah, tempat, atau disebut odara (ruang-tempat-isi, semacam rahim). Geometri conthong, yang kerucut, setelah jladren dimasukkan, bentuknya seperti ‘susu’ atau buah-dada wanita yang muncu-muncu: seakan-akan akan muncrat sarinya, air jladren-nya. Dan pada prakteknya, jladren apem yang dimasukkan ke conthong dhong nangka banyak yang keluar dari pucuk conthong, karena waktu disujeni (suji: pengunci daun nangka yang ditelusupkan di pertemuan dua ujung daun nangka; biasanya dari batang lidi yang dipotong pendek-pendek) kurang rapat. Conthong daun nangka yang telah ‘dikunci’ itu seperti topinya manusia-kate yang hidup di bawah tanah, di dalam dongengnya orang Jerman. Sementara di dunia mikro, geometri conthong-nangka ini seperti bentuk sel-kerucut (cone cells) di dalam retina, sebagai sel penerima sinar dan penampung sinar. Mata manusia memiliki kurang lebih enam juta sel-kerucut. Merekalah para pembeda warna. Jika mata mengalami kerusakan pada sel ini, manusia akan buta.
Varna, warna (penggolongan-penggolongan, klasifikasi), diajarkan oleh leluhur turun-temurun, kemudian oleh orang tua sejak kecil. Jika nalar menusia mengalami kerusakan tentang penggolongan geometri, manusia mengalami kebutaan: buta aksara. Jika buta aksara (buta aksara biasanya dirujukkan pada buta Aksara Latin, sementara jika buta Aksara Lokal-nya masing-masing tak disebut buta-aksara), paling-paling secara salah-kaprah disebut manusia pra-sejarah. Kemudian, manusia secara umum yang perannya banyak diaku (diwakili) oleh Lelaki, adalah pengaduk semesta: pengadhuk jladren. Sudhi atau suji itu lanang, daun nangka-nya wadon. Ini ibarat adonan sperma lan sel telur. Yang dalam bentuk material-makro adalah tepung beras, santen, ragi (tape), gula, garam sedikit, dan parutan daging kelapa. Kelak, jika telah terfragmentasi, jalinan bahan-bahan ini menciptakan rahsa panganan yang disebut apem.
Jladren-apem yang telah dimasukkan ke conthong daun nangka kemudian diangkringke di angkringan bambu berbentuk lingkaran berlubang kecil-kecil agar dapat menahan conthong daun nangka berdiri, dimana angkringan-bambu ini dipasang di atas kukusan yang telah ‘nangkring’ di atas dandang. Penamaan apem yang begitu arkais, yang etimologinya dari morfem {pöm} dan morfem {a-} sebagai keterangan verbal; kerja, barangkali berhubungan dengan aksiologi-nya, yaitu {amöm} dan {pinöm} yang bermakna “menyimpan dalam keadaan tertutup”, atau “menyembunyikan, merahasiakan”. Agar mencapai kondisi ‘matang’, jladren-apem dipanaskan, didang, dalam derajat panas tinggi dan ajeg, disembunyikan di dalam kukusan yang ditutupi kekep. Tentu yang menjadikan masak adalah asap yang ‘fokus’ di dalam kekep, yaitu uap air dalam dandang yang dipanaskan dengan bahan bakar kayu, bukan kompor (apem yang dihasilkan dengan api kompor hasilnya tak sebaik jika menggunakan kayu; sama halnya dengan banyak panganan tradisional lainnya).
Kayu lah yang secara natural melahirkan apinya jagad. Air dalam dandang yang mendidih akan bergerak ke atas: menjelma uap air. Uap air memanggang kukusan yang dipasang di atas dandang: memenuhi jalan keluarnya uap air yang bergerak. Melalui pori-pori kukusan pring inilah udara-panas membentuk apem dalam conthong daun nangka. Jladren encer berubah padat. Memadat. Adang-apem adalah proses memadatkan dunia. Manusia adalah kayu dunia (wreksa gung susuhing angin). Maka, proses adang-apem (apöm) ini seperti proses pembentukan manusia dengan cara memanaskan sampai derajat tertentu, di dalam ruang tertutup (amöm). Makna apöm sejajar dengan apum, yaitu bersenggama, bersetubuh, bermain cinta. Pöm atau pum itu memadu cinta. Dalam proses pengapeman ini ada nuansa: menahan, memuat, penuh dengan hujan (uap air), dan membiarkan sesuatu menjadi matang. Menggunakan hakekat ‘kayu’: api, di dalam tungku semesta. Menapaki suatu tahap yang disebut pömpöman, masyarakat sekarang menyebut cêm-cêman, yaitu menyimpan sesuatu dalam keadaan meragi. Biar dadi (menjadi).
Ragi adalah kondisi yang dipenuhi nafsu atau cinta. Kondisi tergila-gila. Manusia, yang dipandang sebagai jagad yang lebih kecil, memiliki nafsu dan semangat hidup (cinta). Ketika manusia hendak mengembang-biakkan dirinya, mengembangkan jagad, ia begitu tergila-gila pada pasangannya. Lantas manusia rumagi, bergembira dengan penuh nafsu. Nafsu atau cinta yang meluap dilanjutkan dengan persenggamaan, tentu dalam rangka mengembangkan jagad. Proses bersenggama itu adalah ‘ketercekatan’, tanpa udara. Ada satu kondisi ketika bersenggama udara tak terhirup. Kondisi ini dalam biologi disebut anaerobik. Fermentasi itu menciptakan energi dalam sel tanpa udara. Bisa saja ini disebut proses ‘fermentasi semesta’ dari sudut pandang bio-kimia. Bersenggama itu dalam rangka menciptakan energi penggerak semesta, dengan lain kata: peragian semesta. Persenggamaan adalah ‘respirasi tanpa udara’ dalam mikro-biologi. Justru, energi semesta muncul dalam ketiadaan udara. Kimiawan berasumsi bahwa fermentasi merupakan cara untuk menghasilkan energi, dan ia, fermentasi, merupakan bentuk purba dari produksi energi sel. Akhirnya, setelah proses peragian yang ‘berliku’, lahirlah apa yang disebut raghu, ras manusia. Gambaran lahirnya ras manusia ini diceritakan melalui kisah Ramayana, salah satu moyang ras manusia, yaitu Rama. Kemudian Mahabharata. Kemudian Purwacarita, Majapahit, dan seterusnya.
Prinsip dasarnya, ragi itu bahan untuk membuat tape, roti, dan alkohol. Bahan ragi bisa dari godhong senu. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa apem, sebagai panganan yang diciptakan dari proses peragian, adalah prototip atau arkeo-tipe-nya roti. Kalau tidak ya, minimal stereotip lah. Kemudian di waktu-waktu selanjutnya manusia tradisional menciptakan olahan roti dengan bahan tela. Begitu seterusnya, semakin melebar. Mengembang. Karena faktor gula, maka lahirlah roti yang mengembang; roti semesta. Kemudian, anak-anak manusia di seluruh penjuru bumi, melalui ikatan-ikatan kuno dalam simbol-simbol religiusitas mereka, selalu merindukan roti semesta ini; apem.
Teringat suatu saat yang mitis, di rumah para Embah pada waktu peringatan Hari Adi berjalan, pada malam-pekat, anak-anak ramai golek apem. Apem dibungkusi plastik. Ada yang disandhati. Sambil meninggikan oncor-pring biar apinya tak mengenai rambut sendiri, atau asapnya menyerang hidung. Kemudian para anak berucap: “Kula nuwun, nyuwun apeme, Mbah!” Beberapa saat kemudian apem dalam genggaman. Sambil tangan kirinya njagani saku pakaiannya yang motol-motol penuh apem, karena sandhatan di tangan kanan telah penuh, mereka berjalan lagi. Berpindah rumah yang dituju. Mereka mencoba merangkai dunia apem: dunia hologram ‘cairan yang serupa susu kental’ diwadahi kerucut, yang hidup di nalarnya yang dalam. Yang telah terfermentasi. Mereka mencoba membuat konstruksi apem dalam nalarnya: dulu tatkala mereka baru cenger di dunia secara natural diharuskan melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), sementara kelak ketika dewasa mereka menjadi bagian dari ras ‘manusia-susu’ yang tak henti mencoba ngothak-athik dunia yang telah dan sedang menjadi. Dari sebuah jladren (ksira-arnawa, samudera susu) semesta yang lama-lama semakin mengembang. Dan semakin me-ngembang, ditandhai dengan kepalanya yang pating-plethek, apem-conthong semakin nikmat.
Na(h), demikianlah. Ngka, di sana, kosmos Gunungkidul di waktu-waktu-yang-kemudian akhirnya menjadi (becoming). Bermula dari sebuah pohon nangka, yang dhoyong, di pusat hutan, tempat seorang Embah tinggal, ia menyediakan godhong-nangka untuk membuat apem conthong: apem-persembahan kepada semesta atas tegaknya sebuah kota yang dalam kosmologi Gunungkidul dinamai wana-asri, Wonosari.